Berlimpah Sukacita dan Pemandangan Indah di Desa Wae Rebo
Tulisan tentang Desa Wae Rebo ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yang bisa kalian baca DI SINI.
Sedari malam, saya sudah menyiapkan diri untuk bangun pagi. Tidak, saya tidak ingin bangun dengan menggunakan alarm, takut mengganggu pengunjung lainnya yang masih terlelap. Saya pun memerintah otak ini sebelum tidur agar terbangun pukul 06:00 WITA. Pemandangan Desa Wae Rebo di pagi hari pasti akan memesona.
Memasuki pukul 06:00 WITA, alam bawah sadar saya meminta saya untuk bangun. Dengan cepat saya membuka mata sambil membangkitkan badan ini dari matras tipis tempat saya merebahkan badan. Tanpa mencuci muka, karena memang tidak ada air untuk cuci muka di dalam Niang, saya langsung menyelinap keluar untuk melihat Desa Wae Rebo di pagi hari.
Kabut putih tebal menjadi pemandangan saya pagi itu. Niang atau rumah adat Desa Wae Rebo yang lain tidak bisa terlihat oleh mata ini (penjelasan mengenai Niang, Rumah Adat Wae Rebo bisa kalian baca DI SINI). Untung saja, peristiwa itu berlangsung tidak terlalu lama. Matahari segera datang dengan disusul angin pelan yang menggesar kabut itu entah kemana. Alhasil, keindahan desa ini terlihat dengan jelas.
Keceriaan saya tidak berhenti sampai menikmati keindahan Desa Wae Rebo saja. Usai sarapan, saya pun bermain bersama anak-anak lokal yang tidak sempat saya sapa kemarin karena saya dan rombongan datangnya terlalu sore. Bersama mereka saya bermain bola, bercerita, bermain gitar dan yang pasti selfie bareng mereka.
Anak-anak ini senang sekali lho menjadi fotografer dan justru tidak suka menjadi objek fotonya. Seorang anak dengan lihainya mengambil telepon genggam saya dan mengabadikan foto saya dengan latar Mbaru Niang. Ada juga rombongan lain yang datang dengan membawa buku dan alat gambar. Anak-anak itu dengan semangat mengambil buku-buku terebut dan mewarnai atau menggambar di buku yang telah disediakan. Melihat hal itu, sedih juga saya tidak bisa menyumbang buku. Kenapa waktu berangkat tidak kepikiran ya?
Hati begitu senang dan tenang melihat anak-anak ini sibuk dengan aktivitasnya. Oh iya, anak-anak di sini tidak boleh diberikan uang dan permen ya. Menurut pemangku adat di Wae Rebo, memberi uang itu tidak mendidik dan memberi permen tidak bagus untuk mereka. Kalau diberi seperti itu, nanti mereka akan terbiasa untuk meminta. Bagus juga sih alasannya. Jadi yang boleh diberikan kepada mereka ya seperti buku atau barang-barang tidak habis pakai seperti baju, sepatu atau perlengkapan sekolah.
Sudut Terbaik Menikmati Desa Wae Rebo
Puas bermain dengan anak-anak, saya melihat ada satu bangunan di bagian atas yang mirip seperti Niang. Penuh rasa penasaran akan bangunan tersebut, saya pun berjalan naik menuju bangunan tersebut dan ketika sampai, saya langsung masuk ke dalam bangunan tersebut.
Terdapat banyak sekali hasil karya dan lukisan potret anak-anak Desa Wae Rebo. Ada juga beberapa buku bacaan untuk bisa dinikmati oleh anak-anak di sini. Usut punya usut, rumah panggung ini merupakan perpustakaan yang dibuat oleh Pak Hatta Rajasa lho. bukan berfungsi sebagai perpustakaan saja, tetapi juga galeri. Buku-buku yang biasa disumbangkan untuk anak-anak di sini, ya disimpannya di dalam bangunan ini. Senang deh liat anak-anak di sini punya perpustakaan.
Tidak terlalu lama saya berada di dalam. Puas melihat bagian dalam perpustakaan, saya pun keluar dari bangunan tersebut. Alangkah terkejutnya saya ketika keluar dan melihat Desa Wae Rebo dari atas sini. Dengan ditemani beberapa bunga yang mekar dengan cantiknya di depan perpustakaan, saya memandang desa yang berlatar perbukitan gagah nan hijau ini dengan penuh syukur. Saya rasakan tiap tarikan nafas yang saya lakukan dan rasa syukur terucap bersamaan dengan hembusan nafas ini.
