Mengenal (Sejarah) Rumah Adat Waerebo
Sebelum membahas soal rumah adat Waerebo, Dailyvoyagers akan menjelaskan terlebih dahulu sedikit tentang apa itu Desa Adat Waerebo dan bagaimana sejarah mereka boleh terbentuk. Waerebo adalah kampung adat tradisional yang berlokasi di pedalaman Manggarai. Warga Waerebo sampai sekarang ini terus melestarikan alam dan budaya asli mereka yang sudah dibangun oleh para nenek moyang mereka. Nenek Moyang orang Waerebo bernama Empo Maro. Empo Maro berasal dari Minangkabau, Sumatera. Dia dan keluarganya berlayar dari Sumatera dan tiba di Labuan Bajo, Flores.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke arah Utara sampai mereka menemukan sebuah tempat yang bernama Waraloka. Berdasarkan cerita orang jaman dahulu, Empo Maro pindah dari satu desa ke desa lainnya, dimulai dari Waraloka kemudian ke Mangapa’ang, kemudian pindah lagi ke Todo, Popo, Liho, Mofo, Golo Ponto, Ndara, Golo Pando, Golo Damu dan akhirnya menetap secara permanen di Waerebo, dimana mereka tinggal dan memiliki keturunan sampai sekarang.
Waerebo menjadi tempat terakhir yang dipilih oleh Empo Maro karena mimpinya memberitahunya kalau dia harus pindah ke tempat lain di Timur. Keturunan-keturunan dari Empo Maro melanjutkan pelestarian kampung tradisional dan budaya mereka sampai sekarang. Seperti yang tercermin oleh sebuah bahasa lokal, “Neka hemong kuni agu kalo” yang berarti “Waerebo adalah tanah kelahiran, warisan, dan tanah air yang tidak akan pernah terlupakan”. Ketika banyak orang memilih untuk tinggal di dataran yang lebih rendah dengan akses yang lebih gampang dan fasilitas penunjang yang lebih baik, Warga Waerebo memilih untuk tetap tinggal di kampung mereka di pedalaman dan melestarikan budaya lokal mereka.
Rumah Adat Waerebo
Waerebo adalah satu-satunya desa tradisional di Manggarai yang masih mempertahankan Bentuk rumah adat mereka yang mereka sebut sebagai Mbaru Niang. Sebenarnya masih ada lagi di Todo, hanya saja Mbaru Niang di Todo hanya berdiri gagah tanpa ada lagi orang yang mendiami di dalamnya. “Mbaru” artinya adalah Rumah. “Niang” artinya tinggi dan bulat. Mbaru Niang adalah sebuah rumah yang berbentuk kerucut, meruncing ke arah atas. Menurut Fransiskus Mudir (Pimpinan Waerebo Tourism Organization), bentuk rumah yang mengerucut tersebut merupakan sebuah simbol dari perlindungan dan persatuan di antara masyarakat Waerebo. Lantai yang berbentuk melingkar melambangkan sebuah harmonisasi dan keadilan diantara warga dan keluarga di dalam Mbaru Niang.
Mbaru Niang sudah dilestarikan oleh warga Waerebo dari generasi ke generasi, sejak bangunan ini dibuat oleh nenek moyang mereka sejak kurang lebih tahun 1920. Nenek Moyang mereka mewarisi 7 rumah Mbaru Niang, meskipun tiga dari 7 rumah itu sudah rusak. Pada tahun 2008, ketujuh rumah Mbaru Niang tersebut telah dikonstruksi ulang melalui sebuah program revitalisasi yang didukung oleh Yayasan Tri Utomo dan Yayasan Rumah Asuh.
Pada proses rekonstruksi tersebut, semua proses dilakukan oleh warga Waerebo sendiri sehingga tidak ada nilai sejarah dan dan keasliannya yang dibuang. Proses rekonstruksi ini sangat memegang peranan penting karena adanya transfer ilmu dari warga yang sudah tua kepada warga yang masih muda dimana yang muda-muda ini nantilah yang akan melanjutkan kehidupan di tempat ini dan mempertahankan budaya nenek moyang mereka. Usaha dan upaya warga Waerebo dalam mempertahankan sejarah, budaya dan kearifan mereka ternyata tidak luput dari penglihatan salah satu organisasi dunia yaitu UNESCO. Organisasi tersebut menghadiahkan Desa Waerebo sebuah penghargaan UNESCO Asia Pacific Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012. Penghargaan tersebut adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang melakukan konservasi terhadap suatu warisan budaya.
