Berselimut Kehangatan & Berbalut Persaudaraan di Desa Adat Wae Rebo
Entah mengapa, memori yang sudah tersimpan selama 3 tahun itu tiba-tiba menyeruak di dalam pikiran ini, memori ketika saya dan beberapa orang teman pada tahun 2016 mengunjungi Desa Adat Wae Rebo, salah satu desa paling unik dan indah di tanah Flores dan juga Indonesia. Memori itu sepertinya menolak hanya tersimpan dalam ingatan ini dan meminta untuk dibagikan.
Setelah tiba di Denge, usai menempuh 4,5 jam perjalanan dari Cancar, kami langsung menuju ke kediaman Bung Blasius Monta. Denge ini merupakan desa terakhir sebelum melakukan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Desa Adat Wae Rebo yang berada di ketinggian nun jauh di sana. Sebelum berangkat ke Flores, saya memang sudah berhubungan dengan Pak Blasius ini lewat pesan singkat terkait rencana kami menginap di Desa Adat Wae Rebo. Tak disangka, rencana itu sebentar lagi terwujud.
Karena perjalanan menuju Desa Adat Wae Rebo akan dilakukan dengan berjalan kaki dan medan yang dilalui adalah jalur tanah yang menanjakm dengan ditemani pepohonan lebat di kiri dan kanan jalur, akhirnya kami memutuskan untuk makan sore terlebih dahulu di rumah Pak Blasius ini (ya, kami datang sudah sore). Makanannya tidak mewah, hanya beberapa mangkuk mie instan. Namun tidak ada yang bisa menyangsikan kenikmatan dari mie instan, bukan?
Sambil makan, tak lupa saya memesan 1 kamar kosong di rumah Pak Blasius ini. Untuk apa? Untuk menyimpan barang bawaan kami yang tidak perlu dibawa ke Desa Adat Wae Rebo. Ketika itu kami sudah masuk hari keempat dalam rangkaian 9 hari menjelajah Flores, jadi beberapa baju kotor harus ditinggalkan agar perjalanan yang mendaki ini menjadi lebih efisien.
Pendakian yang (tidak) Melelahkan
Akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Usai mendapat energi yang cukup bergizi dari mie instan, rombongan kami pun pamit kepada Pak Blasius. Dengan didampingi oleh seorang pemuda lokal (yang saya lupa namanya), kami pun memulai perjalanan menuju Desa Adat Wae Rebo.
Secara perlahan langkah kaki ini mengikuti jalur tanah yang sudah terbuka, yang juga digunakan oleh warga Wae Rebo untuk naik turun. Kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh pepohonan yang lebat. Semakin tinggi jalur yang kami lewati, semakin banyak “keajaiban” yang kami lihat di sini.
- Baca Juga: Itinerary Overland Flores 9 Hari 8 Malam
Banyak sekali pohon-pohon besar yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pohon-pohon besar nan lebat inilah yang akan menjadi pelindung bagi pengunjung dari terpaan sinar matahari dari pagi sampai siang. Suara-suaru burung yang entah bersembunyi dimana menjadi pemecah keheningan. Sesekali kabut datang dan menutupi jarak pandang kami, sehingga kami harus berjalan pelan guna mencegah kecelakaan saat pendakian.
Lucunya, kami yang berjalan dengan tanpa membawa barang bawaan berat ini disalip oleh salah satu warga Wae Rebo yang sedang berjalan menuju desa dengan membawa barang bawaan yang kelihatan sangat berat di kedua pundaknya. Salah seorang dari rombongan kami pun geleng-geleng melihat pemandangan tersebut. “Jalan begini aja capeknya bukan main, lah ini bawa beban yang pasti lebih dari 10 Kg.” Ucap Rista.
Buat saya yang suka mendaki gunung, perjalanan ini tergolong mudah. Jalurnya memang menanjak, tapi cukup banyak bonus (jalur landai) yang bisa kami lalui. Ditambah lagi, cuaca di sini agak dingin. Beristirahat terlalu lama akan membuat badan kedinginan dan kaku.
Setelah berjalan kurang lebih dari 2 jam (karena harus berjalan bersama-sama), kami tiba di sebuah pos dimana kami hrus membunyikan sebuah alat musik tabuh untuk memberi tanda kepada warga desa bahwa ada tamu yang mau datang. Setelah mendapat suara balikan, barulah kami boleh berjalan masuk melewati gerbang menuju Desa Adat Wae Rebo.
