Wisata Sejarah Tsunami Aceh
Peristiwa Tsunami yang mengguncang Aceh 13 tahun lalu memang meninggalkan bekas luka yang dalam, tidak hanya bagi rakyat Aceh tetapi juga bagi dunia. Bagaimana tidak, peristiwa Tsunami Aceh tersebut merupakan peristiwa Tsunami yang terparah di dunia dalam 2 dekade terakhir. Banyak nyawa yang hilang “ditelan” oleh Tsunami tersebut.
Pasca Tsunami, Aceh pun mulai bangkit dan menata kembali perekonomian dan kehidupan mereka. Kebangkitan tersebut tidak serta merta membuat mereka melupakan kejadian tersebut. Untuk tetap mengenang dan belajar akan peristiwa Tsunami Aceh, diperkenalkanlah beberapa objek wisata “baru” yang memang menjadi saksi dari terjangan air yang maha dahsyat itu. Berikut ini adalah objek wisata di Aceh yang bisa voyagers kunjungi untuk mengenang peristiwa Tsunami Aceh 2004:
Museum Tsunami Aceh
5 tahun setelah Tsunami Aceh dibangunlah sebuah museum untuk mengenang persitiwa tersebut yang diberi nama Museum Tsunami Aceh. Museum dengan luas 2500 m² itu dibangun di atas Jalan Sutan Iskandar Muda, Sukaramai, Kota Banda Aceh. Selain untuk mengenang peristiwa Tsunami, tujuan pembuatan bangunan dengan 4 lantai ini adalah sebagai sarana edukasi bagi mereka yang belum mengerti dan ingin tahu apa itu Tsunami serta sebagai tempat perlindungan apabila kembali terjadi Tsunami di Tanah Rencong ini.
Pada saat voyagers memasuki museum ini, voyagers seolah dibawa kembali ke masa dimana Tsunami tersebut mengguncang Aceh ini. Di tahap pertama, voyagers akan memasuki jalan yang sangat gelap dimana voyagers hanya bisa mendengar suara air. Sesekali cucuran air dari atas akan menghujani voyagers kala melintasi jalur tersebut. Pada tahap ini museum mencoba untuk menggambarkan bagaimana gelap dan mencekammnya kondisi saat Tsunami itu terjadi.
Setelah itu voyagers akan melihat sebuah ruangan dengan beberapa layar monitor dimana di layar monitor tersebut terpampang beberapa gambar saat dan pasca Tsunam Aceh terjadi, sungguh pilu melihat gambar-gambarnya. Ada juga ruangan yang berisi foto-foto tsunami yang berhasil diabadikan dan dicetak. Ada juga barang-barang peninggalan Tsunami Aceh yang masih cukup berbentuk dan bisa diselamatkan seperti Alquran, Sepeda motor, Sepeda atau perahu yang diletakkan di museum ini.
Ruangan yang paling membuat bulu kuduk merinding mungkin adalah Sumur Doa (Chamber of Blessing). Bukan seperti sumur pada umumnya yang berisi air, ruangan yang dibuat menyerupai sumur ini berisi 4000 nama korban Tsunami yang terpampang di dindingnya. Nama-Nama dengan tulisan putih yang tersebut ditempel melingkar pada dinding hitam mulai dari bawah hingga ke atas. Di ujung atas sumur tersebut terdapat Lafaz Allah yang menggambarkan kepada Dia-lah nama-nama tesebut dan juga kita semua akan kembali. Penerangan juga dibuat tidak terlalu terang guna menjaga suasana khidmat dan tenang di ruangan ini.

Miniatur di Musem Tsunami Aceh yang mencoba menggambarkan kondisi saat warga Aceh harus berlari menghindari Tsunami
Ada juga ruangan yang berisi maket before dan after -nya kota Aceh. Pada maket tersebut digambarkan sedetail mungkin bagaimana kondisi sebelum air datang dan hancurnya daerah tesebut kala tersapu air tersebut. Pada maket tersebut juga digambarkan bangunan yang tetap berdiri kokoh meskipun tsunami menerjang, Masjid Baiturrahman salah satunya.
Menurut Daily Voyagers, museum yang di arsiteki oleh Bapak Ridwan Kamil ini merupakan salah satu museum paling terjaga, atraktif, inovatif dan paling bagus perawatannya di Indonesia. Yang mencengangkan lagi, untuk bisa masuk dan berkeliling museum ini voyagers tidak dipungut biaya apapun alias GRATIS.
Kapal PLTD Apung
Kapal PLTD Apung atau yang biasa dikenal dengan Kapal Apung adalah sebuah kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (yang kala itu milik PLN, sekarang dikelola oleh Kementrian ESDM) yang kini berubah fungsi menjadi tempat wisata edukasi di daerah Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Meuraksa, Kota Banda Aceh.
