Pelarian ke Purwakarta: Dari Mendaki, Hingga Kulineran
Purwakarta, sebuah daerah di Jawa Barat yang kerap kali tertukar posisinya (oleh beberapa orang Indonesia) dengan sebuah daerah di Jawa Tengah bernama Purwokerto, ternyata memiliki pesona alam yang tak pernah saya sangka sebelumnya. Jaraknya yang tak begitu jauh dari Jakarta, kemudahan akses menuju ke sana, bisa melakukan one day trip, dan murahnya biaya perjalanan ke Purwakarta, menjadi faktor pendukung lainnya yang membuat saya dan beberapa orang teman akhirnya memutuskan untuk pergi ke daerah yang pernah mendapat julukan sebagai Kota Pensiun itu.
Sekitar pukul 06:50 WIB, mobil yang saya, Billy, Helena, dan Monik tumpangi sudah keluar dari rumah Chris dan mengakrabkan diri dengan jalanan ibu kota. Suara decitan yang muncul akibat gesekan antara ban mobil dan aspal jalan membuat kedua benda tersebut terlihat seperti sedang asyik berdiskusi, layaknya kami yang juga sibuk ngobrol dan bercanda di dalam mobil karena sudah lama tak bertemu secara fisik.
Dipacu dengan cukup santai oleh Chris, mobil keluaran Jepang miliknya sukses membelah jalanan ibu kota, yang pagi itu belum terlihat padat aktivitasnya. Dari atas sana, matahari pun masih terlihat malu-malu untuk menyapa kami dan lebih memilih untuk bersembunyi di balik selimut awan tebal. Mungkin karena hari itu hari Minggu, matahari berpikir ia bisa bangun sedikit lebih siang dari hari kerja. Tak masalah.
Menggunakan arahan dari Google Maps, mobil melaju mulus di atas jalan yang diberi indikator berwarna biru. Rute tol yang kami lewati adalah Jakarta–Cikampek dan keluar di gerbang tol Jatiluhur. Perjalanan ini memang sudah kami rencanakan sebelum pergantian tahun dan inilah perjalanan pertama kami di tahun 2021. Hari minggu dipilih sebagai hari baik untuk kami berangkat. Bukan karena ada alasan khusus, melainkan karena ada dari kami yang masih bekerja di hari Sabtu. Harap maklum, budak korporat.
Namun apapun itu alasannya, hal tersebut tak mengurangi sukacita weekend getaway kami kala itu. Kurang lebih 1 jam berkendara dari Stasiun Cawang sebagai meeting point, akhirnya kami pun tiba di Purwakarta. Ya, hanya 1 jam saja perjalanan menuju Purwakarta.
Perjalanan ke Gunung Lembu
Begitu tiba di Purwakarta, suasana yang ditawarkan langsung terasa berbeda. Rasanya lebih kalem, udaranya lebih segar, kendaraan bermotor tidak terlalu banyak, dan bangunan-bangunan di sisi kiri dan kanan jalan pun tidak segahar yang ada di ibu kota. Meskipun ditetapkan sebagai kabupaten kedua terkecil di Jawa Barat, namun kondisi infrastruktur jalannya sudah cukup bagus. Dari pusat kota Purwakarta, kami masih mengandalkan panduan Mbah Google untuk menuju ke destinasi kami berikutnya, Gunung Lembu.
Gunung Lembu ini berada di Kampung Batungerong, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, atau masih sekitar 1 jam 20 menit lagi dari pusat kota Purwakarta menurut penerawangan Mbah Google. Dengan sabar, kami pun mengikuti setiap instruksi yang diperintahkan oleh aplikasi yang tersemat di dalam smartphone itu. 30 menit perjalanan, jalanan yang kami tempuh mulai menyempit. Kami mulai masuk ke area pedesaan, dengan dikelilingi tumbuhan-tumbuhan yang hijau dan menyegarkan di sisi jalan.
Dalam perjalanan menuju Gunung Lembu ini, kalian akan terlebih dahulu disambut oleh saudaranya, Gunung Parang, yang terkenal akan pendakian via Feratta-nya. Setengah perjalanan menuju Gunung Lembu, Gunung Parang menjadi penjaga kami di sisi kiri jalan. Gunung dengan bebatuan yang tinggi menjulang ini terus terlihat, disertai dengan sawah dan pemukiman warga yang silih berganti menjadi kawan setia kami.
Sebenarnya masih ada satu gunung lagi di Purwakarta yang juga masih bersaudara dengan Gunung parang dan Gunung Lembu. Letak gunungnya pun bisa dikatakan tidaklah begitu jauh, hanya terpaut jarak sekitar 10 KM saja. Gunung yang saya maksud itu adalah Gunung Bongkok. Namun sebuah persimpangan memisahkan Gunung Bongkok ini dari kedua saudaranya tersebut.
