Dari Traveling Aku Belajar Untuk Mendengar Nasehat Orang Lain
Setiap kali menyusun dan melakukan perjalanan menjelajahi indahnya Indonesia, saya seringkali mendapat kebaikan dari orang-orang lokal di tempat yang saya kunjungi. Kebaikan yang saya maksud bukan dalam bentuk uang, makanan atau barang. Kebaikan tersebut bentuknya berupa nasehat atau saran. Ya, kebaikan yang berasal dari dalam hati, diproses oleh otak dan kemudian keluar dari mulut dalam bentuk kata-kata.
Seperti contohnya ketika saya pergi ke Bromo minggu lalu. Kepada pemilik Jeep yang membawa saya untuk keliling Bromo, saya bercerita kalau saya ingin menerbangkan drone di Penanjakan 1. Dengan lembut dia memberi saran kepada saya untuk tidak menerbangkannya di sana. Tidak dijelaskan alasannya kenapa dan sebagai alternatif, dia menunjuk King Kong Hill sebagai tempat bagi saya untuk menerbangkan drone saya.
Usai tiba di Penanjakan 1, saya tahu kenapa dia melarang saya untuk menerbangkan drone di sana. Ternyata di Penanjakan 1 terdapat banyak Tower, baik itu Tower milik operator telekomunikasi seluler ataupun Tower milik radio lokal. Jika saya memutuskan untuk tetap menerbangkan di sana, mungkin saja drone saya akan mengalami gangguan signal akibat terbang di antara tower yang pancaran signalnya lebih kuat. Drone akan hilang kendali dan mungkin akhirnya akan jatuh.
Dan setelah menuruti omongan pemilik Jeep tersebut untuk pergi ke King Kong Hill, ternyata view-nya 11 12 dengan Penanjakan 1. Poin tambahnya adalah tempat ini lebih sepi, lebih tenang dan jauh lebih aman (dari gangguan signal). Saya bersyukur karena dia mau memberikan saran untuk saya dan saya mau mendengarkan omongannya.
Ada lagi pengalaman seru ketika di Lombok. Sekitar tahun 2013, saya melakukan perjalanan ke Lombok bagian Selatan untuk menjelajah Pantai Kuta, Tanjung Aan, Bukit Merese, Pantai Mawun dan pantai-pantai eksotis lainnya. Tanpa terasa, bermain dari satu pantai ke pantai lainnya dari siang membuat saya lupa waktu. Alhasil, waktu menunjukkan pukul 18:30 WITA dan saya masih berada di jalan pulang dari suatu desa menuju ke kota dengan mengendarai sepeda motor.
Di tengah perjalanan, dari sisi sebelah kiri jalan, seorang bapak melambaikan tangannya dan meminta saya untuk berhenti. Ia meminta saya tidak melanjutkan perjalanan dan bermalam di rumahnya. Menurutnya, malam hari merupakan waktu yang tidak aman untuk berkendara. Banyak begal yang berkeliaran di daerah Lombok Selatan. Entah mengapa, waktu itu saya menuruti nasehat bapak tersebut dan tidak terbersit sedikit pun kalau bapak ini akan berlaku buruk kepada saya.
Keesokan harinya, saya pun kembali ke hotel tempat dimana saya menginap. Tidak ingin merasa dibohongi, saya bertanya ke resepsionis perihal begal yang kerap terjadi malam hari di Lombok Selatan. “Memang benar. Beberapa hari yang lalu baru saja ada turis lokal yang menjadi korban,” jawab sang resepsionis. Mendengar jawaban itu, saya bersyukur ada orang baik yang memberi tahu saya dan saya tidak melanjutkan perjalanan malam itu.
Tapi pada kenyataannya tidak semua orang bisa menganggap perkataan baik dari seseorang sebagai sebuah bentuk kebaikan. Ada juga yang menganggapnya sebagai hambatan, menanggapinya dengan penuh curiga dan akhirnya mengabaikan. Merasa diri lebih pintar, lebih tinggi strata sosialnya, lebih kaya secara finansial, lebih tahu, kemudian mengganggap rendah orang lain.
Saya bicara seperti itu bukan tanpa alasan dan pengalaman. Seringkali hal seperti tadi terjadi ketika sedang traveling. Seperti contohnya salah satu kejadian ketika saya traveling ke suatu daerah di timur Indonesia. Di depan mata saya, seorang nelayan yang bertugas membawa tamu dimaki oleh tamunya karena tidak mau membawa dia & keluarga melaut.
Saat itu laut memang sedang tenang, tak ada tanda-tanda akan terjadi badai. Namun karena laut memang sudah menjadi sahabat bagi sang nelayan, dia pasti sudah bisa mencium tanda-tanda badai akan terjadi. Tak ingin tamunya terkena badai, sang nelayan dengan sopan meminta tamunya untuk menunda perjalanannya dan menggantinya di keesokan harinya. Namun apa balasan dari sang tamu? Sebuah makian lalu pergi begitu saja. Merasa sudah membayar, lalu bisa berlaku seenaknya. Tidak mau mendengar nasehat orang lain yang sebenarnya untuk kebaikan dirinya sendiri.
