Untuk yang Mengeluh Biaya Menginap di Waerebo Mahal
Di bawah tahun 2011, sekitar rentang waktu dari tahun 2000 – 2010, belum banyak yang tau mengenai Desa Waerebo, sebuah desa di pedalaman Manggarai, Flores, yang saat ini menjadi salah satu tujuan yang wajib dihampiri kala berkunjung ke Pulau Flores. Berbicara soal Flores pada rentang waktu tersebut, Pulau Komodo tetaplah menjadi primadonanya. Bahkan bila kita bertanya pada orang yang tinggal di Flores sekalipun tentang desa tersebut, masih banyak juga yang tidak tau tentang desa tersebut.
Tidak bisa dipungkiri memang kemajuan teknologi yang membuat infromasi menjadi lebih mudah untuk didapatkan. Lewat berbagai sosial media, traveler yang sudah pernah ke sana memamerkan betapa indah dan ramahnya desa tersebut. Itinerary dibagikan, rincian biaya diberikan, info mengenai akses jalan pun tak luput dari pemberitaan. Hal itulah yang secara tidak langsung membuat desa Waerebo menjadi terkenal hingga sekarang.
Pada bulan Juli kemarin, tim dailyvoyagers memperoleh kesempatan untuk mengunjungi desa tersebut dan bermalam di sana (rincian lengkapnya bisa dibaca di sini dan di sini). Memang benar, desa di atas gunung tersebut sangat indah dan memiliki, tidak hanya keramahan yang luar biasa tetapi juga tempat yang luar biasa.
Pada saat kami berkunjung ke sana, tentu saja banyak traveler lainnya yang juga ingin merasakan tempat yang nyaman ini, tempat dimana kita bisa melupakan sejenak kejenuhan yang selalu menyerang kala kita bekerja. Tim Dailyvoyagers pun tidak melewatkan kesempatan ini untuk berkenalan, kami yang tadinya saling tidak mengenal pun mencoba saling mengakrabkan diri karena selama 1 malam kita akan tinggal bersama di desa ini.
Di sela-sela perbincangan tersebut, tim Dailyvoyagers mendengar beberapa keluhan dari traveler lainnya yang mengatakan kalau biaya menginap di Waerebo ini terlalu mahal. (biaya menginap di Waerebo per Juli 2016 kemarin adalah Rp 325.000/orang). Biaya paling besar yang memang dikeluarkan selama explore flores (lihat disini). Namun, menurut dailyvoyagers biaya itu rasanya cukup pantas dan rasa-rasanya cukup aneh kalau ada yang mengeluhkan biaya segitu sebagai biaya yang mahal.
Berikut Dailyvoyagers beritahu apa saja yang kalian dapatkan dari Rp 325.000 tersebut:
- Tempat untuk tidur dan menginap selama 1 malam di Mbaru Niang, rumah adat Waerebo yang keren sekaligus unik tersebut. voyagers masing-masing akan mendapat 1 alas tidur, 1 bantal dan 1 selimut.
- Minum Kopi Waerebo sesuka hatimu. voyagers hanya perlu meminta kopi ke bagian dapur saat ingin minum kopi Waerebo.
- Makan 2x yaitu saat malam hari dan pagi hari esoknya. (Ini karena tim daily voyagers tiba pukul 17:00 WITA)
- Listrik selama 12 jam dari pukul 18:00 WITA – 06:00 WITA.
- Tempat pemandian yang masih sangat alami yang menurut dailyvoyagers sangat segar.
- Tempat yang nyaman disertai orang-orangnya yang sangat ramah
dan berikut ini beberapa hal yang perlu kamu perhatikan sebelum mengatakan kalau biaya menginap di Waerebo itu cukup mahal:
- Belanja
Seperti yang kita tahu bahwa seluruh mata pencaharian warga Waerebo adalah petani Kopi. Itulah mengapa Kopi Waerebo juga cukup terkenal. Seandainya ada yang memiliki sawah untuk menanam padi sekalipun, lokasi sawah tersebut berada di Kampung Kombo atau Dintor yang jaraknya bisa ditempuh 3-4 jam dengan berjalan kaki (sekitar 8 KM).
