Mendapat Serangan Bagas di Gunung Cikuray
“Hati-hati, di atas banyak bagas. Simpan makanan kalian dengan baik di tempat yang aman!” Itulah salah satu pesan yang saya dengar sebelum mendaki Gunung Cikuray dari seorang volunteer di basecamp pendakian via Bayongbong Cintanegara. 1 malam berselang, setelah mendaki Gunung Cikuray hingga ke puncaknya, pesan itu kembali saya dengar, lagi-lagi dari seorang volunteer, tapi kali ini volunteer tersebut berasal dari jalur yang berbeda, yaitu via Tapak Jerot.
“Baru sampai, a?” Tanya volunteer yang sedang asyik menjajakan barang dagangannya seperti gelang, air mineral botol, dan beberapa makanan ringan di depan sebuah shelter berwarna merah putih di puncak Gunung Cikuray kepada saya di siang yang cukup terik itu.
“Iya, Kang.” Jawab saya singkat sambil meletakkan carrier yang saya bawa ke tanah.
“Hati-hati, ya. Malam hari di sini banyak bagas. Jangan sampai makanan kalian diambil.” Pesannya singkat.
“Ada berapa ekor memangnya bagas di sini, kang?” Tanya saya kepada Kang Utang, nama volunteer via Tapak Jerot itu.
“Paling banyak sih saya pernah lihat ada 6 ekor sekali datang.” Jawab pria yang menggunakan topi bundar guna menghalau sinar matahari pekat yang menghajar langsung wajahnya.
“Oh, lumayan banyak ya.” Sahut saya dengan santai.
Usai percakapan singkat itu, saya dan teman-teman pamit untuk membangun 3 tenda dengan posisi 2 tingkat di bawah shelter.
Makan Malam
Setelah melalui hari yang agak panjang di puncak Gunung Cikuray, mulai dari membangun tenda, istirahat sejenak, dan menikmati proses matahari terbenam, tibalah saya dan teman-teman pada malam yang indah dan dingin di atas gunung dengan ketinggian 2821 MDPL itu.
Saya, Helena, dan Virginia yang berada dalam satu tenda segera mulai memasak. Menu makan malam dari tenda kami saat itu adalah pasta dan omelette. Di tenda tengah, Silas dan Maestro mulai memasak air panas, untuk nantinya disedu dengan kopi atau susu. Sedangkan Yudho dan Ruben yang berada di tenda paling kiri, seolah tak ingin kalah dengan kami, memasak tumis sayur.
- Baca Juga: Lezatnya Babi Kuah Pasar Gede
Bisa dibilang menu makan malam kami saat itu cukup mewah dan berlimpah. Tukar menu antar tenda pun terjadi dengan cepat. Tak ingin menyia-nyiakan berkat yang Tuhan berikan, semua makanan sukses kami makan dengan lahap, hingga hanya menyisakan kerak dan bumbunya yang masih menempel di nesting. Efek kekenyangan membuat kami menjadi malas untuk bergerak, khususnya keluar tenda.
Cuaca yang dingin malam itu seolah menjadi pembenaran bagi kami untuk tidak mencuci nesting, garpu, piring dan peralatan makan lainnya yang kami gunakan. Dengan sukarela, Silas dan Ruben keluar dari tendanya dan merapikan semua perkakas itu di luar. Kami mengingat pesan untuk mengamankan makanan dan sisa bahan makanan dari ancaman para bagas sebab indra penciuman mereka sangat bagus dan bisa mencium bau makanan dari tempat yang sangat jauh.
Semua sampah lantas dikumpulkan ke dalam satu plastik hitam. Perkakas yang kami gunakan untuk makan dan masak diletakkan di satu tempat, yaitu di atas batu yang berjarak sekitar 1 meter dari tenda yang saya tempati, dengan maksud untuk dibersihkan di pagi hari. Plastik hitam yang menjadi tempat sampah lantas digantung pada sebuah ranting, letaknya tak jauh dari perkakas kotor.
