Wajah Lumajang (1): Kejutan dari Kapas Biru
Awal tahun 2014, saat baru pertama kali kerja, saya menganggap jalan-jalan itu hanyalah sebuah ajang untuk membuang-buang uang. “Lebih baik ditabung daripada dipakai untuk jalan-jalan,” pikiran saya kala itu. Namun setelah 6 tahun berselang dan melakukan banyak perjalanan, ternyata sebuah perjalanan itu bisa menuntun ke perjalanan berikutnya, perjalanan yang mungkin tak diduga, menemukan hal yang menyenangkan, bahkan mendapatkan ketenangan yang tak mungkin pernah terbayangkan sebelumnya. Itulah yang saya rasakan, ketika mengunjungi Lumajang, sebuah daratan yang menjadi landasan bagi gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Hanya berharap mengunjungi Tumpak Sewu dengan deruan airnya yang memesona, rupanya Tuhan memberikan tambahan berupa air terjun lainnya yang tak kalah memesona, Kapas Biru dan Kabut Pelangi namanya.
Tanpa Rencana
Malam hari, di hari kedua saya dan Billy berada di Lumajang, setelah 1 hari sebelumnya kami gunakan untuk berangkat dari Malang dengan menggunakan kendaraan umum dan dilanjut dengan beristirahat seharian, kami pun berbincang dengan Pak Yanto sang pemilik Yanto Home Stay Anugrah di Desa Sidomulyo, tempat saya dan Billy menginap semalam 3 hari 2 malam. Kepada beliau saya bertanya kira-kira ada tidak ya lokasi lain yang bisa kami kunjungi sebelum pulang esok hari. Rencana awal kami di Lumajang memang hanya mengunjungi Tumpak Sewu. Namun sayang saja rasanya kalau 3 hari di Lumajang hanya dihabiskan di Tumpak Sewu.
Karena memang merupakan warga lokal, Pak Yanto memberi tahu kalau kami bisa mampir ke 2 lokasi air terjun. Ya, tidak hanya 1, tapi 2.
“Ada, Mas. Kalian besok bisa mampir ke Kapas Biru dan Kabut Pelangi. Namun kalau mau berkunjung ke sana, kalian harus berangkat pagi-pagi sekali karena waktu tempuh 2 air terjun itu lumayan lama dan kalian harus kembali lagi ke sini sore harinya untuk berkemas dan mengejar bus terakhir ke Malang.” Sahut Pak yanto menjawab pertanyaan saya.
Mendengar nama air terjun yang disebutkan Pak yanto, saya langsung tertarik sekaligus penasaran. Kapas yang identik dengan warna putih kini disebutkan bersanding dengan warna biru. Tidak hanya itu, ada juga kabut yang dihiasi Pelangi. “Kira-kira akan seperti apa ya wujud keduanya?” tanya saya dalam hati. Pikiran saya langsung berimajinasi dengan liar, membayangkan perjalanan menuju kedua tempat tersebut mungkin akan melewati hutan-hutan yang unik seperti dalam film Avatar besutan sutradara James Cameron.
“Saya dengar dari teman saya yang membawa mas berkeliling Tumpak Sewu tadi, mas berdua ini fisiknya cukup kuat. Pasti kalian bisa pergi menuju dua air terjun itu dan kembali tepat waktu. Bagaimana tadi Tumpak Sewu-nya? bagus?” Tanya Pak Yanto.
“Bagus, Pak. Nggak menyesal saya main ke sini.” Jawab Billy menyela percakapan saya dan Pak Yanto.
“Kapas Biru dan Kabut Pelangi juga indah. Jadi, mau kan ke Kapas Biru dan Kabut Pelangi besok?” Tanya Pak Yanto.
Tanpa berpikir panjang, kami pun menjawab, “Mau.”
“Baik, kalau begitu. Sekarang saya bilang kepada dua teman saya untuk mengantar kalian besok pagi. Jangan lupa besok paling lambat jam 07:30 WIB kalian sudah harus berangkat ke Kapas Biru. Sekarang kalian istirahat saja, persiapkan fisik dan peralatan kalian untuk besok.” Ujar Pak Yanto.
