Mengatasi Kelaparan di Warung Rawon Kiroman
Saya bukanlah orang yang terlalu pusing soal makanan saat melakukan perjalanan. Jadi saat diajak makan dimanapun dan kapanpun, saya tidak ada masalah. Mau itu makanan haram atau halal, semua masuk ke dalam perut ini. Maka ketika saya diajak untuk makan Rawon Kiroman oleh Chris, Billy dan Monik (ketiga sahabat perjalanan saya) setelah mengunjungi Sumber Jenon di siang hari yang panasnya begitu menyengat, saya pun tak menolak ajakan tersebut.
Kenapa Rawon Kiroman?
Saat berangkat dari Malang ke penginapan yang berada di Batu dengan menggunakan taksi online, dimana Chris dan Monik sudah tiba lebih dulu, Billy dan saya bertanya soal rawon yang enak di Malang kepada sang supir. Sebagai makanan khas Jawa Timur-an, wajib hukumnya mencicipi makanan ini saat bertandang ke Malang. Waktu itu kalau tidak salah yang terkenal adalah Rawon Nguling. Namun sang supir bilang, “Di sana itu ramai, Mas. Bahkan sampai antri kalau mau makan. Ada yang tidak begitu ramai dan tidak kalah enak, namanya Rawon Kiroman.”
Itulah pertama kali saya mendengar nama Rawon Kiroman. Sebagai orang yang tak terlalu pusing soal nama besar, karena sebuah tempat makan yang mungkin belum memiliki ‘nama’ belum tentu memiliki rasa yang tidak enak, saya pun berjanji akan mencoba rawon di sana.
Sejauh hasil googling yang saya dapat setelah sang supir menyebutkan nama Rawon Kiroman, hasil pencariannya cenderung positif. Banyak testimoni dari orang lain yang menunjukkan kalau rawon ini rasanya enak, meskipun definisi enak itu relatif, ya kenapa tidak memberi kesempatan buat mereka. Toh yang kami cari adalah makanan, bukan keramaian. Buat apa antri lama-lama hanya untuk makan sedangkan ada tempat lain yang bisa langsung makan tanpa perlu antri dan rasanya enak, kan?
Warung Rawon Kiroman
2 hari berselang setelah percakapan dengan sang supir itu terjadi, akhirnya rencana untuk makan di Rawon Kiroman berhasil dieksekusi. Kami diantar oleh salah seorang warga di Gunungronggo (lokasi mata air Sumber Jenon berada) dengan mobilnya hingga tepat di depan Warung Soto dan Rawon Kiroman yang terletak di Jl. Yulius Usman No.52, Kasin, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Ya, ketika sampai di depan tempat makan inilah saya baru tahu kalau ternyata tidak hanya rawon yang dijual, tapi Soto juga.
Di tengah modernisasi yang menyerang bangunan-bangunan di daerah perkotaan Malang, bangunan Rawon Kiroman ini seolah menolak untuk mengikuti alur tersebut. Ia tetap tampil sederhana, dengan gaya tua tapi tetap terlihat gagah. Sebelum memasuki bangunan utamanya yang hanya satu lantai itu, dengan pintu dan jendela dari kayu berwarna biru muda dengan motif garis-garis vertikal, terdapat sebuah teras kecil yang bisa digunakan untuk memarkirkan sepeda motor bagi mereka yang datang dengan menunggangi si kuda besi.
Warung Rawon Kiroman ini memiliki 3 ruang utama bagi pengunjung untuk makan yang membentuk huruf L, dengan 2 pintu yang menghubungkan ketiga ruang tersebut.
Area pertama, tepat di depan pintu masuk, merupakan area yang paling asyik untuk makan menurut saya. Area ini tak ubahnya seperti warteg, dimana pengunjung makan di atas meja panjang yang bagian depannya dipisahkan dengan area untuk sang pemilik menyiapkan hidangan. Terdapat bermacam pelengkap makanan yang tersaji di atas meja tersebut seperti aneka kerupuk dan aneka minuman botol. Terlihat agak sumpek memang, tapi disanalah kesan ‘warung’ benar-benar ditonjolkan.
