Selalu Ada yang Pertama untuk Setiap Hal, Termasuk Juga Tato (Bagian 1)
*Disclaimer: Tulisan ini akan menceritakan tentang perjalanan saya ketika menggoreskan tinta pertama di atas sebuah kanvas hidup. Ya, kanvas hidup itu adalah manusia (saya sendiri) dan tinta yang digoreskan itu dikenal dengan istilah tato. Jika di bagian akhir tulisan ini kamu hanya akan ingin berkata kalau tato itu haram, lebih baik dari sekarang kamu tidak perlu membaca tulisan ini.
Keinginan untuk memiliki tato sebenarnya sudah datang sejak masa kuliah (2011), tapi waktu itu baru sekadar keinginan untuk iseng saja. “Ah, kayaknya keren deh kalau punya tato,” Pikir saya waktu itu. Gambar yang diinginkan pun sudah saya dapatkan. Namun karena memang belum ada niatan yang cukup serius untuk menato badan ini, pikiran itu lantas tenggelam begitu saja.
Baru pada tahun 2017, keinginan untuk memiliki gambar yang bisa menempel secara permanen di tubuh ini bangkit dari kuburnya. Saya lupa peristiwa persis apa yang membuat saya ingin merajah badan ini, tapi keinginan yang benar-benar kuat memang datang di tahun tersebut. 4 tahun berselang, pada bulan Mei 2021, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengeksekusi keinginan itu.
Lalu kenapa butuh waktu yang sangat lama untuk membuat tato pertama?
Gambar / Ukiran
Banyak pertimbangan yang membuat saya akhirnya baru mengeksekusi tato itu 4 tahun kemudian. Pertama adalah gambar atau ukiran apa yang ingin saya ukir di atas kulit coklat ini. Pastinya harus gambar atau ukiran yang memiliki makna berarti bagi saya. Dan karena ini sifatnya sekali untuk seumur hidup, gambar atau ukiran itu harus saya putuskan dalam keadaan matang, tidak terburu-buru, dan bukan karena emosi semata. Saya ingin benar-benar dalam keadaan sadar penuh ketika memutuskannya.
Pernah suatu kali seorang teman datang kepada saya dengan senyumnya yang sumringah sambil menunjukkan tato baru di lengan kirinyanya yang bertuliskan nama pacarnya. Waktu itu dia memang sedang benar-benar dimabuk cinta. Selang beberapa bulan kemudian, ternyata kisah cintanya dengan wanita yang namanya ia tato itu harus kandas. Ia pun datang kembali kepada saya dan bercerita kalau ia ingin menutup tato nama mantannya dengan gambar lain. Intinya agar tidak ada lagi nama mantannya di situ.
Bukan hal seperti itu yang saya inginkan. Maka saya katakan di awal kalau gambar atau tulisan itu haruslah dipikirkan secara matang. I want it to be everlasting. Sekali dibuat, saya ingin gambar itu melekat selamanya. Tidak ada cover up. Tidak ada penyesalan.
Saya pun ingin agar tato itu identik dan menyatu dengan karakter yang saya punya. Setelah berpikir dan menimbang agak lama, akhirnya saya dapatkanlah gambar yang saya inginkan untuk badan ini (gambar yang berbeda dengan yang ingin saya buat waktu kuliah).
Mama
Gambar bukanlah masalah terbesar dalam pertimbangan membuat tato pertama ini. Masalah berikutnya dan sekaligus menjadi yang terberat adalah mama. Bukan perkara gampang untuk meyakinkan mama kalau saya ingin membuat tato. Berasal dari kampung dan hidup dalam keluarga yang ‘lurus’ membuat mama tidak terlalu akrab dengan yang namanya tato. Paradigma tato yang identik dengan penjahat pun masih melekat di pikirannya.
Saya juga sedikit khawatir dengan orang-orang di lingkungan sekitar mama. Berada di lingkungan gereja dan menjadi seorang majelis, saya hanya khawatir ada orang-orang rese yang menyerang mama. Saya takut mama tidak kuat menahan cibiran seperti: “Anak majelis kok kayak gitu”. Pasti ada saja yang berkomentar seperti itu, padahal saya dan mama adalah individu yang berbeda dan keputusan yang saya ambil tidak ada sangkut pautnya dengan mama. Kalau saya pribadi sih tidak peduli orang mau bilang apa.
Ada sebuah lelucon yang berkata, “Kalau kamu takut untuk meminta izin untuk tato pertamamu, cobalah menggambar wajah ibumu. Niscaya beliau tidak akan marah karena wajahnya yang dibuat sebagai gambar.”
