Karang Mati Boleh Dipegang?
Bila hanya membaca judul tersebut, tentu jawaban atas pertanyaan itu sangatlah mudah, yaitu “boleh”. Di pinggir pantai, umumnya banyak sekali karang mati yang terbawa arus, ya tinggal dipegang saja. Namun bila ada cerita atau kasus yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut, mungkin alur ceritanya jadi sedikit berubah dan jawabannya bisa “boleh” atau juga “tidak boleh”.
Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan seseorang yang mengaku sebagai tour operator di sebuah kepulauan cantik di utara Jepara. Diskusi tersebut berlangsung di sebuah grup backpacker terkenal yang ada di Indonesia (FB Group). Diskusi bermulai ketika tour operator tersebut mengunggah beberapa gambar yang disertai caption mengenai keseruan yang dialami oleh tamu yang ia bawa.
Dalam caption postingan tersebut, sang operator intinya mengatakan bahwa siapapun orang yang pergi ke kepulauan tersebut, meskipun tidak bisa berenang, asalkan pergi bersamanya, pasti bisa foto “KEREN” di bawah laut (saya menyimpulkannya begitu). Saya pun salut sekali dengan tour operator ini. Bayangkan saja, tamu yang tidak bisa berenang, apalagi menyelam, langsung bisa foto di bawah laut bersama dengan para Nemo dalam 1 momen. Apalagi namanya kalau bukan hebat dan ajaib, bukan?
Namun mata saya sedikit terusik dengan salah satu gambar. Pada salah satu gambar yang dia unggah, terlihat seorang wanita yang (mendadak) bisa menyelam dan berfoto bersama para Nemo itu ternyata sedang memegang karang. Hal itu saya rasa dilakukannya untuk tetap bisa steady saat gambar itu diambil.
Melihat gambar itu, saya bertanya dong, “Jadi maksudnya mas mengizinkan tamu yang mas bawa untuk memegang karang hanya demi mendapat hasil foto yang bagus di bawah laut?”
Keesokan harinya, barulah pertanyaan saya dijawab. Menurut dia, di depan wanita tersebut ada timbunan karang-karang yang patah (mungkin juga banyak yang mati). Timbunan itu sudah ada sejak usia si tour operator 12 tahun. Sekarang usia si tour operator itu sudah 34 tahun dan karangnya tetap begitu (menurut penuturan si tour operator). “Karang yang dipegang di foto saya itu dari dulu, sudah 10 tahun lebih hampir setiap hari dipegang. Sampai sekarang masih seperti itu dan tidak berubah,” Tambahnya.
Wah, sudah 10 tahun ternyata praktek “pegang-pegang” karang ini terjadi, entah untuk berfoto “cantik” atau keperluan yang lain, saya tidak terlalu tahu. Tapi yang saya kaget itu sudah 10 tahun begitu. Saya pun tidak melanjutkan pertanyaan saya kepada tour operator itu karena dalam postingan selanjutnya dia berkata, “sudahlah mas tidak usah SOK. Apa yang menurut mas jelek, belum tentu sama dengan kenayataan di lapangan.”
Padahal saya cuma bertanya lho, tapi langsung dibilang sok *dasar netizen*. Yang lucunya lagi, dia terus membalas dan berkata pada salah satu unggahannya, “Kalau karang yang seperti itu (yang masih segar dan berwarna-warni), saya pasti tidak akan mengizinkan untuk dipegang, apalagi diinjak. Tapi yang dipegang pada foto itu adalah karang mati. Jadi mau dipegang 100x pun juga tetap seperti itu, paham?”
Saya pun mengakhiri diskusi itu dengan mendoakan agar bisnis tour-nya bisa terus lancar dan semakin banyak foto-foto “KEREN” di bawah laut sana. Saya tidak mau terlibat debat kusir dengan orang yang sudah emosi. Padahal saya bertanya baik-baik.
Tapi dari hasil diskusi itu, saya jadi punya banyak pertanyaan dalam otak saya. Pertanyaan yang pertama adalah:
Apakah Karang Mati Boleh Dipegang?
Dari banyak sumber yang saya baca, seperti DI SINI, DI SINI dan DI SINI, semua mengatakan kalau “karang tidak boleh dipegang”. Tidak ada satu sumber pun yang mengatakan kalau karang A boleh dipegang sedangkan karang B tidak boleh, atau karang hidup tidak boleh dipegang sedangkan karang yang mati boleh banget untuk dipegang. Semua anjuran bersifat umum, yaitu karang tidak boleh dipegang.
Saya sendiri berpendapat sama dengan beberapa sumber tersebut, lebih baik memang karang jenis apapun, mau itu mati atau hidup, tidak boleh dipegang. Kenapa? Alasannya adalah untuk menumbuhkan kebiasaan atau budaya bahwa karang itu hanya untuk dilihat dan bukan untuk dipegang. Dengan membudayakan seperti itu, kita sudah membantu sedikit untuk melestarikan kehidupan bawah laut.
Yang saya takutkan adalah ketika tour operator memperbolehkan tamunya memegang karang, meskipun itu karang mati dengan terlebih dahulu memberi tahunya, maka hal tersebut akan menumbuhkan kebiasaan kalau memegang karang itu tak masalah. Menurut saya, memperbolehkan memegang karang, meskipun sudah mati, akan menimbulkan perintah dalam alam bawah sadar manusia bahwa tidak ada masalah memegang karang. Sehingga suatu saat, ketika sedang snorkeling atau diving di tempat lain, bisa saja secara otomatis tangan ini akan langsung memegang karang. Karena apa? Karena sudah terbiasa. Manusia akhirnya jadi tak lagi peduli apakah karang ini sudah mati atau masih hidup. Ketemu karang ya pegang saja.