Dari dalam tenda, kami yang tak keluar karena dinginnya angin Cikuray yang menusuk hingga ke tulang hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada mereka. Tak lupa kami juga merapikan bahan makanan yang ada di dalam tenda, bahan makanan yang akan kami masak dan makan untuk sarapan besok. Ya, bahan makanan mentah dan sayuran yang terbungkus rapi di dalam plastik, kami simpan di dalam tenda masing-masing. Di bawah langit yang bertabur bintang, dengan cacing di perut yang juga sudah tenang, satu per satu dari kami pun mulai tumbang.
Malam Petaka
Beberapa menit setelah sebagian dari kami mulai tertidur, sekitar pukul 23:00 WIB, saya mendengar suara krasak krusuk dari semak belukar yang tak jauh dari tenda kami. Suara dari semak yang bergoyang itu kemudian berganti menjadi suara menguik yang cukup keras, yang disusul dengan suara nesting yang saling beradu. Sang bagas rupanya sudah datang.
Dari luar tenda Silas berteriak, “hati-hati, bagas.”
Rupanya bukan saya sendiri yang belum tertidur. Saya, Silas, dan Ruben yang masih terjaga pun berjaga di tenda masing-masing. Untungnya bagas hanya mengacak-acak perkakas kotor milik kami, menjilatinya dan kemudian mereka pergi begitu saja.
Bagas alias babi ganas memang salah satu “penduduk” Gunung Cikuray yang agak ditakuti keberadaannya oleh para pendaki, namun tidak dengan saya. Saya sudah pernah berjumpa dengan bagas di Gunung Papandayan, jadi saya tidak terlalu khawatir dengan kehadiran bagas di Gunung Cikuray ini.
Ketika mendengar ada bagas di Gunung Cikuray, saya malah tertawa kecut dan berguyon dalam hati, “Wah, asyik nih ada babi. Kalau ketemu bisa saya tombak, masak, lalu saya makan, nih.”
Ya, saya memang penikmat daging babi garis keras. Babi adalah alasan utama saya tidak bisa menjadi seorang vegan. Mau dimasak seperti apa pun, daging babi pasti saya santap. Jadi ketika tahu ada “makanan” yang akan datang menghampiri saya, ya saya senang dong.
- Baca Juga: Serunya Rute Pendakian Gunung Semeru
Selang 4 jam kemudian, sekitar jam 02:00 WIB, saat dimana memang semua pendaki sudah mulai terlelap, rombongan bagas kembali datang. Jumlahnya kurang lebih 2 ekor. Mereka seolah tahu titik lemah kami. Ketika saya dan rombongan sudah tertidur, tiba-tiba saja seekor bagas menyerang tenda yang saya tempati.
“Kruakkk”, suara seperti sesuatu yang disobek terdengar keras dari tenda saya, dari bagian bawah, tepat di mana kaki saya bersandar. Dengan mata yang masih sayu saya bertanya, “Ada bagas ya, las?”
“Iya, Us. Hati-hati.” Jawab Silas yang juga terbangun mendengar suara itu.
Sebenarnya itu hanyalah kalimat pertanyaan yang keluar secara spontan dengan tingkat kesadaran yang masih rendah. Usai bertanya seperti itu, saya kembali tertidur. Hingga beberapa saat kemudian saya terbangun kaget dan menyadari kalau tenda saya lah yang diserang.
Sambil memeriksa kondisi bagian bawah kanan tenda, dekat dengan pintu keluar tenda, saya pun berteriak, “Babiiii.”
- Baca Juga: Rute Pendakian Gunung Latimojong
Sebuah lubang berbentuk persegi panjang dengan panjang 20 cm dan lebar 10 cm menganga lebar. Helena dan Virginia pun terbangun dari tidur mereka setelah mendengar teriakan saya itu. Sementara di luar tenda, suara seperti mengunyah kerupuk terdengar jelas dari bagas yang berhasil melubangi tenda saya itu. Rupanya ia berhasil mengambil beberapa bahan makanan dari tenda saya.