Namun saya bukanlah penganut aliran “lebih baik minta maaf daripada minta izin”. Saya ingin mama benar-benar tahu kalau saya ingin membuat tato. Entah kenapa blessing dari mama begitu penting bagi saya. *Ya, sampai sebesar ini saya memang masih ‘anak mama’*
Diskusi pun sempat berjalan alot selama 1 tahun sebelum saya ditato. Awalnya mama menolak dan sempat berkata, “Semoga seiring berjalannya waktu, keinginan kamu itu berubah.”
Tak mau menyerah, saya pun terus mengajak mama berdiskusi. Saya bilang kalau saya sudah lama banget mau membuat tato. Saya pun melihat tato ini sebagai sebuah seni, bukan sebagai cara untuk menunjukkan saya terlihat sebagai seorang jagoan. Memang apa hubungannya ya antara tato dengan jagoan?
“Kenapa sih badan bagus-bagus dirusak? Tato kan sakit.” Kata mama.
“Mama mungkin melihatnya seperti dirusak, tapi saya melihatnya ‘diperindah’. Dan sakit itu sifatnya relatif. Akan panjang kalau kita berdebat soal ini, Ma.” Jawab saya.
Sampai akhirnya mama berkata, “1 saja ya. Seberapa kuat pun mama larang, pasti kamu akan bantah. Itu badanmu sendiri dan Kamu yang bertanggung jawab penuh atas tubuhmu.”
Mendengar ucapan itu, permasalahan kedua pun secara resmi teratasi 🙂
Tattoo Artist
Lalu apakah sudah selesai setelah mama memberi persetujuan? Belum. Masih ada 1 pertimbangan lagi yaitu tattoo artist alias siapa yang akan menato badan saya. Ini tato pertama saya dan saya ingin hasilnya tidaklah mengecewakan. Hasilnya harus bagus. Saya ingin tangan yang sudah berpengalamanlah yang mengerjakan badan saya.
Siapa yang akan membuat tato ini juga erat kaitannya dengan biaya yang akan saya keluarkan. Sedari awal saya tahu kalau harga tato yang bagus tidak akan murah. Sudah sejak lama harga murah dan kualitas baik tidak bisa berjalan beriringan. Ada harga, ada kualitas. Jangan pernah pernah berharap kualitas yang baik dengan harga yang murah. Tidak mungkin bisa.
Seorang teman pernah bilang kepada saya, “Good tattoo ain’t cheap and cheap tattoo ain’t good.” dan saya mengamini itu. Setelah mendengar ucapan itu, saya pun memastikan uang di rekening saya cukup untuk membuat tato yang bagus.
Guna mendapatkan hasil yang terbaik, saya pun berkonsultasi pada teman-teman yang sudah memiliki tato terlebih dahulu. Saya bertanya pada mereka mengenai bagaimana rasanya ditato, mereka tato di mana, dan siapa yang mengerjakan tato mereka. Dari mereka ini saya mendapatkan banyak nama tattoo artist. Saya yang tadinya bingung memilih untuk membuat tato di mana karena tidak memiliki referensi, sekarang menjadi bingung karena terlalu banyak referensi.
Untungnya pada waktu itu salah seorang teman ada yang mau membuat tato.
“Ikut aku aja. Aku dan Gaby (anaknya) sudah bikin janji di Duff Tattoo. Nanti di sana kamu bisa lihat bagaimana proses membuat tato, bagimana cara kerja si tattoo artist, dan bisa langsung lihat juga bagaimana hasilnya. Kamu juga nanti bisa ngobrol-ngobrol dulu sama dia.” Ucap Ci Felly.
“Tato aku yang ini (sambil menunjuk gambar kupu-kupu yang ada di atas dada dan bahunya) si Duff juga yang bikin.” Tambahnya.
Mendapatkan kabar seperti itu, saya pun meminta izin untuk ikut dia saat ditato nanti. Sampai hari di mana saya melihat proses teman saya di tato itu datang, saya tidak berhenti mencari tahu tentang siapa itu Duff dan bagaimana hasil tatonya. Lewat feed di instagramnya lah saya tahu kalau dia sangat bagus dalam hal potret realis. Saya langsung jatuh cinta melihat hasil-hasil karyanya.
Singkat cerita, akhirnya saya menemani teman saya itu untuk ditato. Di sanalah saya melihat proses pembuatan tato secara utuh terjadi. Saya berbincang cukup banyak dengannya disela waktu ia menato teman saya. Saya pun sangat puas melihat hasil tatonya secara langsung (bukan melalui foto).
Karena semua pertimbangan sudah menemukan jawabannya, satu hari berselang dari menemani teman saya ditato itu, saya langsung membuat janji dengan Duff untuk dirajah. Tepat tanggal 16 Mei 2021 Pukul 13:00 WIB, perjalanan membuat tato pertama itu pun dimulai ……
Tulisan berikutnya bisa dibaca DI SINI
My body is my journal, and my tattoos are my story.
–Johny Depp