Tepat di sebelahnya, dihubungkan oleh sebuah pintu, merupakan area kedua yang berbentuk persegi dan terdiri dari 4 meja makan di setiap sudutnya. Di sinilah ruang tempat kami makan. Setelah kami melangkah masuk, salah satu pelayan langsung mengantar kami ke meja nomor 3 yang berada di ujung sebelah kiri atas, bersisian langsung dengan jendela. Tepat di sebelah ruang kami duduk, dengan dihubungkan oleh sebuah pintu dan memiliki layout yang sama persis, merupakan area makan ketiga.
Seperti sudah tahu kalau kami pengunjung baru di Rawon Kiroman ini, sang pelayan segera berlalu setelah menyodorkan daftar menu dan kertas kosong beserta pulpen untuk mengisi menu yang akan dipesan. Ia seolah tahu kalau kami akan lama dalam memilih menu dan ia memberikan waktu bagi kami untuk memilih makanan yang ingin disantap.
Santap Siang
Meskipun terdapat beberapa menu selain rawon, kami berempat tidak tergoda. Sesuai dengan rencana awal, kami pun tetap memesan rawon, sup daging berkuah hitam sebagai campuran bumbu khas yang menggunakan kluwek. Yang membedakan hanyalah bagaimana rawon itu disajikan.
Ada 2 aliran ke-rawon-an versi saya, yaitu rawon yang nasinya dicampur dan rawon yang nasinya dipisah. Mungkin aliran ke-rawon-an ini bisa sedikit disamakan dengan aliran ke-bubur-an, yaitu bubur diaduk dan bubur tidak diaduk. Kalau saya merupakan penganut agama Rawon dipisah garis keras. Meskipun harganya lebih mahal, tapi yang penting porsinya lebih banyak, karena nasi dan rawon diletakkan dalam piring yang berbeda. Hari itu saya adalah aliran minoritas, sebab yang lain memesan rawon yang dicampur.
Sebagai teman untuk mengimbangi makanan tersebut, kami memesan Es Beras Kencur. Sudah lama rasanya saya tidak minum jamu. Di tengah kondisi matahari di luar sana yang panasnya terasa hingga ke dalam ruangan, Es Beras Kencur pasti mampu memberikan kesegaran.
- Baca Juga: Mengenal Keindahan Wisata Alam Sumber Jenon
Pelayan yang tadi pun kami panggil kembali. Sambil menyerahkan daftar menu dan kertas putih berisi pesanan kami, saya berpesan, “Cepat ya, Mbak. Perut saya sudah lapar.” dan ia pun segera pergi dengan tak lupa memberikan senyum.
Sambil menunggu pesanan kami datang, dengan sedikit terganggu oleh bau rawon yang menggoda dari pengunjung lain yang tengah makan di sebelah dan di belakang kami, mata ini tak bisa diam. Kedua bola mata ini terus memandangi ruangan demi ruangan yang ada di Warung Rawon Kiroman ini. Beberapa kaligrafi Islam dan juga gambar dari masjid-masjid yang ada di Arab Saudi sana terlihat menghiasi dinding-dinding ruangan dan tak sengaja membuat saya melamun ketika memandangnya. Entah mengapa, di ruangan yang sederhana ini, saya merasa begitu nyaman.
Senggolan dari Chris tak sengaja mengaburkan lamunan saya. Rupanya diam tak bicara hanya membuat masing-masing kami mampu mendengar suara perut kami dengan jelas. Guna mengaburkan hal tersebut dan memindahkan konsentrasi, kami pun lantas berbincang mengenai Sumber Jenon yang kami kunjungi tadi sambil menunggu hidangan datang.
