Lika-Liku Perjalanan Mengunyah Ulat Sagu di Jayapura
Tahun ini sebenarnya tidak banyak rencana jalan-jalan yang saya punya. Beberapa perjalanan yang sudah saya susun dan eksekusi hanyalah perjalanan untuk mengikuti perlombaan CrossFit. Tak terpikirkan sama sekali untuk mengeksplor kekayaan alam Indonesia, apalagi yang di bagian timur.
Namun rupanya Tuhan selalu punya cara yang spesial untuk memberikan saya hadiah yang tak terduga. Tiba-tiba saja ketika saya baru pulang dari Australia, boss saya menelpon, “Tanggal 24-27 Oktober 2022 nanti kamu mau saya tugaskan ke mana? Ambon, Kupang, atau Jayapura?”
Saya terkejut bukan main mendapat telepon seperti itu. Sempat terdiam beberapa detik, lalu kemudian dengan menggebu-gebu saya menjawab, “Jayapura saja, Bu.”
Tak lama setelah itu, percakapan kami terhenti. Beberapa menit kemudian aplikasi WhatsApp saya menunjukkan sebuah notfikasi. Ketika saya buka, ternyata isinya adalah tiket perjalanan pulang pergi Jakarta – Jayapura yang dikirimkan atasan saya.
Dari 3 pilihan kota tadi, memang hanya Jayapura yang belum pernah saya kunjungi. Sudah sejak lama saya mendambakan untuk bisa mengunjungi provinsi di paling ujung timur Indonesia ini yang kaya akan sumber daya alamnya dan dipenuhi oleh orang-orang berambut keriting, berkulit hitam manis, dan memiliki senyum yang khas. Jayapura, saya berangkat 🙂
Tiba di Jayapura
Begitu tiba di Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura tanggal 25 Oktober 2022, setelah sebelumnya transit terlebih dahulu di Makassar, saya langsung dijemput oleh 2 orang dari Bappenda Kabupaten Jayapura, mitra kantor saya yang berada di Jayapura. Dari 4 hari tugas ke Jayapura, hari pertama dan hari terakhir memang sengaja digunakan untuk berangkat ke dan pulang dari Jayapura. Sedangkan sisanya digunakan untuk kunjungan kerja.
Tiba pukul 06:00 WIT membuat belum ada satu pun kantor yang buka. Akhirnya saya dan seorang teman diajak untuk menikmati sarapan terlebih dahulu dengan menu Soto Ayam. Kalian harus mencoba Soto Ayam di Jayapura ini. Porsi ayamnya luar biasa banyak, bahkan bisa dibilang nyaris penuh. Saya saja sampai kesulitan mencari dimana letak bihun karena dalam satu mangkok itu benar-benar tertimbun potongan ayam. Benar-benar bukan pilihan yang salah makan Soto Ayam sebagai sarapan.
Sembari Sarapan, saya ditanya oleh salah seorang pegawai Bapenda yang menjemput saya, Ibu Hartati Namanya. “Mau ke mana saja nanti di Jayapura, Mas?”
Sebagai orang timur yang berbicara tanpa basa-basi, saya pun menjawab, “sudah lama sekali saya mau ke Papua dan baru terwujud sekarang. Kalau memang setelah kunjungan kerja masih ada waktu, saya ingin mencoba 1 hal. Bukan mengunjungi Bukit Teletubbies dan meilihat indahnya Danau Sentani, bukan melihat jembatan merah, dan bukan pula mengunjungi perbatasan Skouw. Hal utama yang saya mau adalah mencicipi ulat sagu hidup-hidup.”
“Oh, sekalian saja semua. Bisa kok itu dipecah hari ini dan besok. Kunjungan kerjanya tidak lama, kan? Nanti biar kami antar,” ucapnya. “Habis sarapan ini biar langsung saja kita cari ulat sagu telebih dahulu.” Tambahnya.
Yes, strategi saya berhasil. Sengaja memang saya menyebutkan tempat-tempat tadi di awal sebelum menyebutkan ingin mencoba ulat sagu. Dalam hati saya berharap akan diantar ke semua destinasi tadi dan ternyata ‘umpan’ saya ditangkap dengan baik. Terima kasih ya, Bu.
