Dibalik Megahnya Kuburan di Kete Kesu
Tengkorak-tengkorak dan tulang belulang di kuburan yang voyagers liat berserakan pada gambar di atas bukanlah korban yang mati sia-sia dari kekejaman rezim Khmer Merah saat berkuasa di Kamboja. Bukan pula tulang-tulang dari jenazah yang tewas dibunuh pada pembantaian Jeju tahun 1948 di Korea. Ini hanyalah salah satu bentuk pemakaman atau bisa disebut kuburan yang sangat unik di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Di balik eksotisme tradisi pemakaman Tana Toraja, Indonesia memang menyimpan kekayaan budaya serta keindahan alam yang begitu luar biasa.
Bentuk pemakaman ala Tana Toraja adalah bukti-bukti kekayaan tradisi penguburan di dinding tebing atau perbukitan yang hanya bisa dijumpai di daerah ini. Sejarah dari suatu tradisi memang tidak bisa lepas dari kondisi geografis alam yang mengitarinya, demikian pula dengan suku Toraja yang tinggal di wilayah pegunungan hingga melahirkan bentuk pemakaman yang unik seperti ini.
Jauh sebelum agama Nasrani masuk ke dalam Tana Toraja, masyarakat di sini menganut kepercayaan yang diberi nama Aluk Todolo. Kepercayaan ini lah yang sampai sekarang masih dipelihara secara rapi. Aluk Todolo merupakan aturan tatanan hidup yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan masyarkat Toraja. Masyarakat Toraja memiliki kesadaran yang sangat kuat akan sebuah kehidupan dan kematian, mereka percaya kalau kehidupan itu sifatnya hanya sementara waktu. Selama tidak ada seorang pun yang mampu menahan tenggelamnya matahari, maka kematian bukanlah sesuatu yang bisa ditunda atau bahkan dihindari. Kematian merupakan sebuah titik awal menuju keabadian.
Bagi keluarga yang mengalami kedukaan akibat ditinggal oleh orang yang mereka sayangi, sesuai dengan kepercayaan yang masih diyakini maka masyarakat toraja akan memakamkannya di tebing perbukitan dengan asumsi rohnya akan cepat menuju nirwana. Semakin tinggi suatu jenazah ditempatkan di perbukitan, maka akan semakin cepat juga roh nya sampai di nirwana.
Kalau voyagers melihat pemakaman yang berada di perbukitan, letak rumah keluarga dari jenazah yang dimakamkan pastilah tidak jauh dari tempat tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat Toraja beranggapan agar arwah leluhurnya selalu bisa mengawasi mereka secara dekat di tengah aktivitas kehidupan yang mereka jalankan.
Dalam meletakkan jenazah di tebing-tebing ini, ada 3 cara dalam proses penempatannya. Yang pertama adalah dengan menempatkan jenazah-jenazah di dalam peti kemudian disimpan di dalam goa. Selanjutnya dibuatlah patung-patung kayu yang dikenal dengan istilah “Tau-Tau” sebagai manifestasi dari mereka yang sudah meninggal. Yang kedua, jenazah ditempatkan dalam rumah kecil dari batu yang diukir. Biasanya makam model kedua ini hanya dimiliki oleh keluarga yang kaya raya. Kenapa begitu? karena untuk pembuatan makam batu seperti itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Yang ketiga adalah model menggantung. tulang belulang Jenazah-jenazah diletakkan dalam peti kayu kemudian diletakkan di bibir tebing dengan penyangga di bawahnya atau ditaruh di tanah begitu saja.
Daily Voyagers akan membahas secara detil dari masing-masing jenis penempatan mayat tersebut. Namun sebagai info tambahan, buat voyagers yang ingin menikmati wisata budaya dan mempelajari ketiga jenis kuburan tersebut, voyagers bisa datang berkunjung ke Kete Kesu. Letaknya berada di sebelah selatan Rantepao, letaknya hanya sekitar 4 KM dari pusat kota Rantepao dan bisa dicapai dengan menggunakan Bentor alias Becak Motor.
