Kebaikan Pak Parma Membawaku dari Bogor ke Jakarta
Kebaikan Pak Darma – HHI Race yang keempat sudah berakhir. Kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih 3 hari 2 malam akhirnya tiba pada satu titik yang diberi nama perpisahan. Agak sedih memang karena keseruan itu harus berakhir dan kami harus kembali ke rumah masing-masing guna melanjutkan rutinitas seperti biasa di keesokan harinya. Senin sudah memanggil dari kejauhan dan mengajak setiap kami untuk bermain bersamanya.
Minggu, 25 Februari 2018. Para panitia #HHIRACE4 terlihat sibuk memasukkan barang-barang ke dalam kendaraan pribadi milik salah seorang panitia. Mereka bersiap untuk pulang ke Jakarta dengan menggunakan mobil tersebut. Kapasitas mobil yang semakin mengecil karena barang-barang memenuhi bagian belakang mobil membuat saya, Helena, Nugo, dan Ayu, para peserta #HHIRACE4, tidak bisa ikut pulang dengan menumpang mobil tersebut. Kami tidak terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut, toh kami bisa pulang dengan menggunakan kendaraan umum.
Saat kami, para peserta, hendak berjalan kaki menuju jalan raya. Salah seorang panitia menawarkan diri untuk mengantar kami dengan mobilnya hingga ke tepi jalan raya. Perjalanan yang cukup jauh dari Villa yang kami sewa menuju jalan raya apabila ditempuh dengan berjalan kaki, membuat panitia tidak tega dan memutuskan untuk mengantar kami. Niat baik tersebut tidak kami tolak dan kami pun diantar ke titik yang sudah kami sepakati.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah Warung Padang, warung dengan tulisan Sederhana namun jauh dari sederhana. Di sanalah kami diturunkan dan panitia tersebut segera kembali ke Villa untuk menjemput teman-temannya. Ketika sedang menunggu angkutan umum, tiba-tiba saja Nugo bilang, “Bagaimana kalau kita pulangnya hitchhiking lagi? Kita kan ikut kegiatan #HHIRACE4, gak lucu aja kalau berangkatnya hitchhiking tapi pulangnya naik angkutan umum.”
Mendengar ide itu saya hanya tersenyum. Ada benarnya juga omongan Nugo tadi. Memang tidak ada paksaan untuk melakukan hitchhiking kembali ke Jakarta, tapi tidak ada salahnya juga bila kami melakukan hal itu kembali. Kami pun menyetujui ide tersebut. Spanduk kuning bertuliskan “Numpang Dong” yang sudah kami masukkan dalam tas pun kami keluarkan kembali. Dengan semangat yang penuh, spanduk itu kami bentangkan di pinggir jalan raya dan ditambah tulisan “Jakarta” sebagai tujuan kami. Tak lupa Jari Jempol kami acungkan sebagai tanda kalau memang kami memerlukan tumpangan.
Tumpangan untuk Ayu
Mencari tumpangan di siang hari memang tidak terlalu mudah. Sudah 15 menit kami berdiri di depan Warung Padang, tapi belum ada satu pun kendaraan yang berhenti untuk mengangkut kami. Saya akui, memang tidak mudah meyakinkan pengendara, baik mobil maupun motor, untuk berhenti dan mengangkut kami yang hanya bermodalkan spanduk “Numpang Dong”. Siapalah kami ini yang mungkin hanya “pengganggu” di mata mereka.
Merasa titik dimana kami berdiri tidak bagus, kami berjalan menjauhi warung. Hal ini memang normal dilakukan ketika melakukan hitchhiking. Ada kalanya kita berdiri di tempat yang tidak tepat sehingga membuat pengendara tidak mau berhenti. benar saja, baru sebentar kami berdiri di titik yang baru, seorang wanita dengan sepeda motornya berhenti tepat di depan kami.
“Mau tumpangan ke mana? Saya bisa antar kalian ke stasiun karena saya lewat stasiun,” Tanya wanita yang bernama Nivo Wulandari itu, “Tapi saya hanya bisa mengantar salah satu di antara kalian saja.”