Kurang dari 10 menit kami ngobrol, hidangan yang kami tunggu akhirnya datang. Pesanan kami datang dengan tambahan menu yang baru akan dihitung jika kami memakannya, yaitu otak, babat, empal, mendol, tempe, ati dan juga sate. Menurut saya, kuah rawon di Rawon Kiroman ini warnanya tidak terlalu hitam, potongan daging sapinya pas dan tidak terlalu banyak, dengan sambal dan taoge yang luar biasa.
Tanpa aba-aba, setiap kami langsung sibuk dengan pesanan masing-masing, menyantapnya dengan penuh keheningan tanpa mempedulikan lagi satu sama lain. Billy dan saya sempat berkomunikasi sebentar, yaitu untuk membagi otak sapi yang dirasa terlalu banyak bila dihabiskan sendiri. Setelah itu, kami kembali sibuk menghabiskan hidangan kami masing-masing.
Dalam waktu yang lebih singkat dari menunggu hidangan rawon itu datang, semua berhasil kami habiskan. Hanya tersisa kuah rawon yang masih hangat di atas piring, daging, taoge, dan nasi, semua hilang tak bersisa.
Bagaimana rasa Rawon Kiroman? Buat saya enak banget. Dagingnya cukup lembut untuk dikunyah. Yang kurang hanya satu, yaitu porsinya. Soal makanan, saya memang mengutamakan kuantitas dibanding kualitas. Jadi setiap kali ditanya ‘kurangnya apa’, saya pasti selalu menjawab porsinya yang kurang banyak.
Mendadak kami menjadi manusia yang berbeda setelah makan. Saya menyebutnya KeBo alias kenyang bodoh. Kami hanya saling tersenyum melihat satu sama lain yang terlihat bodoh, tak bisa berbicara untuk sejenak. Kami pun tidak bisa bergerak dan keringat pun membanjiri tubuh kami. Setelah mulut yang bertugas, kini tugas itu diberikan kepada organ-organ di dalam perut, untuk mengubah makanan yang masuk menjadi energi.
Entah sudah berapa banyak perjalanan yang saya habiskan dengan mereka dan sudah berapa rumah makan yang saya kunjungi bersama mereka. Dimana pun tempatnya, selama bersama mereka, rasa yang hadir selalu sama, yaitu sukacita. Saya rasa persahabatan merupakan bumbu penyedap rahasianya. Sebab makanan bukan melulu soal rasa, tapi dengan siapa kita menghabiskannya.
Saat dirasa semua organ tubuh ini sudah berfungsi dengan normal, kami pun mengakhiri perjalanan kami di Rawon Kiroman. Kami segera beranjak dari meja kami, sebab sudah ada pengunjung lainnya yang juga ingin menyantap kelezatan Rawon Kiroman. Kami tak ingin jadi seperti pemuda yang tak acuh, bersikap seolah tidak tahu kalau ada pengunjung lainnya dan sengaja untuk mengulur waktu agar mereka menunggu lebih lama.
Harga yang harus kami bayar untuk 4 porsi rawon + 4 es beras kencur dan juga otak sapi adalah Rp 156.000. Saya lupa rinciannya seperti apa, tapi menurut saya itu harga yang cukup murah untuk makan Rawon Kiroman di tempat yang cukup nyaman.
Sebelum pergi, tak lupa kami menghabiskan Es Beras Kencur yang sudah kami pesan. Kami menenggaknya hingga habis, memastikan semua tetesannya masuk ke dalam tubuh dan menyatu dengan rawon yang sudah lebih dulu bersarang di dalam perut. Tidak menghabiskan makanan dan minuman yang dipesan merupakan salah satu bentuk penghinaan pada sang Tuhan. Sebab banyak orang di luar sana yang sulit untuk makan, lalu siapalah kita dengan seenaknya membuang-buang makanan?
If You can’t feed a hundred people, then feed just one
–Mother Theresa