Jikalau sedang memasuki musim liburan, kampung ini bisa menerima hingga ratusan pengunjung tiap harinya. Tentu saja selama menginap di sana para pengunjung tidak hanya akan diberi makan kopi, kami akan diberi makan sebanyak 2x dengan menu yang terdiri dari nasi, sayur, daging dan telur. Lalu dari mana mereka mendapatkan bahan pangan tersebut? Sudah tentu dengan turun berbelanja ke pasar yang berada daerah yang lebih dibawah dimana sarana dan prasarana lebih lengkap. Sekali berbelanja mereka bisa beli persediaan pangan yang cukup banyak dan semuanya itu diangkut kembali ke Desa Waerebo dengan tradisional. Kebayang dong ya capenya seperti apa?
Dailyvoyagers akan memberikan gambaran singkat mengenai jalur ke Waerebo. Perjalanan naik ke Desa Waerebo dari Denge, desa terakhir sebelum mencapai waerebo adalah 4-5 jam. Kalau untuk warga Waerebo sendiri mungkin hanya sekitar 3 jam. Jalannya masih berupa tanah dan sedikit berbatu, Bila hujan turun maka beban kesulitan akan semakin bertambah, Sekarang coba voyagers bayangkan mereka harus turun selama 3 jam untuk belanja pangan dan kembali lagi ke desa Waerebo sambil memanggul bahan pangan tersebut yang digunakan untuk memberi makan voyagers. mereka tidak menggunakan motor untuk sampai ke Desa Waerebo, mereka masih berjalan kaki sehingga proses angkut bahan pangan tersebut bisa dibilang masih tradisional. Kebayang kan? - Genset
Meskipun terletak di pedalaman dan di atas gunung, bukan berarti desa ini hidup tanpa aliran listrik. Listrik tersedia di desa ini selama 12 jam yaitu pukul 18:00 WITA – 06:00 WITA. listrik ini pasti sangat berguna untuk voyagers semua karena bisa digunakan untuk me-recharge baterai dari gadget yang voyagers bawa untuk mangabadikan moment di tempat ini.
Listrik yang dihasilkan di sini menggunakan Genset, yaitu sebuah perangkat yang berfungsi menghasilkan daya listrik. Nah, untuk menyalakan Genset tersebut maka diperlukanlah solar sebagai bahan bakarnya. Bisa dibilang cukup luar biasa karena warga waerebo mempertimbangkan pentingnya listrik bagi voyagers sekalian yang mau berkunjung ke tempat ini.
Sama halnya seperti bahan pangan, Warga Waerebo membeli solar juga ke daerah yang lebih di bawah dimana mereka harus berjalan kurang lebih 3 jam. Membawa berliter-liter Solar dari bawah dengan cara dipanggul dan berjalan menanjak selama 3 jam bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Apa voyagers mau coba? - Tradisional
Hampir sama penjelasannya seperti Solar dan Bahan pangan. semua yang berada di Desa ini umumnya dibawa secara tradisional atau dipanggul dari Denge menuju Waerebo. Seperti Kayu contohnya, pada saat terjadi renovasi Mbaru Niang, semua kayu dibawa secara dipanggul berbondong-bondong oleh warga Waerebo.
