Pantai Gigi Hiu: Sekubit Kecantikan dari Tanah Kelumbayan
Entah pertengkaran macam apa yang terjadi antara sang langit dan matahari. Kesedihan sang langit begitu terasa dari tengah malam. Ia menangis tiada henti hingga pagi datang. Akibatnya, kami tidak bisa melihat lumba-lumba di Teluk Kiluan saat pagi menjelang. Saat saya terbangun kembali, ketika hari agak siang, sang mentari masih belum terlihat dimana ia berada seharusnya. Untung saja pertengkaran antara keduanya tidak berlangsung lama. Sang langit segera berdamai dengan matahari yang ditandai dengan berhentinya tangisan sang langit dan warnanya yang hitam berubah putih. Sang Mentari pun bersinar terang dengan memancarkan cahaya kasihnya dan tersenyum lebar. Saya dan teman-teman pun dapat melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, Pantai Gigi Hiu.
Keluar dari penginapan, saya melihat 7 motor sudah berbaris rapi di pinggir pantai yang letaknya tidak jauh dari penginapan kami. Para pengemudinya terlihat sedang asyik mengobrol di pendopo sambil beberapa dari mereka sibuk mengisap rokok. Mereka bertujuh ini adalah rombongan ojek yang akan mengantarkan kami ke destinasi pertama dan terakhir di hari itu. Dilihat dari perubahan bentuk ban atau knalpot pada beberapa motor yang terparkir rapi tersebut, saya yakin kalau motor-motor ini kerap dipakai untuk melalui medan yang berat. Kalau tidak, maka tak mungkin perubahan minor tersebut dilakukan.
Kehilangan tujuan pertama kami hari itu, Teluk Kiluan, membuat kami tidak ingin kehilangan kesempatan mengunjungi tujuan berikutnya, Pantai Gigi Hiu. Mumpung matahari sedang cerah dan cuaca sedang bagus, teman-teman yang lain pun segera beranjak dari kasurnya yang nyaman. Tanpa memikirkan sarapan, kami bergegas menghampiri para pengemudi motor untuk meminta agar segera mengantarkan kami bersama-sama ke Pantai Gigi Hiu. Kami sudah tak sabar untuk menikmati keindahannya.
Perjalanan Berat Menuju Pantai
Semua peralatan tempur sudah kami bawa, seperti kostum untuk berfoto, kamera dengan berbagai jenis lensanya, drone, serta nyali. Kenapa nyali perlu dipersiapkan? Sebab perjalanan 1 jam menuju Pantai Gigi Hiu bukanlah perjalanan yang mudah. Ada medan terjal dan berat yang sudah menanti di depan sana. Itulah pesan yang disampaikan Chece Stella, sang pemilik penginapan yang kami tumpangi, pada malam sebelumnya.
Saya sendiri tidak terlalu mengindahkan pesan tersebut, toh saya sudah pernah melalui banyak jalan yang rusak selama melakukan petualangan di bumi Indonesia ini. Akhirnya pesan itu pun hanya berlalu begitu saja. Sempat hinggap sebentar di dalam kepala, namun akhirnya pesan itu terkubur dan terabaikan akibat rasa penasaran dan ketidaksabaran kami yang ingin segera sampai di Pantai Gigi Hiu.
Sepertiga perjalanan, motor masih melaju dengan normal. Jalan masih teraspal rapi, terlihat jembatan yang kokoh dan kami pun bisa menikmat pemandangan indah di kiri dan kanan jalan. Beberapa dari kami bahkan masih bisa mengeluarkan kamera untuk mengabadikan keceriaan dan lansekap yang begitu memesona. Laut Kiluan dengan setia menemani kami di sebelah kiri jalan. Nampak juga beberapa perbukitan hijau dengan pohon-pohon yang ditebang dan diubah menjadi perkebunan oleh warga di sisi sebelah kanan.
Tanpa disadari, 1/3 rute itu adalah rute yang paling “halus” dari rangkaian perjalana menuju Pantai Gigi Hiu. Saat kami sedang asyik jeprat jepret dengan kamera kami masing-masing dari atas motor, perlahan tapi pasti jalur berubah menjadi tanah coklat dan berbatu. Badan yang berada di atas motor ini bergetar hebat mengikuti kontur jalan yang ada. Tak ingin kamera terjatuh, saya pun memasukanya ke dalam tas. Biarlah kedua mata yang menangkap momen-momen seru dan otak ini yang menjadi media penyimpanannya.
Semakin jauh motor melaju, semakin hancur jalan yang kami lalui. Dengan terpaksa, kami pun harus menjaga jarak antar motor dan berjalan beriringan. Bukan sekali atau dua kali, motor-motor yang kami tumpangi harus terperosok ke dalam lubang . Alhasil, kami pun harus turun dan berjalan kaki agar motor tak terjerembab lebih dalam. Sumpah ya, rute menuju pantai Gigi Hiu ini adalah salah satu rute paling hancur yang pernah saya lewati.
Kami pun sering terpaksa menerobos pinggiran jalan karena jalur tengahnya terlalu sulit untuk dilewati. Melalui jalan yang begitu rusak ini, saya jadi membayangkan bagaimana keseharian warga desa di Kecamatan Kelumbayan ini yang harus berjuang bila ingin menuju destinasi lain di luar kecamatannya. Dari sini saya jadi tahu kenapa pembangunan infrastruktur yang baik dan merata itu penting. Buat yang merasa pembangunan infrastruktur tidak penting, cobalah mampir ke daerah-daerah dengan medan seperti ini dan rasakan kesulitannya.