Sambil masih ketakutan, saya, Helena, dan Virginia penasaran dengan bahan makanan apa yang berhasil diambil oleh si bagas. Suara kunyahan semakin terdengar jelas dari luar dengan diiringi tarikan nafas yang kuat dari bagas.
“Hati-hati ya, Us. Bagasnya gede banget ini.” Ucap Silas sambil menghadapkan cahaya senter ke arah bagas.
Masih sambil asyik mengunyah, bagas itu kembali mendekat ke tenda kami dan menempekan badannya. Silas kembali meminta kami untuk berhati-hati. Keinginan besar dan rasa jemawa untuk memakan si bagas yang sempat terucap, kini mendadak berubah menjadi sebuah ketakutan akan menjadi santapan mereka. Rasa takut itu harus saya tutupi sebab ada 2 wanita yang harus saya jaga di tenda ini. Sambil memegang pisau, saya terus fokus ke arah babi yang masih asyik mengunyah. Takut mereka kembali mencoba masuk ke dalam tenda.
Persitiwa menegangkan itu untungnya hanya berlangsung 10 menit. Usai memberikan shock therapy dan menghabiskan sedikit makanan kami, bagas-bagas itu pergi tanpa pamit dan mengucapkan terima kasih. Kami yang sudah terlanjur trauma pun tak bisa tidur dibuatnya dan melek sampai sunrise tiba.
Pagi Akhirnya Datang
Selepas menikmati sunrise di puncak, saya cepat-cepat kembali ke tenda. Saya penasaran dengan lubang dan makanan apa yang berhasil. Bersama dengan teman-teman yang lain, kami menghampiri tenda untuk kapasitas 4 orang itu.
Lubang yang yang dibuat sang bagas lumayan besar. Lucunya adalah lubang yang berhasil dibuat itu bentuknya sangat rapi, seperti menggunakan penggaris dan perhitungan matematis. Selain itu, lokasi lubang ada di bagian terpal tenda, bukan di bagian kain atas, sehingga saya masih bisa menambalnya nanti setibanya di Jakarta.
Di depan lubang, 2 bungkus plastik makanan tergeletak tak berdaya. Mereka adalah bungkus pasta dan bungkus ceres. Rupanya itu kedua makanan yang berhasil dicuri oleh bagas semalam.
Yang membuat saya bingung adalah kenapa bagas itu bisa mengendus pasta mentah dan ceres yang masih terbungkus rapi, sedangkan sayuran dan bahan mentah lainnya ada di dalam tenda Silas. Apakah ini artinya bagas di Cikuray sudah lebih modern dan kekinian dari pada bagas di Papandayan sebab mereka lebih memilih ‘makanan eropa’ ketimbang sayuran dari kebun Indonesia? Entahlah.
Untung saja semalam bukan saya yang menjadi santapan si bagas. Menurut penuturan Silas, babi yang datang itu adalah babi hutan dengan wujud berbulu hitam, kekar, dan tinggi mencapai 70 cm, serta ada taring kecil di mulutnya, sangat jauh dari wujud babi peternakan berwarna pink yang gempal dan sering dianggap imut.
Memang dasar orang Indonesia, di setiap musibah selalu ada kata “untung” yang terucap. Kami pun lantas hanya tertawa atas apa yang menimpa kami malam kemarin itu. Tuhan itu memang mahalucu, ada saja caranya untuk mengingatkan saya agar tidak sombong dan membuat pengalaman mendaki kami lebih berwarna.
Sembari menatap ke arah lubang di tenda, saya pun berteriak kencang, “DASAR BABIIII.”
https://www.instagram.com/p/CFb2zc9DwGp/?utm_source=ig_web_copy_link
Saran
- Hindari menyimpan makanan di dalam tenda. Jika membawa kain atau hammock, simpan makanan jadi atau bahan makanan kalian tersebut di dalam kain atau hammock tersebut dan gantungkan di atas pohon yang agak tinggi. Babi Hutan tidak bisa memanjat pohon yang tinggi.
The rage of a wild boar is aable to spoil more than one wood
–George Herbert