Kembali ke perjalanan menuju Gunung Lembu. Tingkat elevasi jalan menuju ke Gunung Lembu ini pun bervariasi dan cukup berkelok-kelok. Ada kalanya mobil yang kami tumpangi harus menurun tajam dan tak jarang juga harus menanjak cukup tinggi. Namun karena kondisi jalannya sudah baik, sudah jalan beton, kami tidak menemui kesulitan berarti mengarungi medan menuju Gunung Lembu tersebut.
Dan sesuai dengan perkiraan dari Mbah Google, dalam kurang lebih 1 jam, kami pun tiba di kaki Gunung Lembu, tempat di mana kami bisa memarkirkan kendaraan dan mempersiapkan peralatan untuk melakukan pendakian Gunung Lembu.
Pendakian Gunung Lembu
Ada 2 jalur pendakian Gunung Lembu (kalau saya tidak salah). Jalur pendakian pertama adalah Jalur pendakian via Panyindangan (dengan view Gunung Parang) dan jalur pendakian kedua adalah via Batu Sedong Asmiran (membelakangi Gunung Parang). Pada perjalanan kemarin, kami memilih jalur yang kedua.
Setiap jalur punya cerita dan keunikannya masing-masing. Perbedaannya pun tidak terlalu signifikan (selain dapat dan tidaknya melihat view Gunung Parang). Bila jalur pertama harus menemui puncak terlebih dahulu baru turun untuk melihat Batu Lembu (pusat keindahan di Gunung Lembu), jalur yang kedua ini kebalikannya.
Di jalur kedua ini pun ada 2 gerbang masuk, yang utama dan yang non-utama. Gerbang non utama letaknya persis di Batu Ngerong yang berukuran besar, di mana di bagian atas batu tersebut terdapat Villa Payung yang menjadi salah satu ikon Kecamatan Sukatani. Sedangkan lokasi gerbang utama terletak sekitar 200 meter setelah Batu Ngerong. Sayangnya kami menggunakan yang non-utama. Letak gerbang non-utama yang lebih dahulu dari gerbang utama membuat kami “terjebak” menggunakannya.
Kami yang baru pertama kali ke Gunung Lembu kali itu diminta untuk memarkirkan kendaraan tepat di depan sebuah warung, tempat kami bertanya di manakah letak jalur pendakian Gunung Lembu. Kesalahan itu baru kami sadari setelah turun dari pendakian. Kami turun dan melewati gerbang besar berwarna hijau bertuliskan “Selamat datang di jalur utama pendakian Gunung Lembu”, gerbang yang tidak kami lewati saat awal mendaki tadi. Alhasil kami pun harus berjalan lagi agak jauh ke lokasi kami memarkirkan mobil. Meskipun jalurnya berbeda, antara utama dan non-utama, perbedaannya hanya di awal saja. Kedua jalur tersebut akan bertemu di Batu Sedong Asmiran yang sama dan mengarah ke Pos 1.
Kembali lagi ke pendakian. Jangan meremehkan tinggi Gunung Lembu yang hanya 792 MDPL. Meskipun tidak melebihi 1000 MDPL, Gunung Lembu memiliki kesulitannya sendiri. Total waktu yang diperlukan untuk mendaki Gunung Lembu dari basecamp hingga ke puncak (total ada 3 pos sebelum puncak) adalah ±3 jam.
Nah, rute pendakian Gunung Lembu pun masuk ke dalam kategori intermediate kalau menurut saya. Kontur jalannya yang bervariasi, tanah dan batu, serta tanjakannya yang curam (terkadang harus menggunakan bantuan tali untuk mendakinya), membuat gunung ini TIDAK COCOK untuk pemula atau yang belum pernah mendaki sama sekali.
Batu Lembu (karena konon katanya batu besar itu terlihat seperti lembu) merupakan spot ultimate di Gunung Lembu untuk menikmati pemandangan Purwakarta yang magical. Dari spot ini, kami bisa melihat waduk Jatiluhur yang juga “dijaga” Gunung Cilalawi dan Gunung Parang. Gunung Cilalawi akan terlihat di depan Batu Lembu, sedangkan Gunung Parang berdiri gagah di sisi kanan Batu Lembu. Ya, ketiga gunung inilah yang “menjaga” waduk terbesar di Indonesia ini.
Konon kabarnya (karena kami belum merasakan sendiri), view terbaik di Gunung Lembu ini adalah saat pagi hari (sunrise) dan saat malam hari. Ketika malam tiba, ratusan tambak yang tersebar di waduk Jatiluhur akan menampilkan cahaya lampu yang memesona.
Sedangkan di bagian puncaknya, Gunung Lembu hanya menyisakan tanah yang cukup lapang untuk beberapa tenda, dengan pepohonan tebal yang mengelilinginya (tidak ada view sama sekali).