Penerimaan dan Kehangatan Desa Adat Wae Rebo
Dari jauh, Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo, itu sudah terlihat. Sayangnya, kami tidak boleh langsung masuk. Terlebih dahulu kami harus berbaris di lapangan, tepat di depan 7 jajaran Mbaru Niang yang disusun agak melengkung. Di lapangan ini kami disambut oleh ketua adat desa Wae Rebo, Bapak Alex.
Pada tahap ini, kami harus menyerahkan uang secara sukarela untuk 1 kelompok (besarnya bebas). Usai memberikannya kepada ketua adat, lantas ketua adat tersebut membacakan mantra atau doa kepada leluhur mereka yang isinya kurang lebih meminta izin untuk kami yang ingin masuk desa ini. Setelah selesai mengucapkan mantra atau doa dalam Bahasa Manggarai tersebut, kami diizinkan untuk tinggal di desa ini. Kami yang tadinya orang asing, sudah tidak lagi dianggap orang asing, melainkan saudara, bagian dari Desa Adat Waerebo.
Salah seorang perwakilan warga desa mengantarkan kami ke Niang Gendang, rumah adat utama dan ukurannya yang paling besar dan berada di tengah. Oh iya, rumah-rumah di Wae Rebo ini ada nama-namanya lho, cerita mengenai rumah adat Wae Rebo bisa kalian baca DI SINI. Sebenarnya para pengunjung yang datang tempatnya bukan di Niang Gendang, tapi karena waktu itu kunjungan cukup padat dan tempat di niang lain sudah penuh, maka kami ditampung di sini.
Di dalam rumah yang paling besar ini, saya membaur bersama pengunjung lainnya yang sudah terlebih dahulu datang. Sudah disediakan matras dan selimut untuk kami bisa tidur di sini. Enak, kan? Sebelum memasuki waktunya makan malam, karena kami datang saat sudah hari hampir malam, kami disuguhi kopi Flores yang terkenal itu. Sudah tahu kan nikmatnya kopi Flores? Tak perlu lagi lah saya menjelaskannya.
Sembari menyeruput kopi itu, kami bisa melihat aktivitas anak-anak yang tak malu terhadap pengunjung dan makanan yang sedang dimasak di depan kami. Jadi ruang tamu dan ruang masak ini hanya terpisah oleh tembok imajiner. Aktivitas memasak dan asap yang keluar dari pembakaran kayu pun bisa kami lihat dengan jelas. Konon kabarnya asap-asap yang keluar dan “tertahan” di rumah ini membuat Niang ini semakin kuat lho.
Malam Keakraban
Makan malam yang ditunggu pun tiba. Kami duduk membentuk lingkaran-lingkaran kecil mengelilingi nasi dan laukpauk yang diletakkan di tengah. Menunya sih biasa saja, sayur labu, tapi tempat, suasana dan keakraban lah yang membuat momen makan malam ini menjadi lebih spesial. Beberapa warga desa penghuni niang ini pun ikut membaur bersama dengan kami untuk makan. Benar-benar tidak ada batasan.
Sambil makan, kami saling berkenalan dan bercerita tentang kekaguman kami pada desa ini. Sambil menunjuk makanan yang kami makan ini, salah seorang warga desa yang membaur bersama kami bercerita kalau semua makanan yang ada di sini itu dibawa dari bawah.
“Komoditas utama Desa Wae Rebo itu adalah kopi. Jadi kebun di sini semuanya ditanam kopi. Jika butuh beras, sayur, dan bahan makanan lain, kami mengangkut semuanya dari bawah.” lanjutnya.
- Baca Juga: RIncian Biaya Overland Flores 9 Hari 8 Malam
Wah, pantas saja ya kopi di sini enak sekali, bahan bakunya langsung dari kebun yang ada di sini. Dan sebagai bentuk penghargaan terhadap usaha mereka membawa makanan di sini, makanan yang sudah mereka sajikan pun kami santap habis *padahal memang lapar*.
Setelah makan, kami keluar niang untuk bermain di lapangan. Semakin malam, keadaan semakin ramai. Beberapa pengunjung yang berada di Niang ini pun ikut keluar dan bergabung. Berada di ketinggian 1200 MDPL, tentunya membuat Desa Waerebo memiliki suhu yang cukup dingin di malam hari itu. Tapi malam itu rasa dingin berhasil dikalahkan oleh rasa hangat, bukan oleh hangatnya perapian, tapi rasa hangat yang timbul dari keakraban dan canda tawa riang antar kami.
