Desa Adat Suku Matabesi: Desa Asli yang Masih Menjaga Tradisi
“Langsung kembali ke Atambua saja, bung.” Titahku pada Bung Ardi yang menjadi supir saya selama di Belu.
“Saya sudah lapar, ingin mencoba jajanan yang ada di Alun-alun.” Tambahku padanya.
“Sebelum pulang ke kota, lebih baik kita mampir dulu ke Desa Adat Suku Matabesi. Itu kampung saya. Arahnya sama dengan jalan kita pulang. Bung pasti suka karena bung bisa melakukan wisata budaya di sana.” Jawabnya padaku.
Mendengar jawaban tersebut, saya pun tak menolaknya. Toh, masih agak lama juga pasar di alun-alun Atambua buka. Sambil menunggu pasar benar-benar siap menjajakan makanannya, tak ada salahnya kami mampir dulu ke Desa Adat Suku Matabesi.
Mobil yang dibawa oleh Bung Ardi pun melaju cepat dari PLBN Motaain ke Desa Adat Suku Matabesi yang berada di Kelurahan Umanen Fatuketi, Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Perjkiraan waktu menuju desa tersebut kurang lebih 45 menit.
Desa Adat Suku Matabesi
Jalanan menuju desa ini masih jauh dari kata bagus. Batu-batu kecil berada di atas jalan tanah itu membuat mobil kami bergoyang saat melaluinya. Sembari melaju, Ardi bercerita kalau Suku Matabesi merupakan suku tertua di Kabupaten Belu. “Matabesi itu berasal dari bahasa asli yang bunyinya Beulunan Lao Dinan Rai, Nabelan Rai Beda Rai. Kalimat tersebut artinya adalah 3 bersaudara yang berjalan dari Pulau Bali ke Pulau Timor dan tinggalnya berpencar lalu berkembang.” Tungkasnya.
Jadi rupanya tidak banyak lagi Suku Matabesi yang menetap di situ. Beberapa diantaranya sudah keluar (untuk tujuan baik tentunya), seperti Ardi contohnya. Namun bila diadakan upacara adat, beberapa orang Matabesi ini akan datang kembali ke kampungnya dan membantu menyukseskan upacara adat tersebut.
Sebuah gapura sederhana dari kayu pun terlihat dari kejauhan. Gerbang itu seolah menjadi penanda kalau goncangan yang kami alami sepanjang perjalanan sudah hampir berakhir. Ternyata benar, gerbang itu menjadi titik akhir dari lajunyanya mobil. Tak lama setelah melalui gerbang itu, mobil yang kami tumpangi pun berhenti dan diparkirkan.
Dari lokasi parkir, kami masih harus berjalan sekitar 300 meter dengan jalur yang agak menanjak untuk bisa sampai ke Desa Adat Suku Matabesi. Rasa kagum pun langsung menghampiri kami saat tiba di desa yang berlokasi di kaki Gunung Lidak ini.
Pepohonan besar dengan daunnya yang berwarna hijau kekuningan memenuhi desa ini dan seolah menjadi payung teduh bagi kami. Cantik sekali. Kehadiran pepeohonan ini membuat udara di sini begitu sejuk. Cahaya matahari pun tak bisa begitu saja menyentuh kulit kami. Ia harus menyelinap di antara dedaunan yang begitu lebat.
Belum selesai kekaguman saya akan pepohonan yang ada di desa ini, saya langsung dibuat kagum lagi oleh bebatuan yang tersusun cukup rapi di desa ini tanpa perekat. Ya, desa ini dibentuk dari batu dan kayu. Itulah mengapa masyarakat suku Matabesi ini mendapat sebutan ema fatuk oan ema ai oan alias manusia penghuni batu dan kayu. Saya pun seolah dibawa kembali ke jaman dahulu, jaman dimana Fred dan Wilma Flinstone hidup.
Sembari menikati kekaguman desa adat ini, kaki saya pun melangkah menuju bebatuan yang berundak tersebut, dimana di atasnya terdapat sebuah pohon yang sangat besar. Di bawah pohon itu, rupanya terdapat 2 buah makam, yaitu makam Meo Bot Lausiberu dan makam Meo Nafonantesa.
Dalam Bahasa Indonesia, Meo artinya panglima perang. Meo Bot Lausiberu dipercaya sebagai panglima perang Suku Matabesi pada saat Perang Manututu. Entah kapan perang itu terjadi, saya pun tidak mengetahuinya. Saya pun tidak mendapatkan info mengenai siapa itu Meo Nafonantesa.
Rumah Adat Suku Matabesi
Tidak jauh dari makam, mata ini langsung menangkap suatu objek yang unik, sesuatu yang belum pernah saya lihat sama sekali, yaitu Uma, rumah adat suku Matabesi. Ada banyak Uma yang tersebar di desa ini. Rumah adat dari kayu yang usianya tak lagi muda ini mencoba untuk tetap berdiri sambil menahan atap besarnya yang terbuat dari ilalang.
Rumah adat Uma ini agak tidak biasa sebab atapnya yang berbentuk seperti perahu terbalik ini dibuat menutupi fondasi utama dan bahkan ujung bawah atapnya nyaris menyentuh tanah. Tidak ada jendela di rumah adat ini. Di dalam Uma dengan model rumah panggung inilah belasan keluarga bisa hidup berdampingan. Mungkin bisa dikatakan rumah adat ini mirip seperti Rumah Niang milik masyarakat Waerebo.