Awalnya, Kapal PLTD ini berlokasi di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue dan bertugas untuk menyalurkan listrik di wilayah tersebut sejak tahun 2003 karena terjadi krisis listrik pada saat itu. Tugas utama kapal ini pun harus terhenti pada 26 Desember 2004 karena terjangan Tsunami. Kapal seberat 2600 ton ini harus terbawa arus Tsunami sejauh 5 Km dan mendarat di pemukiman warga di Desa Punge Blang Cut tersebut.
Sejak peristiwa tersebut, Kapal ini tidak pernah dipindahkan dari desa Punge Blang Cut dan oleh Pemerintah Aceh kapal ini dijadikan sebagai objek wisata. Mesin pembangkit listriknya sendiri sudah dipindahkan sejak tahun 2010. Voyagers yang datang ke objek wisata ini bisa naik ke deck paling atas dan melihat pemandangan Kota Banda Aceh dari atas sini. Dari Deck kapal yang paling atas ini jugalah voyagers bisa berimajinasi tentang bagaimana dahsyatnya ombak kala itu sehingga bisa membawa kapal seberat ini sampai tiba di pemukiman warga.
Tersedia tangga dan juga jalur yang memang sudah dibangun oleh pemerintah agar voyagers bisa dengan mudah menaiki kapal ini. Di bagian luar, masih di dekat Kapal PLTD apung, dibangun juga sebuah dinding yang melengkung setengah lingkaran dengan monumen di depannya.
Pada dinding tersebut terdapat pahatan-pahatan yang mencoba menceritakan bagaimana peristiwa tsunami itu terjadi dan pada monumen di depannya tertulis nama-nama korban Tsunami yang meninggal. Di puncak monumen diletakkan sebuah jam yang tanggal dan waktunya sudah disesuaikan dengan saat kejadian Tsunami tersebut.
Seperti halnya Museum Tsunami Aceh, untuk masuk ke PLTD APung ini pun tidak dipungut biaya.
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu Masjid terbesar yang ada di Aceh. Bangunan ini menjadi benar-benar menjadi saksi sejarah kala Tsunami melanda “Serambi Mekah” ini. Waktu Tsunami terjadi, bangunan ini menjadi salah satu tempat perlindungan bagi mereka yang selamat. Bagaimana bisa Masjid ini tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat perlindungan warga padahal bangunan dan benda-benda lain di sekitarnya luluh lantah diterjang ombak?
Alasan pertama adalah karena pondasi masjid ini begitu kokoh. Alasan kedua adalah karena Masjid ini memiliki pelataran yang begitu luas, yaitu sekitar 4 Hektar. Menurut Peter McCawley dalam tulisannya di “The Asian Tsunami”, Ombak yang ditimbulkan Tsunami akan menjadi semakin bergulung-gulung apabila terhalang sesuatu. Semakin besar halangannya maka akan semakin besar juga gulungan ombak yang ditimbulkan. Pelataran di Masjid ini begitu luas dan kosong, hal inilah yang menjadikan tempat ini mampu meredakan ombak tersebut.

Baiturrahman sekarang dan dulu
Atas: Masjid Baiturrahman Sekarang
Bawah: Masjid Baiturrahman dulu kala diterjang Tsunami. Source via varia.id
Menurut Hafidz (Seorang teman yang mendampingi Daily Voyagers saat berkunjung ke Aceh), pada saat tsunami terjadi air memang berhasil membawa puing-puing dan berbagai macam benda ke pelataran masjid ini, menghancurkan bangunan-bangunan di sekitar mesjid dan merenggut banyak nyawa. Namun yang mengherankan adalah air tersebut hanya masuk ke lantai dasar masjid ini, tidak sampai ke dalam masjid ini. Itulah sebabnya orang-orang yang ada di dalam Masjid bisa selamat. Apakah itu yang dinamakan Mukzizat? Ya mungkin saja.
Setelah sekian lama ditata kembali, diperbaiki dan dilakukan beberapa perubahan, akhirnya Mei kemarin Masjid Baiturrahman dengan wujud yang baru telah kembali berdiri megah dan diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla. Masjid Baiturrahman kini memiliki payung elektrik layaknya Masjid Nabawi di Madinah. Marmer dari Italia pun sudah terpasang rapi di pelataran Masjid ini.
Siapapun boleh mampir dan berkunjung ke Masjid ini, tidak dibatasi oleh agama apapun. Namun yang perlu diperhatikan adalah karena tempat ini merupakan tempat ibadah dan salah satu tujuan wisata religi, maka berpakaianlah yang sopan dan sesuai dengan ajaran Islam. Untuk yang laki-laki paling tidak harus menggunakan celana panjang dan kaos berlengan (tidak boleh kaos lengan buntung) dan untuk wanita juga harus tertutup dan tidak boleh menggunakan pakaian yang ketat (tidak boleh menggunakan legging).
Everybody has an idea of the tsunami of being a big wave. It is not a big wave. It is a huge amount of water that comes to land.— Juan Antonio Bayona