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, ia pun berlalu dan menghilang dari hadapan kami. Saya pun sengaja tidak mengehntikannya untuk bertanya lebih detil tentang kedua air terjun tersebut. Saya membiarkan diri ini tetap penasaran dan biarlah alam yang menjawab langsung akan keindahan Kapas Biru dan Kabut Pelangi esok hari.
Sesuai dengan instruksi Pak Yanto, kami pun langsung kembali ke kamar dan bergegas untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran ini.
Yang Dinanti
Pagi itu saya mulai dengan agak malas, raga ini masih tidak ingin lepas dari jeratan kasur, jiwa ini masih mengawang-awang entah kemana, tapi tidak dengan Billy. Ia sudah bangun lebih dulu dan menunaikan tugasnya sebagai pria muslim. Secara perlahan saya mulai meningkatkan kesadaran saya, mencoba menyatukan raga dan jiwa ini hingga benar-benar menyatu.
Saat hal itu terjadi secara sempurna, saya langsung teringat kalau pagi ini saya mau pergi ke air terjun kapas Biru. Melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06:00 WIB, saya pun langsung turun dari kasur dan mempersiapkan semua ‘peralatan perang’ dengan agak tergesa-gesa. Di luar kamar, Billy sudah terlihat siap dan tersenyum melihat saya yang grask-grusuk karena baru terbangun.
- Baca Juga: Menikmati dan Mensyukuri Pagi di Tumpak Sewu
Merasa semua sudah siap, mulai dari pakaian hingga kamera, kami berdua berpindah ke warung yang ada di penginapan. Istri Pak Yanto langsung menyambut kami dengan senyumnya, tak ketinggalan masakannya yang simple, tapi ngenyangin dan ngenakin. Ada dua air terjun yang akan kami kunjungi hari ini dan sarapan sebagai sumber tenaga merupakan hal yang wajib.
Di seberang warung, 2 orang teman Pak Yanto terlihat sedang asyik mengobrol. Mereka ternyata sudah lebih siap dari kami. Senang deh lihat guide yang siap model begini. Tanpa perlu dipanggil, mereka sudah stand by.
“Tunggu sebentar ya, Pak. Kami sarapan dulu.” Teriak saya kepada mereka yang posisinya agak jauh.
Tangannya ia angkat tinggi dengan posisi jempol menghadap ke atas, yang saya artikan ia akan menunggu dan mempersilakan saya menghabiskan sarapan.
Tak butuh lama untuk menghabiskan sarapan. Kurang dari 10 menit, apa yang ada di atas piring sudah berpindah ke dalam perut. Piring bersih mengkilat. Saya pun kemudian langsung memberi sinyal kepada 2 pendamping kami hari itu untuk membawa kami ke destinasi pertama, Kapas Biru. Dengan masih agak kekenyangan, kami berangkat menuju Kapas Biru dengan menggunakan sepeda motor.
Treking
Keheningan menyambut kami di lokasi parkir air terjun Kapas Biru. Pagi itu, sekitar pukul 07:40 WIB, baru kami yang datang, bahkan loket karcisnya pun belum buka. Alhasil kami pun nyelonong masuk begitu saja. Ternyata hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit untuk tiba di Pronojiwo dari Yanto Homestay dengan menggunakan motor. Memang dekat jaraknya bila dilihat menggunakan Google Maps, hanya saja saya tidak menyangka akan sedekat itu.
Treking pagi itu dimulai dengan melewati jalan yang sempit dengan perkebunan salak di bagian kiri dan kanannya. Salak memang menjadi salah satu komoditas daerah Pronojiwo ini. Jalannya kecil dan menurun, lebarnya tak bisa menampung lebih dari 2 pejalan yang saling bersisian. Kami pun berjalan dengan format barisan yang memanjang ke belakang, dengan seorang guide berdiri di posisi paling depan sebagai penunjuk jalan dan seorang lainnya di paling belakang sebagai penjaga.