Benar saja apa yang diduga oleh sang Nelayan, tak lama kemudian tiba-tiba cuaca berubah dan hujan besar terjadi. Dari bibir pantai amukan ombak bisa dengan mudah terlihat. Tamu tadi sudah terlanjur pergi tanpa meminta maaf sedikitpun. Saya yakin, kalau dia tadi jadi berangkat, pasti dirinya sudah tinggal nama atau paling tidak tim evakuasi akan dikirim untuk menyelamatkan dia dan keluarganya.
Seorang teman juga pernah bercerita kejadian yang mirip, bahkan lebih tragis. Seorang penyelam ditemukan tewas terseret arus karena tidak mau mendengarkan nasehat dari guide-nya. Sang guide sudah berpesan untuk jangan bermain ke spot tersebut karena kondisi laut dianggapnya sedang kurang baik. Jika sedang baik kondisinya, maka boleh-boleh saja untuk main ke spot tersebut. Merasa tingkatan menyelamnya lebih tinggi dari sang guide, penyelam tersebut mengabaikan nasehat tersebut yang berujung pada menghilangnya nyawanya.
Refleksi
Seringkali kita berburuk sangka kepada orang lain yang ingin berbuat baik kepada kita. Kita merasa omongnnya hanyalah omong kosong. Kita merasa lebih tahu karena kita sudah lebih banyak belajar atau membaca buku. Kita merasa lebih pintar karena jenjang pendidikan kita lebih tinggi. Kita merasa lebih berpengalaman karena jam terbang kita yang lebih lama.
Perlu diingat, terkadang ada informasi yang tidak tertulis di buku manapun, tak bisa dipelajari di sekolah apapun dan tak akan kita temukan di portal berita manapun. Ada ilmu yang hanya bisa didapat dari pengalaman selama sekian tahun. Ilmu di daerah A bisa berbeda jika ingin diimplementasikan di daerah B. Jadi stop merasa dirimu sebagai orang yang paling pintar, paling tahu dan paling-paling lainnya. Ketika kamu merasa dirimu “paling”, di situlah kamu sudah menunjukkan kesombonganmu. Tak selamanya orang yang tidak bersekolah itu *maaf* lebih bodoh dari mereka yang bersekolah lebih tinggi.
Saat traveling, penting sekali untuk mendengar nasehat atau saran dari orang lokal yang lebih mengerti dan lebih paham dengan daerahnya. Jangan merasa tersinggung kalau itinerary yang sudah kamu susun diacak-acak saat kamu berkonsultasi kepada orang lokal. Jangan merasa kecewa atau memaksakan diri kalau dikatakan kamu tidak bisa ke daerah A karena sedang kondisi buruk di sana. Gunakan kedua telingamu untuk lebih banyak mendengar. Nasehat atau saran itu merupakan bentuk tanda sayang seseorang kepada kita.
Mungkin ada yang bertanya, “Bagaimana jika orang tersebut memang bermaksud buruk?” Nah, sebelum berangkat liburan, berdoalah kepada Sang Tuhan dan minta terus penyertaanNya. Libatkan Tuhan dalam perjalananmu. Mohon perlindungan padaNya dan mohon juga agar diberikan tanda jika memang ada maksud buruk dari seseorang.
Jika memang kamu tetap mendapat pengalaman buruk seperti tertipu datau dibohongi, maka tulislah agar orang lain bisa tahu. Tulislah agar orang lain bisa belajar dari pengalaman kita dan pengalaman buruk itu berhenti cukup sampai pada diri kita saja, orang lain tidak perlu merasakannya juga.
Saya percaya kalau memang niat kita baik, Tuhan akan menyertai perjalanan kita. Bukan tidak mungkin kita bisa membedakan antara nasehat yang baik dengan nasehat yang kelihatannya baik. Intinya, belajarlah untuk lebih banyak mendengar nasehat dari orang lain dan teruslah berbuat baik. Bukan tidak mungkin kebaikan-kebaikanmu lah yang akan menolongmu di masa yang akan datang. Dan yang terakhir, berpikirlah positif sebab you can’t live in a positive life with a negative mind.
Sekian dulu kultum hari ini, mohon maaf apabila ada salah-salah kata. Seperti kata Dorce Gamalama, “Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pasti milik manusia.”
Sampai jumpa lagi di kesempatan berikutnya.
Salam sayang penuh manja,
Mark Zuckerberg & keluarga.
The only thing to do with good advice is to pass it on. It is never of any use to oneself.
— Oscar Wilde