1 jam berjibaku dengan jalan yang begitu aduhai, akhirnya kami melihat papan bertuliskan “Pantai Gigi Hiu”. Hati ini bersyukur bukan main melihat tulisan tersebut. Rasanya seperti melihat nutrisari dingin ditengah waktu menjelang berbuka puasa. Tapi rupanya, papan nama itu hanyalah kesenangan sementara, karena kami masih harus berjalan kaki sejauh 300 meter untuk menikmati kesenangan sesungguhnya. Jalur tanah menuju pantai sangat basah sehingga sulit dilalui motor. Itulah alasan kenapa kami masih harus berjalan kaki.
Keindahan Pantai Gigi Hiu
Dari kejauhan, batuan-batuan raksasa dengan ujung lancip yang mencuat dari dalam tanah dan tersebar di depan pantai yang melengkung mulai terlihat. Itulah bebatuan yang membuat pantai yang terletak di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, ini terlihat seperti gigi hiu yang tajam.
Awal mulanya, pantai ini diberi nama Pantai Batu Layar dan dianggap tidak memiliki “nilai jual” oleh warga sekitar. Namun setelah Om Budhi Martha, Om Yopie, serta rekan pejalan lainnya yang ada di Lampung datang ke tempat ini dan mengekspos tempat ini ke dunia maya, tempat ini pun menjadi buah bibir dan mengundang rasa penasaran banyak orang. Tempat ini lantas diberi nama Pantai Gigi Hiu karena bebatuan yang ada di pantainya dan juga karena nama Batu Layar sudah terlampau banyak dipakai oleh beberapa pantai yang ada di Indonesia.
Bahkan saya mendengar kalau jalur yang saya lewati sekarang itu sudah cukup LUMAYAN. Waktu jaman Om Yopie menemukan pantai ini, motornya bahkan harus sampai digotong. Kebayang kan dulu rusaknya seperti apa jalan di sini?
Kembali ke keindahan Pantai Gigi Hiu. Semakin mendekati pantai, semakin nampak jelas kecantikan pantai ini. Rasa lelah akibat bergoyang-goyang di atas jalan tanah dan berbatu tadi pun musnah sudah. Suara ombak yang mengalun lembut dan angin yang berhembus mendekap tubuh ini membuat kami dipenuhi ketenangan dan sukacita.
Meskipun tidak bisa direnangi, karena ombaknya yang cukup besar dan terlalu banyak bebatuan tajam di pinggir pantai, pantai ini tetap indah. Untuk para pecinta foto, Pantai Gigi Hiu menawarkan pesona tersendiri yang tidak bisa kalian temukan di pantai lain. Rasanya setiap sudut dari bebatuan yang berdiri gagah di pantai ini memiliki keistimewaannya masing-masing. Arahkan lensamu ke arah laut, dan tangkaplah momen kala bebatuan runcing ini dihempas oleh ombak.
Tak ingin kehilangan momen, Maulida dan Firly, rombongan yang pergi bersama saya dan merupakan Muli Mekhanai Kota Bandar Lampung 2018, segera berganti kostum untuk bergaya di atas pantai ini dan diabadikan momennya. Dengan diarahkan oleh Bang Indra, Maulida yang bergaun kuning keemasan bergaya dengan luwesnya dan berpadu cantik dengan bebatuan coklat dan ombak yang berbuih putih. Pemandangan semakin indah kala Firly, dengan kain tenun yang terpasang rapi di badannya, datang dan berduet dengan Maulida. Mereka berdua terlihat begitu serasi.
Puji Tuhan photo session di pantai itu berjalan dengan baik. Sepertinya, dilihat dan diambil gambarnya dari sudut manapun, pemandangan pantai ini tetap menakjubkan. Kami bersyukur karena semesta begitu berpihak pada kami siang itu. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri untuk berdiam di pinggir pantai dan menikmati suasana pantai yang saat itu benar-benar milik kami. Karena terkadang cara terbaik untuk menikmati pantai bukanlah dengan berfoto di atasnya, melainkan dengan berdiam diri dan menyesap setiap energi positif yang ada di sana.
Kalau ada pilihan untuk tidak pulang, mungkin saya akan memilih untuk tidak pulang. Membayangkan beratnya medan yang akan kami lalui untuk kembali ke Kiluan sudah cukup menguras tenaga saya. Tapi itulah perjalanan yang kami lakukan. Kami harus tetap kembali. Namun sebelum kembali, saya sudah meletakkan potongan hati imajiner di balik salah satu batu di pantai ini. Saya ingin memberi tanda kalau pantai ini selalu memiliki tempat di hati saya.
Penjelasan Tambahan
- Di sepanjang perjalanan, saya tidak melihat banyak warung. Hanya ada beberapa saja dan itu pun tidak lengkap. Maka lebih baik membawa air, makanan dan jajanan lainnya dari Kiluan.
- Untuk menuju ke Pantai gigi Hiu dari Kiluan, disarankan menggunakan ojeg dengan tarif yang berkisar antara Rp 150.000 – Rp 250.000. Silakan ditawar saja.
- Bila ingin pergi dengan menggunakan sepeda motor, tidak disarankan menggunakan sepeda motor matic. Bila ingin menggunakan mobil, disarankan menggunakan mobil 4WD.
- Gunakan baju yang nyaman dan lebih baik menggunakan sandal gunung.
- Biaya masuk Pantai Gigi Hiu adalah sebesar Rp 10.000/orang.
When I pray, I always thank Mother Nature for all the beauty in the world. It’s about having an attitude of gratitude.
–Miranda Kerr