- Baca Juga: Langit Jingga Menuju Senja di Karimunjawa
Lagi pula, apakah semua orang bisa membedakan mana karang yang sudah mati dan mana yang masih hidup? Apakah semua karang yang terlihat pucat warnanya sudah bisa dipastikan kalau karang itu mati? Bagaimana bila suatu saat, tamu yang dibawa tour operator ini pergi ke tempat lain untuk menyelam, lalu ditegur keras oleh operator lain yang membawanya menyelam karena memegang karang dan ia hanya menjawab dengan, “Waktu saya menyelam di xxxx boleh kok pegang karang untuk foto. Kok di sini nggak boleh?”
Karang-karang di bawah laut itu mungkin boleh dipegang, namun hanya dalam beberapa kesempatan darurat sepeti misalnya terbawa arus bawah laut, bukan untuk foto-foto cantik. Bila tidak memegang karang akan membuat kalian terseret jauh, ya mau tidak mau kalian harus memegang karang tersebut. Tapi ini hanya saat darurat saja ya.
Atau mungkin karang boleh dipegang ketika ada tujuan untuk pembudidayaan atau penelitian. *Kalau memang contoh saya ini salah, boleh disanggah lho dan diberi penjelasan mengenai kapan saja momen karang itu boleh dipegang*
Bisnis Karang Mati?
Dari penjelasan sang operator di kolom komentar facebook itu juga, saya jadi berpikir, apa jangan-jangan ada ya bisnis karang mati di kalangan tour operator?
Maksudnya bagaimana? Maksudnya adalah sang tour operator akan membawa tamu-tamunya ke daerah dengan karang-karang yang memang sudah mati hanya demi memuaskan keinginan sang tamu agar bisa berfoto di dalam laut. Kan tidak mungkin orang yang tidak bisa berenang bisa langsung berfoto di bawah laut dalam seketika tanpa memegang karangnya, kan? Kalau dibawa ke tempat karang yang hidup, nanti dipegang jadinya mati dong.
Si tour operator sebenarnya sudah tahu kalau memegang karang itu dilarang, hal itu nampak dari salah satu statement-nya yang mengatakan, “Kalau ke karang seperti itu, tidak akan saya izinkan untuk dipegang, apalagi diinjak.” Tapi kalau tidak melakukan “foto-foto” cantik itu, (mungkin) dagangan wisatanya tidak laku. Kalau tidak laku, ya tidak bisa dapat uang.
Ya masih pro kontra sih sebenarnya memegang karang mati ini demi memuaskan hasrat tamu. Kembali lagi ke bagian awal tadi, memang perlu ketegasan dalam bekerja dan mengatakan “karang itu tidak boleh dipegang”. Banyak kok tamu yang akan mengerti ketika diberi penyampaian dengan baik. Kalau tidak bisa foto di dalam laut, ya tidak usah dipaksakan. Jadi tidak perlu takut kehilangan tamu karena melakukan sesuatu yang benar.
Peran Pemerintah
Dari diskusi itu juga saya berpikir dimana peran pemerintah seharusnya berada. Yang dilakukan sang tour operator (menurut saya) adalah suatu kebiasaan yang dianggap benar. Nah, bagaimana caranya menghilangkan kebiasaan ini (kebiasaan memegang karang)? Dengan memberikan penyuluhan dan pengawasan. Ya, memang tidak mudah mengawasi lautan Indonesia yang begitu besar ini, tapi kalau tidak dilakukan, ya kehancuran akan lebih cepat datang.
Mungkin setelah melakukan penyuluhan yang intense, bisa juga diberikan reward and punishment. Maksudnya bagaimana? Pemerintah bisa melakuka sayembara. Bila ada seseorang yang melihat orang lain yang membahayakan karang, maka laporkan ke petugas terkait. Sang pelapor akan dapat hadiah dan sang pelaku perusakan akan mendapatkan hukuman. Bila yang merusak karang itu tamu, maka sang tour operator harus ikut bertanggung jawab karena dialah yang membawa tamu tersebut. Hadiahnya apa dan hukumannya apa? Ya, mungkin bisa didiskusikan lebih lanjut.
Itu tadi cuma ide yang terlintas saja kok. Tidak tahu apakah bisa direalisasikan di lapangan atau tidak. Dan satu lagi yang penting, memberi edukasi itu bukan hanya peran pemerintah, tapi juga peran kita sebagai tamu atau traveler, dan harus dengan cara yang baik. Kalau kita tahu yang benar dan ada seseorang yang melakukan yang salah, jangan ragu untuk menegur. Hal biasa kok manusia itu berbuat salah. Tapi kalau kerap berbuat salah setelah diberitahu yang benar, itu lain soal.
*****
Ya, itu tadi sedikit uneg-uneg setelah diskusi yang terjadi di Group Facebook. Kalau kalian sendiri, setujukah kalian kalau karang mati yang ada di bawah laut itu boleh dipegang hanya demi kepentingan untuk berfoto di bawah laut?
Coral reefs represent some of the world’s most spectacular beauty spots, but they are also the foundation of marine life: without them many of the sea’s most exquisite species will not survive.
–Sheherazade Goldsmith