Sumpah, malam itu rasanya tidak ada batas antar kami, antar sesama pengunjung maupun antara pengunjung dengan warga desa Wae Rebo. Padahal kami semua baru bertemu saat itu, namun seolah kami sudah bersahabat sejak lama. Warga Desa Adat Wae Rebo pun terlihat sudah terbiasa sekali dengan kehadiran orang lain. Tapi seperti apa yang dikatakan Bapak Alex, ketika doa sudah diucapkan dan izin sudah didapatkan dari para leluhur, maka semua orang yang menginjak tanah ini adalah saudara. Tanpa itu pun, kita juga saudara, kan? Saudara sebangsa dan setanah air.
Saat salah seorang pengunjung wanita terlihat kedinginan, ada seorang anak lokal yang datang dengan membawa kain tenun Manggarai untuk diberikan kepadanya. “Kakak, pakai ini biar tidak kedinginan.” ucap anak itu penuh ketulusan. Sambil sedikit keheranan, wanita itu mengambil kain tersebut dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Sungguh kejadian yang menentramkan hati sekali.
Tukar cerita menjadi aktivitas utama kami malam itu. Ada juga yang bernyanyi sambil memainkan Ukulele. Rupanya, meskipun tidak ada TV dan listrik sangat terbatas di sini, warga di sini banyak tahu lagu pop seperti Jamrud dan Sheila on 7 lho. Canda tawa dan alunan lagu menjadi penghangat kami malam itu.
Agar lebih hangat, malam itu saya minum sopi bersama warga lokal. Untuk yang belum tahu apa itu Sopi, itu merupakan minuman beralkohol khas dari NTT. Cerita lengkap mengenai sopi bisa kalian baca DI SINI. Yang tidak minum minuman beralkohol, mereka menggunakan kopi sebagai teman melewati malam. Sopi dan kopi ini memiliki kesamaan, sama-sama menghangatkan 🙂
Suasana semakin indah karena langit di atas Desa Wae Rebo menampilkan ribuan atau bahkan jutaan bintang yang seolah sangat dekat. Di sini jauh sekali dari polusi cahaya, oleh karena itu bintang bisa kelihatan dengan sangat jelas. Para pemburu milky way pasti sangat senang berada di sini.
Sambil ditemani indahnya cahaya bulan, salah seorang pengunjung yang sedang memegang ukulele pun langsung memetik alt musik tersebut dan dari mulutnya ia menyanyikan lagu “Ambilkan Bulan”. Duh, kalau mengingat momen ini, jadi ingin kembali ke sana rasanya.
Mulai memasuki tengah malam, satu per satu kembali ke niang masing-masing untuk tidur. Begitu pun dengan saya. Kebersamaan hari ini harus berakhir dan dilanjutkan lagi besok. Kepala yang sudah sedikit goyang karena terlalu banyak minum sopi untungnya masih bisa dikendalkikan. Dengan langkah gontai saya kembali ke niang. Sebelum tidur, tak lupa saya mengisi baterai dari beberapa gadget saya. Maklum, listrik hanya menyala malam-pagi hari di sini dan itu pun didapat dari menyalakan genset.
Terima kasih untuk kesan pertama yang diberikan di hari pertama ini, Wae Rebo.
Catatan:
- Tidak ada signal di Wae Rebo. Jadi saat malam tiba, matikan gadgetmu dan membaurlah bersama yang lain. Gunakan waktu untuk bertukar cerita dan “menjadi manusia”.
- Listrik di sini hanya nyala pada waktu tertentu, jadi gunakan secara bijak untuk mengecas semua peralatan yang kalian butuhkan.
- Biaya menginap di Wae Rebo waktu itu adalah Rp 325.000/orang untuk 1 malam. Kalau hanya datang tanpa menginap, biayanya Rp 160.000/orang. Semua biaya saya transfer ke Pak Blasius, untuk nantinya ia berikan langsung ke pemangku adat Desa Wae Rebo.
- Nomor telepon Bung Blasius Monta – 081339350775
My family is my little village. I really do feel like my fairy tale came true.
–Molly Sims