Mendengar kebaikan hati dari mbak Nivo, kami pun tidak ingin menyia-nyiakannya. Akhirnya diputuskan kalau Ayu yang akan ikut dengan Mbak Nivo sampai stasiun dan setibanya di stasiun, Ayu hanya perlu melanjutkan perjalanan dengan KRL menuju kosannya yang ada di Jakarta. Agak sulit mendapatkan tumpangan untuk 4 orang sekaligus, karena tidak semua mobil yang memberi tumpangan akan selalu kosong melompong. Tak jarang kita harus membaur dengan beberapa orang di dalam mobil yang ditumpangi dan biasanya hanya ada slot untuk 1 atau 2 orang saja. Jadi dengan Ayu mendapat tumpangan, kini pencarian tumpangan selanjutnya seharusnya sedikit lebih mudah.
Penolong Untuk Kami Akhirnya Datang Juga
Kini hanya tinggal saya, Helena dan Nugo. Di siang yang agak terik itu, kami tetap berusaha dan berharap kalau ada kendaraan yang akan memberi tumpangan kepada kami. Bermacam jenis mobil berlalu, tapi belum ada satupun yang berhenti di depan kami. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil truk dengan bak tertutup dari arah berlawanan terlihat berusaha untuk memutar dan berbalik arah. Setelah berhasil, truk tersebut berhenti tepat di depan kami dan sang supir membuka pintu mobilnya sambil berkata, “Ayo naik.”
Kami sempat termenung sesaat karena begitu senang akhirnya ada mobil yang memberikan tumpangan, baru kemudian satu per satu dari kami masuk dan duduk di sebelah pak supir. Truk yang harusnya hanya berpenumpang maksimal 3 orang (termasuk supir), kini harus penuh sesak karena diisi 4 orang. Helena pun terpaksa saya pangku agar tidak mengganggu pak supir. Sebenarnya agak kurang nyaman posisi kami duduk, tapi demi pulang ke Jakarta dengan bermodalkan Rp 0, kami pun mencoba membuat diri kami senyaman mungkin di dalam truk tersebut.
Di dalam truk yang penuh sesak itulah perbincangan terjadi. Nama supir baik hati itu adalah Pak Parma. Mendengar dia mengucapkan namanya, tiba-tiba saja saya tersenyum. Saya jadi teringat akan salah satu klub sepak bola Seri A yang pernah berjaya di tahun 90an. Waktu itu klub AC Parma begitu terkenal karena diisi oleh pemain-pemain hebat seperti Hernan Crespo, Stoichkov, dan Gianfranco Zola.
Didorong oleh rasa penasaran, saya pun memberanikan diri untuk langsung bertanya kepada Pak Parma yang ternyata sedang bertugas mengantarkan bareng untuk beberapa toko Waralaba yang ada di Bogor. “Pak, kok bapak mau memberi tumpangan kepada kami yang bapak tidak kenal? Tadi juga saya lihat bapak datang dari arah yang berbeda, lalu berputar dan berbalik arah.” Tanya saya.
“Sebenarnya saya tadi sudah lihat kalian. Sambil mengemudikan truk, samar-samar saya membaca tulisan “Numpang Dong” yang kalian pegang. Melihat itu, saya jadi teringat waktu saya muda dulu, masa-masa saya sekolah, masa-masa dimana saya tidak punya uang dan juga sering menumpang. Akhirnya saya pun berbalik arah dan memutuskan untuk memberi tumpangan pada kalian,” Jawab Pak Parma.
Mendengar jawaban Pak Parma, kami pun sedikit berkaca-kaca dan tersentuh. Kami tidak menyangka kalau dia mau repot-repot untuk berbalik arah dan memberi tumpangan. Padahal kalau dia mau, dia bisa saja terus berlalu tanpa perlu menghiraukan kami yang tidak ia kenal. Iseng-iseng, saya pun kembali bertanya pada Pak Parma, “Bapak kan tidak kenal kami, lalu kenapa bapak mau memberi tumpangan kepada kami? Bagaimana kalau kami ternyata ingin berbuat jahat pada bapak?”