Dan Sebagai info, ternyata setiap tanggal 26 Oktober itu seluruh dinas pemerintah di Papua libur untuk memperingati hari lahir GKI di tanah Papua dan itu ternyata tidak diketahui oleh atasan yang mengurus jadwal saya selama di Papua. Alhasil, kegiatan kerja dipadatkan di tanggal 25 Oktober. Makanya orang Bapenda bisa bilang, “Dipecah saja hari ini dan besok.”
Dari parkiran Soto Ayam, kami langsung bergerak ke beberapa desa sekitar bandara untuk mencari ulat sagu. Sayangnya, setelah lebih dari 1 jam mencari, kami belum juga menemukan ulat sagu tersebut. Di tempat yang menurut orang Bapenda ini biasanya ada yang menjual ulat sagu pun tidak kami temukan. Katanya semua ulat sagu dikumpulkan semua di Desa Yoboi karena ada Festival Ulat Sagu yang diadakan 25-27 Oktober 2022.
“Nanti sehabis meeting saja kita ke sana. Sekarang kita ke kantor dulu dan menyelesaikan agenda yang sudah ada. Tidak lama, kan? Pasti sempat kok ke sana sebelum matahari terbenam.” Ucap Bu Hartati yang melihat wajah saya sudah sedikit lemas karena tidak mendapatkan apa yang saya mau di pagi itu.
“Oh, boleh, Bu. Itu bisa nanti-nanti kok. Yang penting memang kerja dulu.” Jawab saya. Padahal dalam hati saya sudah senang karena saya tidak hanya bisa mencoba ulat sagu, tetapi juga menghadiri Festival Ulat Sagu yang tidak pernah saya pikirkan bahwa festival itu ada. Tuhan memang baik.
Berburu Ulat Sagu
Menepati ucapannya, setelah kunjungan kerja selesai, saya langsung dibawa untuk mengenal alam Jayapura. Sebelum dibawa untuk mencicipi ulat sagu, saya terlebih dahulu diajak untuk menikmati secuil keindahan Danau Sentani dari Bukit Tungku Wiri atau yang bisasa dikenal dengan sebutan Bukit Teletubies.
Apakah di sana indah? Bukan indah lagi, tapi indah banget. Terdapat sebuah salib besar di salah satu puncaknya sebagai simbol kehadiran kekristenan di tanah Jayapura. Dari Bukit Tungku Wiri itulah baru kemudian kami bertolak ke destinasi utama, tempat diadakannya Festival Ulat Sagu, yaitu Desa Yoboi.
Untuk memasuki Desa Yoboi, terlebih dahulu kami harus menyeberang dari Dermaga Yahim dengan menggunakan taxi. Bukan Bl*ebird, bukan juga Silv*rbird, Taxi di sini adalah sebutan untuk perahu motor sederhana yang dapat menampung 10-12 orang sekali jalan. Dibawanya kami menyusuri Danau Sentani yang indah selama kurang lebih 5 menit perjalanan.
Ketika tiba di dermaga Desa Yoboi, kondisi desa sudah cukup ramai pengunjung. Banner Festival Ulat Sagu terpampang nyata dan besar. Saya masih tidak percaya kalau saya datang ke festival ini. Beberapa anak SD terlihat sudah berpakaian tari lengkap dan sedang berlatih guna menyambut pegawai pemerintahan yang akan datang dan meresmikan festival ini.
Sampai pada titik ini, saya sebenarnya sudah melihat Ulat Sagu, hewan ‘menggemaskan’ yang sudah sedari dulu saya buru. Di pinggir dermaga sudah ada semacam warung-warung yang memang menjajakan mahkluk tersebut. Ulat dengan badan berwarna putih kecokelatan dan berkepala cokelat pekat itu diletakkan bergerombol dan bertumpuk ke dalam beberapa mangkuk. Di sanalah mereka melakukan gerakan uget-uget yang membuat saya geli. Saya mencoba meyakinkan diri untuk memakannya, tapi saya tidak kuat. Saya memutuskan untuk berkeliling Desa Yoboi dulu sembari mengumpulkan niat.
Mengenal Desa Yoboi
Desa Yoboi ini merupakan desa yang unik. 90% pemukimannya merupakan rumah terapung yang ada di pinggir Danau Sentani, danau paling luas yang ada di Papua. Jadi begitu tiba di dermaga tadi, saya langsung bisa melihat semua rumah berada di atas air. Tidak hanya rumah, bahkan di Desa Yoboi ini pun gereja-nya terapung.
