Menyapa Buddha di Dasar Laut Ceningan
Rasanya saya tidak menemukan alasan untuk tidak kembali lagi ke Bali. Rasa cinta yang begitu besar terhadap pulau ini membuat kaki saya kembali menapakkan dasarnya di salah satu bandara paling sibuk yang ada di Indonesia, Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Dengan semangat yang menyala-nyala bak seorang ksatria yang ingin bertempur, saya dan beberapa orang teman siap untuk menelusuri keindahan-keindahan yang ditawarkan pulau ini.
Tujuan utama kami kali ini tidak berada di Pulau Bali melainkan agak sedikit bergeser ke arah tenggara dari pulau yang terkenal dengan Tari Kecak dan Gunung Agung-nya ini. Nusa Ceningan, pulau yang bersaudara kandung dengan Nusa Lembongan dan Nusa Penida inilah yang menjadi tujuannya. Dengan menggunakan jasa taksi online, kami bertolak dari bandara menuju ke Pantai Sanur yang merupakan gerbang untuk menuju Nusa Ceningan.
Sesampainya di Sanur, kapal yang sudah saya dan teman-teman sewa sebelumnya telah menunggu. Dengan senyum sumringah Bli Putu menyambut kedatangan kami. Tanpa ragu ia mempersilahkan kami untuk naik ke kapalnya yang diberi nama White Shark. Bli Putu ini adalah sang pemilik kapal yang sekaligus menjadi guide kami hari itu. Sedikit briefing terkait kondisi cuaca dan beberapa prosedur keselamatan saat melakukan penyelaman di Ceningan nanti menjadi hidangan pembuka bagi saya dan teman-teman sebelum kapal dijalankan.
Cuaca hari itu cukup cerah, matahari memberikan pancaran sinarnya yang terbaik dan awan-awan putih membuka jalur bagi sinar tersebut untuk menyapa kami. Ombak pun mengalun dengan pelannya, hanya sesekali ia mengguncang si White Shark. Guncangan-guncangan itu kami anggap sebagai cara bagi laut untuk tetap berkomunikasi dengan kami. Buih-buih air laut seolah tidak mau kalah, beberapa kali ia juga masuk ke dalam kapal dengan bantuan angin.
45 menit perjalanan, akhirnya kami tiba di spot menyelam yang ada di Nusa Ceningan. Spot menyelam kami namanya Buddha Dive Point. Diberi nama Buddha Dive Point karena di dasar lautnya terdapat sebuah patung Buddha. “Yap, sudah sampai”, kalimat dari Bli Putu ini menjadi aba-aba bagi kami untuk menceburkan diri ke laut. Sebelum menyatukan diri dengan air, masing-masing dari kami melakukan pemanasan terlebih dahulu guna mencegah terjadinya kram saat melakukan dive. Setelah semua siap, satu per satu dari kami pun turun. Akhirnya air laut menyelimuti badan ini secara utuh.
- Baca juga: Eksotisme Bawah Laut Bali Kecil
Air laut yang jernih membuat visibility saat itu cukup baik. Dengan pandangan yang tak terhalangi, tak butuh waktu lama bagi saya dan teman-teman untuk takjub akan keindahan spot ini. Rangkaian arca dan stupa tersusun rapi di kedalaman 7 meter. Spot ini bisa dibilang terbagi atas 3 ring. Ring 3 atau bagian terluar diisi oleh 8 Stupa yang disusun membentuk persegi. Ring 2 atau bagian yang berada di tengah terdapat 7 buah arca yang berukuran kecil diletakkan yang diantara Stupa. Yang terakhir sekaligus yang menjadi sentral, terdapat sebuah Arca Buddha yang besar dengan mudra Wara Mudra yang melambangkan kedermawanan. Saya merasa seolah sedang berada di atas Candi Borobudur, namun kali ini versi bawah airnya.
Secara bergantian kami turun menyelam. Saat seseorang menyelam, maka yang lain akan berjaga dari atas untuk memastikan yang sedang menyelam kembali ke permukaan dengan selamat. Ya, itulah buddy system dalam olah raga freediving. Menikmati keindahan bawah laut memang penting, tapi melakukannya dengan cara yang benar jauh lebih penting.
Satu per satu dari kami meliuk indah dengan gaya yang berbeda-beda. Ada yang menyelam dari sisi barat menuju sisi timur melewati patung Buddha, ada yang langsung menyelam dari atas patung Buddha kemudian mengitarinya dan ada juga yang menyelam dan hanya terlentang diam di depan patung Buddha.
