Inong Balee: Pantai dengan Segudang Cerita dan Pesona
Mengutip apa yang disampaikan oleh Bung Karno pada HUT RI tahun 1966, beliau menyampaikan, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau yang lebih dikenal dengan singkatan “JAS MERAH”. Hal tersebut juga yang akan Daily Voyagers sampaikan di postingan kali ini mengenai Pantai Inong Balee. Sebelum Daily Voyagers mengungkap keindahan di balik pantai ini, tidak ada salahnya kalau voyagers juga mengenal terlebih dahulu sejarah dibalik pantai ini.
Sejarah Inong Balee
Inong Balee diambil dari bahasa Aceh. Inong berarti “wanita”, sedangkan Balee artinya adalah “Janda”. Nama tersebut tidak lepas dari peristiwa “Perang Teluk Haru” yang terjadi sekitar tahun 1600-an, sebuah peristiwa perang dimana tentara Aceh berperang untuk mengusir tentara Portugis yang mencoba untuk masuk ke Aceh. Perang tersebut akhirnya dimenangkan oleh tentara Aceh, hanya saja kemenangan tersebut harus dibayar mahal dengan kematian ribuan tentara Aceh.
Kematian tersebut secara otomatis membuat istri-istri tentara itu berubah statusnya menjadi “janda”. Laksamana Malahayati, salah seorang wanita yang juga suaminya meninggal pada saat Perang Teluk Haru pun mengajukan permohonan pada Sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil untuk membuat suatu armada perang yang isinya merupakan janda-janda korban Perang Teluk Haru. Permohonan tersebut dkabulkan oleh Sultan Alauddin dan Laksamana Mahayati pun diangkat menjadi Panglima Armada. Armada inilah yang kemudian dikenal dengan nama Armada Inong Balee.
Di atas Pantai Inong Balee inilah dibangun sebuah benteng pertahanan guna mengawasi kapal-kapal asing yang mencoba masuk atau menyerang Aceh melalui jalur ini. Di Benteng ini pula diadakan latihan militer guna memberikan kecakapan pada para Inong Balee yang ingin berperang. Selain menjadi Benteng Pengawas, Sarana Latihan Militer, tempat ini juga menjadi tempat untuk penempatan logistik.
Kalau voyagers berkunjung ke pantai ini, voyagers masih bisa melihat sisa-sisa benteng kejayaan Inong Balee pada masa itu. Hanya saja tinggal sebagian kecil, tidak utuh seperti masa dulu. Di depan Benteng ini juga terdapat papan bertuliskan “Situs Cagar Budaya Benteng Inong Balee” guna memberi tanda kalau tempat ini merupakan tempat yang bersejarah, bukan hanya untuk bangsa Indonesia, tetapi terlebih khusus untuk warga Aceh.
Dari atas Benteng Inong Balee inilah voyagers bisa melihat keindahan Pantai Inong Balee.
Keindahan
Setelah kembali ke masa lalu dan sedikit mengetahui bagaimana cerita heroik dibalik Pantai Inong Bale, sekarang waktunya voyagers merasakan keindahan dan keseruan freediving di pantai ini. Dari Benteng Inong Balee, Voyagers bisa melihat bagaimana birunya air laut yang seolah hidup dan memanggil kalian untuk segera turun dan bermain bersama mereka. Untuk mencapai bibir pantai, voyagers harus berjalan turun sekitar 30 meter dari benteng ini.
Di pantai ini tidak ada tempat ganti/bilas, tidak ada tempat penyewaan alat snorkeling dan juga tidak ada kasur atau matras yang bisa disewa untuk bersantai. Pantai ini ya kosong alias “Still like a virgin”, bahkan untuk masuk ke lokasi ini pun gratis alias tidak ada biaya masuk. Selain tidak adanya fasilitas yang memadai, sulitnya medan untuk bisa sampai ke tempat ini pulalah yang membuat tidak banyak orang yang bermain ke pantai ini.
Salah satu kenikmatan freediving di pantai ini adalah kita hanya perlu berenang dari bibir pantai hingga jarak atau kedalaman yang kita inginkan. Jadi tidak perlu sewa kapal untuk mencapai spot tertentu. Yang perlu diperhatikan hanyalah voyagers harus berenang saat air sedang pasang dan kembali sebelum air surut. Kenapa? karena di pinggir pantai ini voyagers akan langsung berjumpa dengan karang-karang (mati) tajam yang kalau bergesekkan dengan kulit akan nyesss rasanya.
Semakin jauh ke arah utara kita mengayuhkan Fin, maka akansemakin dalam kedalaman yang kita dapat. Dasar laut pantai ini adalah pasir putih yang cukup halus. Berbagai ukuran karang bisa kita temukan di sini, mulai dari yang kecil sampai yang sangat besar. Namun menurut pengamatan Daily Voyagers, karang-karang di sini kondisinya sudah cukup memprihatinkan. Jadi hati-hati ya alau kalian mau main ke sini, jangan sampai merusak mereka.
Angin berhembus tenang di pantai ini, ombak pun berayun dengan sangat pelan. Hal tersebut membuat tempat ini cukup aman untuk menyelam alias Freediving. Visibility di pantai ini pun bisa sampai hingga 15-16 meter, cukup jernih kan? Voyagers bisa menggunakan tempat ini untuk latihan FIM (Free Immersion) atau bahkan CWT (Constant Weight). Ikan-ikan kecil juga akan banyak voyagers jumpai di sini mulai dari the Famous Nemo sampai ikan kecil-kecil berwarna hitam dan biru yang ratusan jumlahnya.
Yang membuat spot freediving di sini spesial adalah banyak sekali bintang laut dengan berbagai ukuran & warna dan juga teripang yang bisa dibilang ukurannya tidaklah kecil. Voyages bisa berjumpa dengan puluhan bahkan ratusan teripang di pantai ini. Baru kali ini, di spot ini voyagers temui teripang sebanyak ini.
Karang, Bintang laut, Teripang dan hewan-hewan laut lainnya berpadu dengan indah di bawah laut ini.
Lokasi
Untuk bisa sampai ke lokasi ini dari Bandara Sultan Iskandar Muda, voyagers harus berkendara kurang lebih selama 1 jam. Lokasi tepatnya berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Jalanan menuju ke sana sudah teraspal dengan sangat rapi.
Rute yang cukup sulit akan voyagers jumpai saat mulai memasuki Benteng Inong Balee. Mulai dari pinggir jalan raya hingga sampai ke Benteng Inong Balee jalanan sangat rusak dan berbatu. Disarankan menggunakan mobil 4WD dan memiliki skill mengemudi yang cukup baik. Tepat di depan Benteng Inong Balee, voyagers akan memarkirkan kendaraan kalian karena kendaraan bermotor tidak bisa turun hingga ke depan pantainya.
Catatan
Kalau voyagers snorkeling atau freediving di pantai ini, voyagers harus berhati-hati karena Daily Voyagers menjumpai ada beberapa ular laut alias ular juventus (hitam putih) yang sering lewat atau beristirahat di dasar laut yang kedalamannya mungkin hanya 3-4 meter, tidak jauh dari bibir pantai.
Justice is an unassailable fortress, built on the brow of a mountain which cannot be overthrown by the violence of torrents, nor demolished by the force of armies–Joseph Addison