Kuburan jenis pertama, bisa dibilang usianya yang paling tua yang ada di Kete Kesu ini dan merupakan kuburan pertama orang toraja. Beratus-ratus tahun yang lalu, masyarakat toraja hanya meletakkan jenazah keluarganya yang meninggal di dalam peti dan meletakkannya begitu saja di dalam goa. Tempat kuburan jenis ini di Kete Kesu namanya adalah Kuburan Goa Alam atau dalam bahasa Toraja disebut dengan Malilin yang berarti gelap, letaknya ada di daerah paling atas sehingga voyagers harus mendaki hingga anak tangga paling akhir untuk bisa menjumpai Kuburan Goa Alam ini.
Kuburan jenis kedua merupakan kuburan yang sedikit lebih modern. Rumah kayu dengan ukiran batu ditengahnya yang digunakan sebagai tempat pemakaman ini disebut Patane. Salah satu Patane yang sangat besar yang ada di Kete Kesu dengan ukiran Pa’bare Allo di bagian depannya baru berusia 20 tahun. Pa’bare Allo memiliki arti matahari terbit, dan ukiran matahari terbit tersebut terlihat sangat jelas pada Patane tersebut. Patane digunakan untuk 1 rumpun keluarga, jadi bukan hanya untuk 1 orang saja, itulah alasan mengapa patane ini dibuat sangat besar. Patane ini kondisinya tertutup, voyagers hanya bisa melihat dinding luarnya yang megah. Patane tidak bisa sembarangan dibuka, ia hanya dibuka saat ada jenazah yang akan dikubur. Di luar kondisi untuk memakamkan, Patane hanya dibuka pada waktu-waktu khusus dan harus setelah masa panen.
Kuburan Jenis ketiga merupakan model menggantung atau hanging grave. Daily voyagers menyebutnya sebagai tahap transformasi dari kuburan yang jenis pertama. Beberapa jenazah yang sudah menjadi tulang belulang kemudian diambil dari dalam goa kemudian diletakkan ke dalam sebuah peti. Namun pemindahan tulang belulang tersebut ke dalam peti tidak dilakukan secara begitu saja, harus ada ritual adat sebelumnya. Satu peti itu isinya untuk satu keluarga, jadi di dalam peti itu bisa terdiri dari puluhan orang karena memang model pemakaman ini sudah ada sejak dahulu kala. Jadi tulang belulangnya saja ya yang dijadikan dalam satu peti, bukan saat mereka baru meninggal kemudian dimakamkan dalam satu peti. Usia tulang belulang yang ada di dalam peti yang diletakkan menggantung atau biasa disebut Erong ini sekitar 500-600 tahun. Erong ini terlihat masih gagah meskipun usianya sudah ratusan tahun, konon Erong ini terbuat dari Kayu Uru, sebuah kayu lokal.
Kalau tadi Daily Voyagers sempat menyebut “Tau-tau”, nah di Kete Kesu ini ada juga lho Tau-Tau yang tersimpan rapi dalam sebuah goa yang ditutup oleh teralis besi. Salah satu tujuannya adalah untuk menjaga boneka-boneka tersebut tetap rapi dan menjauhkan dari tangan-tangan pengunjung yang kurang bertanggung jawab. Kalau umumnya Tau-tau terbuat dari kayu, di tempat ini ada juga yang terbuat dari bambu. Patung Tau-tau yang terhitung purbakala ini diberikan baju lho dan untuk proses penggantian baju yang dipakai Tau-tau ini maka keluarga harus melakukan upacara adat. Jadi tidak sembarangan ya untuk mengganti bajunya 🙂
Itu tadi sekilas mengenai pemakaman yang ada di Toraja, khususnya yang ada di Kete Kesu. Mungkin di luar sana, jaman sudah berkembang dengan sangat pesat dan mulai memasuki masa super modern dimana masa lalu sudah mulai terkubur oleh waktu. Tapi biarlah masyarakat di sini, di Tana Toraja ini , menjaga tradisi yang sudah turun temurun secara abadi.
Happy Traveling 🙂
It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end
–Ursula Le Guin