Kami berjalan dengan tempo yang cukup cepat. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di Kapas Biru. 10 menit berjalan, jalan tanah yang tadi menurun santai perlahan berubah menjadi curam, kebun salak pun berubah menjadi rumput dan pepohonan yang tinggi besar. Suara aliran air sungai mulai bisa terdengar namun belum bisa terlihat. Saya hanya bisa meraba kalau posisinya ada di kanan kami, masih jauh ke bawah. Cahaya matahari berusaha memanah kami, menembus lebatnya pepohonan. Saya dan Billy pun diminta untuk jalan dengan hati-hati.
“Jalur ke Kapas Biru ini lebih susah dari Tumpak Sewu, Mas. Namun susahnya hanya di awal saja kok. Mendekati bagian akhir, nanti jalurnya cenderung datar.” Ujar salah seorang guide.
Untungnya saya memang tidak berekspektasi jalurnya akan mudah. Saya sudah mempersiapkan diri kalau jalurnya memang susah. Dalam hati saya hanya berucap, “Jalani dan nikmati.”
Semakin menurun, jalurnya semakin sulit. Ada satu titik dimana kami harus menuruni jalur yang nyaris vertikal. Tangga buatan dengan bentuk dan kualitas seadanya dibangun untuk membantu para pengunjung yang ingin berkunjung ke sini. Genggaman harus kuat dan langkah harus pelan dan pasti saat menuruni tangga tersebut.
Penderitaan tidak selesai sampai di situ, masih ada jalur yang berkelok-kelok menanti di depan jalur tangga vertikal ini. Tanah dipahat hingga membentuk anak tangga untuk mempermudah langkah para pengunjung. Pegangan dari besi dibangun di salah satu sisinya untuk membantu kami agar tidak jatuh. Semakin menurun, pegangan solid dari besi berubah menjadi bambu yang sedanya, yang bahkan akan bergoyang bila dipegang. Menggenggam tanah terkadang menjadi solusi lebih baik untuk berjalan menuruni jalur tanah ini.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya melewati jalur tanah ini bila hujan deras datang. Bila terpeleset, bukan tak mungkin menggelinding hingga ke bawah. Tanpa disadari, kami sudah berada jauh di bawah dari titik awal kami memulai perjalanan, tebing tinggi sudah menjadi penjaga di sisi kiri kami dan aliran sungai yang tadinya bersembunyi dibalik hijaunya tumbuhan di sini sudah mulai menampakkan dirinya di sisi sebelah kanan.
Berhasil melewati 2 jalur yang cukup curam itu, kami beristirahat sebentar. Kami mencoba untuk mengambil napas sejenak, merasakan kiriman oksigen dengan kualitas terbaik dari pohon-pohon yang jaraknya begitu dekat. Jarang sekali saya mendapati udara sesegar ini, rasanya saya bisa merasakan dengan jelas proses masuknya udara dari hidung hingga masuk ke paru-paru.
“Ayo lanjutkan lagi, Mas. Jangan terlalu lama istirahatnya. Jalur yang paling sulit sudah dilewati, sekarang jalurnya jauh lebih mudah.” Kata guide yang berada di paling belakang.
Kami pun kembali berjalan dan ternyata apa yang diucapkan guide itu bukanlah ucapan bohong. Jalurnya memang jauh lebih mudah. Saya sungguh terkejut setelah 30 menit berjalan, saya menjumpai beberapa bidang sawah yang lokasinya tepat di bawah tebing. Siapa yang menyangka kalau akan ada sawah seindah ini di bawah tebing, sawah.yang tak akan pernah kehausan sebab sungai dengan airnya yang menderu keras tepat berada di seberangnya.
Sehabis melewati sawah, sebuah jembatan pendek dan sederhana dari bambu sudah menanti untuk dilalui. Di bawah jembatan tersebut ada semacam parit dengan aliran airnya yang jernih dan segar. Melewati jembatan bambu itu mengingatkan saya dengan kampung halaman mama di Kabanjahe, dimana terdapat jembatan bambu yang mirip seperti ini.
Suara air yang jatuh dari ketinggian dengan volume besar pun sudah semakin terdengar. Itu tandanya Kapas Biru tidak sudah tidak jauh lagi. Saya sudah semakin tidak sabar. Kami mempercepat langkah kami, melewati setiap tanjakan dan turunan yang ada. Tepat 40 menit berjalan, di bagian ujung jalan kami bisa melihat air terjun Kapas Biru yang memesona itu.