Sungguh, dari sini, pemandangan Wae Rebo nampak jelas. Dan menurut saya pribadi, dari atas sini lah sudut terbaik untuk melihat Desa Wae Rebo secara utuh.
Oleh-oleh dan Waktunya Pulang
Setelah mendapat pemandangan cantik dari depan perpustakaan, saya dengan beberapa teman kembali turun ke lapangan. Beberapa teman saya memutuskan untuk mandi dan sebagian lainnya memutuskan merapikan barang-barang. Lalu saya ngapain? Seperti biasa, saya memerhatikan dan mengabadikan aktivitas warga di sini.
Saat cahaya mentari mulai menembus benteng perbukitan dan masuk ke dalam desa, para warga yang berprofesi sebagai petani kopi di sini mulai menggelar kopinya untuk dijemur. Pemandangan ini jarang sekali saya temukan. Beberapa warga lainnya terlihat bersiap untuk turun, guna berbelanja bahan makanan yang sepertinya akan digunakan untuk menjamu tamu selanjutnya.
Sebelum kembali ke dalam Niang untuk berkemas, saya masuk ke salah satu Niang lainnya. Ternyata di salah satu Niang ini dipamerkan kain tenun Manggarai yang bagus banget, yang bisa dibeli untuk dibawa pulang. Ciri khas kain tenun Manggarai adalah warna dasarnya yang berwarna hitam. Harganya berkisar dari Rp 150.000 hingga jutaan, tergantung ukuran dan tingkat kesulitannya. Saya pun tak ingin ketinggalan kesempatan membawa pulang salah satu kain. Dengan cepat saya mengambil dan membayar tanpa banyak menawar, toh hasil penjualannya digunakan untuk kesejahteraan warga di sini, bukan?
Lalu kalian masih ingat dengan kopi yang saya seruput di hari sebelumnya? Usai menyeruput kopi tersebut, salah seorang warga menanyakan apakah ingin memesan kopi untuk dibawa pulang atau tidak. Saya pun mengiyakan tawaran tersebut dan pagi inilah kopi tersebut diantarkan pada saya. Memesan kopi ini tidak bisa dadakan ya, karena tergantung stoknya, masih ada atau tidak. Seorang teman yang memesan langsung pada pagi itu langsung ditolak. Untung saja saya sudah pesan malam sebelumnya.
- Baca Juga: Budget Overland Flores 9 Hari 8 malam
Teman yang sudah selesai mandi dan berkemas pun memanggil saya untuk segera membawa tas keluar dari Niang. Ya, kami akan pulang dan meninggalkan desa ini, desa yang sudah memberikan kesan tak terlupakan untuk saya. “Lalu kamu nggak mandi, us?” mungkin ada yang bertanya seperti itu. Jawabannya adalah “tidak”. Kalau liburan seperti ini, saya jarang banget mandi. Mandi itu akan mengurangi kekuatan saya. Ahahahah
Orang tua saya pernah bilang, kalau berani berjumpa, maka harus siap dengan yang namanya perpisahan, dan inilah saat perpisahan itu. Saya memeluk Bapak Alex sebelum pulang sambil mata ini sedikit berkaca-kaca. Mungkin kalau sedikit lebih lama lagi, air mata yang tertampung itu akan turun perlahan dan membasahi pipi.
Terima kasih Wae Rebo sudah menerima saya dan teman-teman. Terima kasih sudah memberikan banyak pelajaran, pengalaman dan pemandangan yang tak akan pernah saya lupa. Semoga saya tetap sehat dan berlimpah rezeki, agar bisa kembali lagi untuk mampir ke sini.
Tak lupa, kami berfoto bersama di depan gerbang masuk sebelum benar-benar meninggalkan desa ini. Sayonara
Catatan:
- Penduduk Desa Wae Rebo ini beragama Katolik. Meskipun begitu, ada sebagian yang memang masih percaya dengan keberadaan roh-roh nenek moyang.
- Untuk sekolah, adanya di bawah desa ini dan anak yang bersekolah itu tinggalnya tidak di desa ini. Jadi jangan berpikir anak-anak di sini tidak bersekolah ya.
- Waktu itu kamar mandinya hanya ada 3, jadi harus antri kalau mau mandi. Namun tersedia juga pancuran di luar yang bisa digunakan ramai-ramai.
Nature doesn’t need knowledge, because nature is knowledge, knowledge manifest.
–Martin Pretchel