Tujuh rumah Mbaru Niang yang dibuat oleh para nenek moyang mereka memiliki arti untuk menghormati 7 arah mata angin dari puncak-puncak gunung yang yang mengelilingi Kampung Waerebo. Hal itu mereka percayai sebagai cara untuk menghormati roh-roh yang memberikan mereka kesejahteraan. Semua Mbaru Niang berdiri di tanah datar dan dibangun mengelillingi sebuah altar yang disebut “Compang”. Compang berdiri sebagai titik pusat dari ketujuh rumah tersebut dan dipercaya sebagai bangunan paling sakral yang ada di disana. Fungsi Compang adalah sebagai altar untuk memuji dan menyembah Tuhan serta para roh-roh nenek moyang.
Seluruh Mbaru Niang memiliki nama asli yang berbeda-beda, mereka adalah:
- Niang Gendang
- Niang Gena Mandok
- Niang Gena Jekong (dibangun kembali pada tahun 2010)
- Niang Gena Ndorom (dibangun kembali pada tahun 2009)
- Niang Gena Keto
- Niang Gena Jintam
- Niang Gena Maro
Dalam Mbaru Niang, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para keluarga dan warga Waerebo kebanyakan berpusat pada tingkat pertama dari rumah tersebut, atau yang biasa disebut dengan Tenda. Dengan bentuk lantai yang bulat, Niang Gendang (Rumah Utama) memiliki diameter 14 Meter. Sedangkan Niang Gena (rumah yang lainnya) memiliki diameter 11 Meter. Alasan adanya perbedaan ukuran diameter tersebut adalah jumlah keluarga yang mendiami setiap rumah. Niang Gendang didiami oleh 8 keluarga, sedangkan Niang Gena diisi oleh 6 Keluarga.
Lantai pertama dibagi dalam 2 bagian, Nolang dan Lutur, dengan satu pintu sebagai jalan masuk dan keluar. Nolang adalah bagian privat dari Mbaru Niang, dimana terdapat kompor atau tempat untuk kayu bakar yang digunakan untuk memasak dan makan, dan juga kamar tidur untuk 6-8 keluarga yang tinggal di dalam. Kamar-kamar tersebut diatur dengan urutan kelahiran dari tiap-tiap pemimpin keluarga. Sedangkan Lutur adalah zona publik yang digunakan untuk ruang aktivitas tamu dan masyarakat.
Mirip dengan konsep Compang yang menjadi sentral dari semua rumah adat di kampung ini dan menjadi bagian paling sakral, tempat paling sakral di lantai pertama yang terletak di tengah rumah ini disebut dengan “Bongkok”. Di depan tiang Bongkok inilah biasanya Ketua Adat akan duduk dalam setiap pertemuan masyarakat Waerebo.
Kampung Waerebo dan Kampung Kombo Tidak semua Warga Desa Waerebo tinggal di dalam Mbaru Niang atau Desa Waerebo. Beberapa dari mereka tinggal di Kampung Kombo agar memiliki akses lebih dekat ke Fasilitas Publik,Seperti contoh sekolah dan klinik. Kebanyakan orang dari Waerebo juga memiliki sawah baik di Kampung Kombo atau Dintor.Karena itulah kadang mereka tinggal 1 malam di kedua desa tersebut. Desa Kombo bisa dicapai dari Waerebo dengan perkiraan waktu kurang lebih 3-4 jam jalan kaki dan jaraknya kurang lebih 8 Km.
Itu tadi sedikit mengenai sejarah (rumah adat) Waerebo. Mudah-mudahan informasi tadi bisa sedikit memberi tambahan pengetahuan untuk voyagers, terutama untuk yang ingin bermain ke kampung adat yang spesial ini.
Happy Traveling Guys 🙂
Source: Buku Adat Waerebo
Families don’t have to match. You don’t have to look like someone else to love them.
–Unknown