Sekarang ini sudah ada Balai Kesehatan di Desa Waerebo, namun tetap saja ketika obat-obatan habis maka obat-obatan tersebut harus dibawa dari bawah. Banyak proses tradisional yang masih dipertahankan oleh desa ini, itulah salah satu aspek yang membuat banyak orang mencintai desa ini. - Pelajaran
Tidak bisa dipungkiri setelah kita mengunjungi desa ini maka akan banyak pelajaran yang kita dapatkan. Pelajaran hidup yang mungkin tidak voyagers temui kala bersekolah dahulu. Pelajaran bagaimana hidup dengan penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Pelajaran dimana uang bukan jadi aspek utama dalam memperoleh kebahagiaan. Di desa ini kita bisa melihat banyak anak-anak yang bersukacita lari sana sini sembari mengejar ayam atau bermain bola, semuanya itu seolah terjadi secara natural dan keceriaan yang terpancar dari anak-anak tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Hal itu terlihat bertolak belakang dengan anak-anak di perkotaan yang sudah kecanduan dengan gadget-gadget terbaru mas kini.
Di tempat ini juga kita belajar bagaimana menerima orang asing menjadi bagian keluarga mereka. Kita yang berkunjung adalah orang asing, tapi setibanya di sana maka kita langsung dianggap sebagai bagian dari keluarga Waerebo. Tidak ada perlakuan yang berbeda antara orang Waerebo dengan kami para Traveler yang bermain ke tempat mereka. Oleh kalangan tua kami dianggap sebagai anaknya dan oleh kalangan anak muda kami dianggap sebagai kakaknya.
Dalam lirik lagunya yang berjudul Menoleh, seorang Rapper bernama Pandji Pragiwaksono berkata, “Pelajaran tak harus dalam halaman, buku sekolahan, Buka wawasan”. dan dailyvoyagers rasa kalimat tersebut benar dan itu bisa kita dapatkan di desa Waerebo ini. Pelajaran berharga yang mungkin tidak kita dapatkan di tempat lain. Pelajaran berbeda-beda yang bisa didapat setiap orang yang berkunjung ke tempat ini 🙂 - Tidak ada yang meminta
Desa ini sudah berdiri selama puluhan tahun sejak nenek moyangnya terdahulu yang bernama Empo Maro berlayar dari Sumatera Barat dan akhirnya menemukan tempat ini dan membangun desa Waerebo. Keberlangsungan hidup mereka sudah terjadi sekian lama tanpa adanya intervensi dari orang luar. Mereka hidup mandiri dengan bertani kopi dan menjualnya kemudian uang tersbeut mereka gunakan untuk membeli kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Tidak ada yang meminta kita untuk berkunjung ke daerah tersebut, tanpa kehadiran kita pun kehidupan di desa tersebut sudah berjalan dengan cukup baik. Pernahkah voyagers berpikir kalau kehadiran kita di sana justru mengganggu mereka? Mereka yang seharusnya bekerja tetapi karena kunjungan kita mereka harus melayani kita.
Saat berkunjung ke sana, dailyvoyagers sempat menanyakan hal tersebut dan salah seorang warga Waerebo menjawab, “Kehadiran kalian menjadi berkat tersendiri bagi kami”. Sungguh senang ketika kehadiran kami di sana bisa memberikan sukacita untuk warga Waerebo, dan juga sebaliknya, kita mendapatkan banyak sukacita melalui interaksi kita dengan anak-anak disana, udara yang bersih dan tempatnya yang nyaman. Hidup ini memang pada hakikatnya adalah saling membantu. Sayangilah orang lain seperti halnya kamu menyanyangi dirimu sendiri. Jadi perlu ditegaskan lagi disini, saat kita para traveler berkunjung ke sini, hal itu karena kita yang mau dan bukan mereka yang meminta.
Itu tadi sedikit alasan yang kamu harus pertimbangkan menurut dailyvoyagers sebelum kamu mengeluhkan biaya menginap di Waerebo yang katanya MAHAL itu. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk voyagers semua.
Oh ya, sedikit saran juga, kiranya ketika voyagers ingin mampir ke Waerebo voyagers bisa membawa buku-buku bacaan atau buku mewarnai untuk anak-anak waerebo dan baju bekas layak pakai untuk orang-orang di sana, mereka sangat senang mendapatkan hadiah tersebut dari kita.
Happy Traveling Guys 🙂
A smile is the light in your window that tells others that there is a caring, sharing person inside.— Denis Waltley