Satu hal penting yang saya rasakan di Desa Yoboi ini adalah tidak adanya polusi udara dan suara dari kendaraan bermotor dan ini menjadi nilai tambah untuk Desa Yoboi. Hal tersebut bisa terjadi karena memang tidak ada kendaraan bermotor yang lewat di pemukiman ini, semuanya berjalan kaki di atas jalan yang terbuat dari kayu.
Suasana desanya begitu tenang dan sangat menyejukkan. Selain karena berada di atas Danau Sentani dan keunikan desanya yang terapung, keindahan lainnya dari tempat ini adalah pemandangan dari Pegunungan Cycloop yang menjadi punggung desa ini. Hijaunya pegunungan membentang dari timur ke barat desa.
Tak ingin hanya terjebak di area depan (dermaga), saya pun lantas menyusuri desa ini sampai ke belakang. Rupanya di bagian belakang desa ini terdapat hutan sagu yang sangat luas dan salah satu daya tarik Desa Yoboi ini, selain dari keberadaan desanya yang terapung, adalah adanya wisata tracking sagu. Pantas saja festival Ulat Sagu diadakan di desa ini.
Jalan panjang yang terbuat dari kayu sepanjang kurang lebih 500 meter membentang panjang hingga ke dalam hutan. Saya dan pengunjung lainnya yang datang hanya perlu megikuti jalurnya saja. Di sebelah kiri dan kanan, pohon sagu beraneka jenis tumbuh subur dan berjajar cukup rapat. Kalau sedang beruntung, kalian akan menemukan aktivitas pemotongan pohon sagu di sini, yang kemudian akan dibiarkan mati dan di sanalah kemudian ulat sagu akan muncul sebelum akhirnya dipanen.
Di ujung jalur tracking sagu ini, panitia Festival Ulat Sagu saat itu sudah menyediakan live music. Kapan lagi bisa bergoyang dan berdansa di tengah hutan sagu, kan? Saya sendiri memutuskan untuk mampir ke salah satu stand kopi yang ada di sana. Saya memesan kopi robusta yang dibuat secara manual dengan menggunakan teknik pour over (drip). Kalau kalian pikir tempat paling enak menikmati kopi hanya di gunung, tunggu sampai kalian merasakan nikmatnya menyeruput kopi di tengah hutan sagu.
Di tengah festival Ulat Sagu yang berlangsung di tengah hutan sagu inilah saya baru tahu kalau Desa Yoboi memang merupakan salah satu desa wisata yang ada di Jayapura dan sudah beberapa kali memenangkan penghargaan desa wisata terbaik. Memang unik banget sih menurut saya Desa Yoboi ini. Kenikmatan yang mereka tawarkan itu tidak dibuat-buat dan memang kearifan desanya yang ttidak bisa ditemukan di tempat lain.
Sesudah ngopi dan trekking, niat saya untuk menyantap ulat sagu sudah kembali penuh. Kali ini saya yakinkan diri saya lagi kalau tidak boleh ada lagi rasa geli dan takut. YOLO dan apapun yang terjadi harus saya lakukan. Saya pun lantas berjalan kembali ke dermaga dengan menyusuri jalur tracking sagu.
Rasa Ulat Sagu
Sebenarnya di sepanjang jalan dari dermaga menuju ke gerbang tracking sagu terdapat banyak sekali rumah atau warung yang menjajakan ulat sagu, tapi saya memutuskan kembali ke tempat di mana pertama kali saya melihat ulat sagu hidup itu dijajakan. Sudah tak ada lagi keraguan kali ini. Melihat mereka menggeliat di atas mangkuk berwarna pink, saya tidak lagi merasa geli.
Kepada Mace penjual ulat sagu tersebut saya bertanya, “Berapa ini harga satu ulat sagu?”
Mace kemudian menjawab, “Ah, kalau hanya satu atau dua gratis sudah.”
“Lalu berapa harga satu mangkuk begini?” Tanya saya basa-basi karena memang tidak mungkin saya membeli sebanyak itu. Misi kali ini hanya mencoba, kalau tidak satu ya dua.