Kapas Biru
Saya sempat terdiam memandangi indahnya Kapas Biru dari sepetak tanah datar yang ada di depannya. Teriakan dari seorang guide untuk meletakkan barang bawaan di sebuah saung yang tidak jauh dari aliran air Kapas Biru memecah lamunan saya dan saya pun meletakkan tas di sana, kembali ke posisi awal saya berdiri tadi, dan kembali memandangi air terjun ini.
Tidak seperti Tumpak Sewu yang memiliki banyak jalur tumpahan air, Kapas Biru hanya memiliki satu jalur saja namun dengan volume yang besar dan deras, yang jatuh dari ketinggian ±100 meter, mengikis dinding tebing berwarna coklat yang dihiasi tanaman hijau, dan menghujam bebatuan yang ada di bawahnya.
Persona yang dihadirkan pun berbeda. Jika Tumpak Sewu hadir dengan kegagahannya, Kapas Biru hadir dengan ketenangannya. Entah kenapa saya merasa begitu tenang berada di Kapas Biru ini. Suara airnya itu keras, tapi bisa memberikan ketenangan. Auranya sungguh berbeda.
Air yang jatuh dari dinding tebing itu mengalir melewati bebatuan yang tersusun secara acak. Suara gemericik airnya menjadi alunan musik tak bernada yang menentramkan telinga ini. Tak ingin hanya mata, hati, dan telinga yang dipuaskan oleh Kapas Biru, kaki ini pun melangkah menuju aliran air tersebut. Perlahan saya mencelupkan kaki saya ke dalam aliran air, merasakan dinginnya air yang perlahan menjalar dari ujung kaki hingga ke seluruh badan. Di lain pihak, Billy sudah memanjat ke atas, mendekat ke arah air terjun Kapas Biru.
Tak ingin ketinggalan, saya pun berjalan menyusuri aliran air tersebut, melawan arusnya dan mengejar Billy. Perjalanan menuju ke depan tumpahan air Kapas Biru tidaklah mudah, bebatuannya licin dan beberapa tanaman hijau menutupi bebatuan yang seharusnya bisa menjadi pijakan yang cukup aman. Setelah sedikit berjuang, kami bisa sampai di depannya, di sebuah jarak yang kami anggap aman untuk memandangi Kapas Biru dari dekat. Kami tidak berani terlalu dekat, sebab tumpahan airnya sangat deras dan kami tidak tahu material apa saja yang dibawa dari atas sana.
Sampai sedekat itu bisa memandangnya, saya masih tidak mengerti kenapa tempat ini diberi nama Kapas Biru. Tak ada kapas atau benda sehalus kapas yang saya temui dan tak ada efek warna biru yang timbul dari air terjun ini. Namun saya tidak peduli dengan namanya, saya tidak mau terlalu ambil pusing dan lebih berkonsentrasi untuk berkenalan dengannya. Jika tadi aliran airnya sudah menggenggam kaki saya, kini melalui buih-buih airnya yang halus dan tertiup angin, Kapas Biru membelai wajah saya. Semakin lama saya berdiri, buih itu semakin membasahi badan ini.
Inilah salah satu air terjun yang memiliki makna bagi warga Lumajang, khususnya warga Pronojiwo. Aliran airnya yang tak pernah kering, di musim kemarau sekalipun, telah memberikan keindahan dan kehidupan bagi setiap mahluk yang ada di sini. Saya pun lantas meminta Billy untuk mengabadikan momen saya di sini, di tempat yang juga sudah menghidupkan rasa senang dalam perjalanan saya ke Lumajang kali ini.
Perjumpaan kami terbilang singkat, hanya 45 menit saja, karena air terjun berikutnya sudah menanti untuk dikunjungi. Kapas Biru mungkin tak hadir dalam rencana, tapi ia berhasil mengejutkan saya, menampilkan keindahannya yang sederhana namun memesona, begitu mengena, dan sampai sekarang masih membuat saya terpana.
Water is the driver of nature
–unknown