Desa ini sangatlah luas dan setiap Uma memiliki nama dan fungsi dan tingkatan yang berbeda. Yang terletak di sebelah makam dan merupakan Uma tertinggi adalah Uma Meo, atau rumah panglima. Selain sebagai rumah tinggal, rumah ini seringkali digunakan untuk acara adat, seperti Upacara Leno Urat.
Upacara Leno Urat merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan untuk melihat garis keberuntungan seseorang melalui hewan yang dikorbankan, bisa babi atau ayam. Kalau hasil penerawangannya buruk, maka perlu ada hal yang dilakukan agar orang tersebut terhindar dari hal buruk atau malapetaka.
Selain Uma Meo, ada juga Uma Mahein Lulik, Uma Fuk, Uma Bei Hale, Uma Bei Bere, Uma Kakaluk dan Uma Bei Asa yang tersebar di kampung ini. Rumah-rumah ini begitu sederhana dan sudah dibangun sejak nenek moyang Suku Matabesi mendiami tempat ini. Sampai saat ini, rumah adat ini tetap berdiri dengan kondisi asli tanpa direnovasi guna mempertahankan adat, keaslian dan warisan leluhur. Saking aslinya, bahkan listrik pun tidak masuk ke desa ini.
Ritual dan Budaya
Sudah sejak dulu, dari jaman pertama kali desa ini dibangun, masyarakat Suku Matabesi umumnya bekerja sebagai petani. Mereka begitu memanfaatkan sekaligus tergantung dengan kekayaan hutan yang ada di sekitar mereka. Di tengah alam yang menghidupi mereka, masyarakat Suku Matabesi percaya kalau mereka pun harus mengembalikan hasil tersebut kepada alam. Itulah sebabnya mereka masih mempertahankan beberapa ritual atau upacara adat guna membuat hasil tani yang mereka kerjakan berhasil.
Upacara Lakumatebian contohnya. Upacara ini dilakukan sebelum musim tanam tiba. Masyarakat di sini akan memotong hewan, seperti kerbau, yang dilanjutkan dengan berdoa agar ladang yang mereka tanam atau upayakan bisa mendapatkan hasil yang baik.
Di tengah musim tanam yang sedang berlangsung, ada yang namanya Hamis Batar. Ritual adat ini dilakukan oleh masyarakat adat suku Matabesi, yang dipimpin oleh tetua adat, untuk menyambut musim panen. Setelah panen dilakukan, masyarakat di sini akan mengadakan ritual adat lagi yang namanya Batar Fohon. Dalam ritual Batar Fohon ini, pohon atau tanaman di ladang akan dicabut hingga bersih dari tanah. Hal tersebut bertujuan agar semuanya kembali bersih dan bisa dimanfaatkan kembali.
Guna mendukung ritual-ritual adat, ada beberapa tempat seperti mesbah dari batu yang dibangun di Desa Adat Suku Matabesi ini. Letak mesbah ini bisa kalian lihat tidak jauh dari Uma-uma yang ada di tempat ini. Yang pertama ada Aitos, letaknya tidak jauh dari Uma Meo. Aitos ini digunakan untuk meletakkan persembahan yang berukuran besar seperti kerbau atau babi. Nah, Upacara Lakumatebian adalah contoh upacara yang menggunakan Aitos ini.
Ada juga Sadan Sri Fo’o Lakaan, yaitu mesbah untuk menaruh persembahan kemenangan perang berupa kepala-kepala lawan yang telah dikalahkan. Peletakkan kepala-kepala ini sebagai bukti kalau Suku Adat Matabesi sudah menang dan ungkapan terima kasih kepada leluhur yang sudah membantu mereka ketika berperang. Namun sekarang ritual ini sudah tidak lagi dilakukan 🙂
Dan yang terakhir adalah Fatululik. Letaknya ada di atas Aitos dan berfungsi untuk meletakkan sesajen seperti sirih pinang kepada roh para leluhur.
*****
Benar rupanya keputusan yang saya buat dan apa yang dikatakan oleh Ardi, saya tidak akan menyesal mengunjungi desa ini. Desa ini begitu kaya akan budaya dan tradisi. Kalau dikembangkan lebih jauh, saya rasa desa ini bisa menjadi potensi wisata di Kabupaten Belu. Sayangnya, ketika berkunjung ke sini, saya tidak melihat adanya upaya ekstra dari warga atau pemerintah untuk memajukan tempat ini sebagai tempat wisata.
Bahkan menurut info yang saya dapat, ada beberapa Uma di sini yang sudah roboh karena kurang terjaga. Memang perlu ada sinergi dari semua pihak guna menjaga dan mempopulerkan tempat ini.
Usai berkeliling, saya pun kembali ke mobil untuk kembali ke Atambua. Sembari melangkah menuju mobil dalam hati ini terucap doa agar tempat ini tetap terjaga dan kalau bisa semakin baik kedepannya.
Terima kasih Desa Adat Suku Matabesi.
Without memory, there is no culture. Without memory, there would be no civilization, no society, no future.
–Elie Wiesel