Biaya pendakian (tidak bermalam): Rp 10.000/orang Biaya pendakian (bermalam): Rp 15.000/orang.
Perjalanan Mencari Makan di Purwakarta
Pulang dari pendakian Gunung Lembu, kami tidak langsung ke Jakarta. Kami mampir dulu ke Sate Maranggi Haji Yetti yang fenomenal itu, yang terletak di daerah Cibungur – Purwakarta. Tempatnya luar biasa luas. Ini merupakan tempat makan sate paling luas yang pernah saya lihat. Daya tampungnya mungkin bisa mencapai >1000 orang.
Meskipun luas dan banyak sekali orang yang makan di sana, bukan berarti pelayanannya tidak prima. Proses pemesanannya cepat dan pelayanannya cukup bagus menurut saya. Bila di tempat makan lain kami harus memesan minuman sendiri, di tempat ini sedikit berbeda. Aneka minuman yang sudah tersedia dibawa berkeliling oleh para pelayan dan ditawarkan langsung ke pengunjung. Apablila tertarik, silakan langsung diambil (teh tawar hangat adalah compliment).
Untuk satenya sendiri, ada 3 jenis sate yang ditawarkan: sate sapi, sate kambing, dan sate ayam. Kami memesan 100 tusuk sate untuk 5 orang dengan rincian: 50 tusuk sate sapi, 30 sate kambing, dan 20 sate ayam.
Apakah satenya enak? Tidak. Satenya tidak enak, melainkan ENAK BANGET. Dagingnya empuk dan mudah untuk dikunyah, serta hangatnya pas. Saran saya, jika kalian mampir ke sini, pesanlah sate sapi atau sate kambing saja. Yang menjadi andalan dan primadona adalah sate sapinya, tapi sate kambingnya tidak kalah enak. Sate kambing di sini TIDAK BERBAU. Untuk sate ayam, rasanya cenderung biasa saja menurut saya.
Cara penyajian sate khas Sunda ini pun berbeda dengan sate Madura dan Padang. Perbedaan paling mencolok terletak pada bumbunya. Jika sate Madura dan padang disajikan dengan bumbu kacang yang melimpah di atas piring, sate maranggi ini tidak. Bumbunya sudah meresap di dalam daging ketika dibakar . Dan ketika disajikan, kami hanya perlu langsung menggigitnya, tanpa perlu pusing mencocol bumbu ke dagingnya. Kalau saya tidak salah, yang menjadi teman bagi sate di atas piring hanyalah sambal tomat.
Buat yang ingin membawa pulang daging sapinya, silakan saja. Menurut penuturan Chris (yang waktu itu membungkus 1 porsi sate sapi), satenya tetap enak ketika dihangatkan kembali. Jadi selain makan di tempat, kalian juga bisa membawa makanan ini pulang sebagai oleh-oleh dari perjalanan kalian.
Full Itinerary
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
06:15 | Tiba di Stasiun Cawang (Meeting Point) dan sarapan |
06:49 - 07:50 | Perjalanan ke Purwakarta |
07:50 - 09:25 | Perjalanan dari Purwakarta ke Gunung Lembu |
09:25 - 09:40 | Persiapan pendakian Gunung Lembu |
09:40 - 09:50 | Perjalanan ke Pos Bayangan 1 |
09:50 - 10:10 | Perjalanan ke Pos 1 |
10:10 - 10:40 | Perjalanan ke Pos 2 |
10:40 - 10:55 | Perjalanan di ke Batu Lembu |
10:55 - 11:10 | Main sebentar di Batu Lembu |
11:10 - 12:10 | Perjalanan ke Puncak |
12:10 - 12:20 | Main sebentar di Puncak |
12:20 - 12:45 | Turun kembali ke Batu Lembu dan berfoto di sana |
12:45 - 13:30 | Perjalanan turun kembali ke parkiran mobil |
13:30 - 13:50 | Bersih-bersih badan dan istirahat sebentar |
13:50 - 15:20 | Perjalanan ke Haji Yetti (agak macet) |
15:20 - 17:00 | Makan sate maranggi di Haji Yetti |
17:00 - 17:30 | Perjalanan ke rest area |
17:30 - 18:30 | Nongkrong sebentar di rest area |
18:30 - 20:30 | Perjalanan kembali ke Jakarta dan tiba di rumah |
Rincian Biaya
Penjelasan:
- Biaya tol agak mahal karena kami sempat salah masuk gerbang tol
- Rincian makan di Haji Yetti adalah sebagai berikut:
- 50 Sate Sapi
- 30 Sate Kambing
- 20 Sate Ayam
- 5 es kelapa
- 1 sop
- Mobil yang kami gunakan untuk berkeliling adalah Mazda 2
Travel. Your money will return. Your time won’t.
–Anonymous