Ada kesulitan tersendiri ketika mencoba menyelam di spot ini. Arus permukannya yang kencang membuat kami sering sekali terbawa ombak menjauhi si Patung Buddha. Alhasil, demi mempertahankan posisi tetap berada di atas dive point tersebut, maka kami harus tetap melakukan finning. Konsekuensi dari finning yang dilakukan terus menerus membuat paha menjadi cepat pegal dan kami juga tidak bisa melakukan breath up dengan baik. Kemampuan otot paha yang ekstra benar-benar diperlukan di sini.
Untungnya kami memiliki seorang teman luar biasa yang bernama Mike Dominico. Pria yang juga seorang freedive instructor ini menjalankan peran ganda pada penyelaman kali ini. Peran pertamanya adalah sebagai safety dan peran keduanya adalah sebagai seorang cameraman. Dengan kamera bawah laut yang tak pernah lepas dari genggamannya inilah semua momen kami di sana diabadikan.
Dengan penuh sabar dan nafasnya yang kuat, Mike turun ke satu titik dan diam pada titik tersebut sembari mengarahkan kameranya ke arah kami yang turun dengan gaya yang “aneh-aneh”. Ia pun tidak terus menerus diam di titik tersebut, sesekali dia juga harus naik kembali ke permukann untuk mengambil nafas sebelum akhirnya turun kembali dan melakukan tugasnya. Pengalamannya menjadi seorang instruktur membuat aktivitas yang dilakukannya tersebut terlihat begitu mudah (aslinya itu capek banget lho).
Kaki yang pegal karena harus tetap melakukan finning agar tidak terbawa laju ombak pun terbayar lunas kala Mike menunjukkan hasil-hasil jepretannya. Agar tidak berebut untuk melihat hasil foto di atas laut, kami memutuskan untuk kembali ke atas kapal. Tidak terasa ternyata sudah hampir 1 jam 30 menit kami menghabiskan waktu di dive point itu. Dengan perlahan dan teratur, kami kembali ke atas White Shark sembari membawa perasaan senang karena bisa mengunjungi salah satu spot menyelam yang unik dan mungkin tidak bisa kami temukan di tempat lain.
Usai menyelam di Buddha Dive Point, kami langsung kembali ke Sanur karena masih ada aktivitas lain yang harus kami lakukan. Saat perjalanan kembali itu saya sempat berbincang sebentar dengan Bli Putu mengenai dive point. Dari Bli Putu saya tau tujuan diletakkannya arca dan Stupa Buddha di spot ini.
Tujuan eksplisitnya adalah untuk memberikan keindahan dan pengalaman bawah laut yang berbeda bagi para wisatawan dan tujuan implisitnya adalah sebagai tempat bagi karang untuk tumbuh secara alami pada batu-batu tersebut. Dengan tumbuhnya karang, maka ada habitat baru bagi ikan-ikan laut. Dengan adanya habitat baru maka tempat ini akan semakin indah.
Kurangnya edukasi membuat nelayan-nelayan jaman dahulu menggunakan bom buatan untuk menangkap ikan di daerah ini. Aktivitas tersebut berlangsung selama beberapa waktu dan tanpa mereka sadari mereka sudah menggali lubang kesusahan mereka sendiri. Dengan bom itu, mereka tidak hanya membunuh ikan tapi juga karang-karang yang menjadi rumah bagi para biota laut lainnya. Hasilnya dirasakan kini, daerah tersebut menjadi jelek dan rusak. Ikan juga hampir tidak nampak di tempat ini.
Namun yang penting sekarang adalah mereka sudah sadar dan ada usaha yang dilakukan guna mengembalikan kawasan yang sudah rusak tersebut. Meskipun hasilnya akan sangat lama mengingat karang hanya tumbuh sekitar 1 cm per tahun, namun rasanya kita perlu mengapresiasi usaha yang sudah dilakukan sambil terus menjaganya.
Perjalanan kali itu saya tutup dengan ucapan “terima kasih Tuhan karena Engkau beserta alam ini mendukung perjalanan kami ini sehingga kami bisa kembali dengan selamat” yang saya katakan di dalam hati.
SARAN
- Gunakan fins kalau kamu ingin menyelam di tempat ini (kalau bisa long fins).
- Arus di permukaannya cukup kuat, jadi harap berhati-hati.
- Jangan pernah menyelam seorang diri.
- Usahakan perut tidak terlalu kenyang ketika ingin menyelam.
- Kedalamannya hanya sekitar 7 meter, masih cukup mudah untuk dijangkau.
We are shaped by our thoughts; we become what we think. When the mind is pure, joy follows like a shadow that never leaves
— Buddha