Dengan santai Pak Parma menjawab, “Mas, tugas kita sebagai manusia adalah berbuat baik. Kalau dia berbuat jahat, itu urusan dia dengan Tuhannya. Yang jelas saya sudah melakukan tugas saya untuk berbuat baik. Itu saja.” Mendengar jawaban itu pun saya semakin yakin kalau saya berada di kendaraan yang tepat menuju Jakarta.
Baca Juga: Mengenal Hitchhiking Lebih Dekat
“Oh, iya mas. Nanti kan saya mau ke daerah Jati Bening. Jadi nanti mas saya turunkan di Cawang saja ya? gak apa-apa kan mas?” Tanya Pak Parma sembari tetap fokus dengan stir yag dipegangnya. “Oh, gak apa-apa Pak. Kami senang sekali kalau sudah bisa sampai di Jakarta. Diturunkan dimana pun kami tidak ada masalah,” Jawab Nugo menyela perbincangan saya dengan Pak Parma.
“Tapi ada dua masalah lagi mas. Masalah yang pertama adalah saya harus mengantar barang dulu ke salah satu toko Waralaba yang ada di Pom Bensin X. Apa tidak masalah jika kalian menunggu? Masalah yang kedua adalah penumpang maksimal yang diizinkan duduk di depan adalah 2 orang, 3 orang dengan supir. Jadi kalau lebih dari itu, ada kemungkinan saya akan ditilang polisi. Masnya mau masuk ke dalam box belakang?” Tanya Pak Parma yang mungkin merasa sedikit tidak enak dengan kami.
Karena tujuan kami adalah pulang dengan transportasi gratis, tidak pakai pikir lama, kami pun menyanggupi permintaan Pak Parma. Kami juga bilang ke Pak Parma kalau kami semua akan masuk ke dalam box di belakang. Jadi kami akan membiarkan Pak Parma mengendarai dengan sedikit leluasa.
Setibanya di Pom Bensin, Pak Parma turun dan membuka box bagian belakang. Dengan perlahan ia menurunkan barang bawaannya dan menyerahkannya pada petugas toko waralaba untuk dicatat. Usai menyerahkan barang-barang tersebut, tiba-tiba saja Pak Parma menghilang dari hadapan kami dan baru kembali 10 menit kemudian. Ternyata Pak Parma baru saja menunaikan ibadah shalat. Melihat hal itu, saya semakin yakin kalau tidak akan ada masalah selama saya menumpang di box bagian belakang. Beliau orang yang baik. Dengan segera Pak Parma mempersilahkan kami untuk masuk ke Box belakang.
Perjalanan selama kurang lebih 1 jam 30 menit kami nikmati di dalam box yang gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Udara di dalam pun sedikit pengap karena tidak ada ventilasi yang besar untuk udara keluar masuk. Sesekali mobil berguncang hebat yang membuat kami bergoyang ke kiri dan ke kanan di dalam box. Itu bukan menjadi masalah dan kami pun menanggapi kejadian-kejadian itu dengan tertawa karena ini pengalaman baru buat saya, Helena dan Nugo.
Guna mengurangi rasa khawatir saya dalam perjalanan menuju Jakarta kali itu, saya memutuskan untuk mencoba tertidur. Perjalanan melalui tol yang jalannya mulus membuat kami bisa tertidur, ya meskipun sesekali terbangun karena kepanasan. Setelah 1 setengah jam berlalu, mobil yang dikemudi Pak Parma berhenti dan mesinnya dimatikan. Kami menganggap itu sebagai tanda dari Pak Parma kalau kami sudah tiba di Cawang.
Benar saja, pintu box perlahan terbuka dan cahaya pun masuk dengan cepat. Mata kami yang tidak melihat cahaya selama 1 jam 30 menit seperti kaget saat cahaya dengan perlahan menyentuh mata kami. Saat turun, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Parma atas tumpangan yang diberikan kepada kami. Terima kasih untuk pengalaman serunya “disembunyikan” dalam box truk selama satu setengah jam 🙂
Luck is a matter of preparation meeting opportunity.
— Lucius Seneca