“50 ribu satu mangkuk.” Jawabnya sambil tersenyum. Tanpa bertanya lagi karena sudah tahu kalau mau mencoba tidak dipungut biaya, saya pun langsung mengambil satu yang paling gemuk.
Perlahan saya mengamati terlebih dahulu mana ulat sagu yang berbadan paling gemuk, baru kemudian saya mengambilnya. Setelah itu saya pun tidak langsung memakan hewan tersebut. Saya biarkan terlebih dahulu hewan itu bergerak-gerak di tangan ini untuk saya rasakan tekstur badannya, apakah lengket atau tidak, apakah kulitnya kasar atau lembut, dan melihatnya terakhir kali sebelum ia berpindah dunia.
Dari tangan, saya pindahkan hewan tersebut ke dalam mulut. Pelan-pelan saya letakkan dia di atas lidah ini dan membiarkannya bergerak-gerak bebas selama beberapa detik sebelum nyawanya saya cabut. Merasa cukup dengan waktu yang saya berikan kepada ulat sagu tersebut, saya kemudian menutup mulut dan dengan lidah saya dorong ia ke deretan gigi graham di sisi kanan.
cesssss, begitu saya gigit badannya, lantas tubuhnya terbelah dan tiba-tiba muncrat semacam cairan dari badannya. Cairan tersebut mengenai lidah dan langit-langit mulut. Terdiam sebentar guna merasakan seperti apa rasa caira dari badan ulat sagu itu, beberapa saat kemudian saya melanjutkan kembali mengunyah.
Tubuh ulat sagu ini kenyal dan lembut. Saya merasa seperti sedang mengunyah permen karet saat menggigit badannya, karena memang tidak bisa langsung hancur. Harus melakukan beberapa kali kunyahan sebelum badannya benar-benar hancur dan siap untuk ditelan.
Saat sedang asyik mengunyah badannya, tiba-tiba saja terdengar bunyi ‘kriuk’. Itu menandakan kalau saya baru saja menggigit kepalanya yang berwarna coklat. Garing dan sangat berbeda teksturnya antara kepala dan badan ulat sagu.
Kalau ditanya seperti apa rasanya, jawaban saya sih tidak ada, biasa saja. Hanya saja memang kalian harus merasakan sensasi creamy saat mengunyahnya dan merasakan nikmatnya cairan ulat sagu muncrat ke dinding dan langit-langit mulut. Kepalanya agak crunchy dan rasanya seperti mengunyah belalang goreng.
Tak puas hanya makan satu yang hidup, saya pun mengambil satu lagi. Lumayan masih gratis 🙂
Buat kalian yang tidak berani makan yang hidup, tersedia juga olahan ulat sagu dalam bentuk bakar yang disajikan dalam bentuk sate. Saya pun turut mencobanya. Namun buat saya, makan ulat sagu yang hidup lebih enak dan seru dibandingkan makan yang sudah mati.
*video saya menikmati ulat sagu bisa dilihat DI SINI
******
Kunyahan ulat sagu itu tak terasa menjadi penutup kegiatan saya di hari itu. Matahari juga sudah menunjukkan tanda-tanda untuk terjun ke ufuk barat dan itu tandanya saya harus kembali sebelum hari benar-benar gelap. Dengan menggunakan taxi, saya kembali ke Dermaga Yahim dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju kota Jayapura dengan menggunakan mobil.
Terima kasih Papua, khususnya Jayapura, karena saya sudah diberi kesempatan untuk mencoba salah satu jenis makanan yang tinggi sekali kadar proteinnya, yang mana memang saya butuhkan untuk memberi makan otot-otot yang saya gunakan hampir setiap hari untuk berolahraga.
Catatan
- Tidak disarankan langsung memakan ulat sagu dalam jumlah banyak (lebih dari 2) untuk kalian yang baru pertama kali mencoba. Efek yang akan muncul bagi yang baru makan pertama kali adalah muncul bentol-bentol merah di area tubuh dan terkadang diikuti dengan rasa gatal. Hal itu pun sudah saya alami sendiri karena saya makan 2 ulat sagu yang hidup dan beberapa dalam bentuk sate.
Just when the caterpillar thought “I am incapable of moving,” it became a butterfly.
–Annette Thomas