Pantai Ling’al: Pantai Natural dengan Kecantikan yang Maksimal
“Pantai Ling’al wajib masuk ke dalam itinerary kita selama di Alor ya. Bebas mau diletakkan di hari apa saja, yang penting wajib hukumnya untuk mampir ke sana.” Ucap saya pada Monika sebagai wanita satu-satunya dan juga penyusun jadwal saat kami melakukan perjalanan ke Alor.
“Iya, kelihatannya bagus dan sepi pantainya. Kita harus ke sana.” Jawab Chris memperkuat perkataan saya setelah sebelumnya googling tentang Pantai Ling’al ini.
“Okay, kita akan mampir ke Pantai Ling’al di hari ketiga perjalanan kita.” Ucap Monika.
Dan akhirnya pantai itu pun masuk ke dalam itinerary kami. Tak ada keberatan atau sanggahan dari Billy. Kemanapun kita melangkah selama di Alor, sepertinya ia akan selalu menyetujuinya.
Perjalanan Membelah Laut
Pada hari ketiga keberadaan kami di Alor, lebih tepatnya pukul 07:00 WITA, kami berempat langsung melakukan perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan menuju Dermaga Alor Kecil dari penginapan kami yang berada di Kota Kalabahi. Di sana, sebuah kapal kayu berukuran tidak terlalu bersar, dengan mesin buatan Cinanya, sudah menunggu kedatangan kami.
2 orang berbadan hitam dan tegap dengan sigap langsung menghampiri kami, menyalami kami, dan membawa barang bawaan kami ke atas perahu ketika kami tiba di dermaga. Mereka merupakan orang yang dihubungi oleh Bung Dejan, salah satu warga Alor kecil yang bernegosiasi dengan kami pada malam sebelumnya terkait penyewaan kapal selama 1 hari untuk menyinggahi beberapa pantai cantik di Alor. Kepada 2 orang inilah kami percayakan perjalanan di atas lautan kali ini.
Setelah semua naik, mesin kapal pun dinyalakan. Pelan-pelan kapal melaju ke arah selatan Teluk Kalabahi, meninggalkan dermaga dan juga Pulau Kepa yang tepat berada di depan Dermaga Alor Kecil. Pagi itu begitu tenang, angin terlihat masih malu untuk berlari, sang surya nampak belum terlalu hangat memeluk kami melalui sinarnya, dan lidah-lidah ombak pun cukup santai menjilati perahu kami yang melaju di atasnya. Alam hadir begitu bersahabat pagi itu.
Lama perjalanan menuju Pantai Ling’al yang berada di kawasan Desa Halerman, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor, kurang lebih 2 jam. Ini adalah waktu tempuh paling cepat yang bisa kami pilih. Kalau lewat jalur darat, perjalanan menuju Pantai Ling’al yang benar-benar berada di ujung barat daya Pulau Alor ini bisa memakan waktu 8 jam. Itu pun yang bisa melaluinya hanyalah motor trail atau mobil dengan penggerak 4 roda.
Tak ada yang bisa kami lakukan selama 2 jam itu selain menikmati lautnya. Saya memilih untuk tidur sebagai cara untuk menikmatinya, memilih menghemat tenaga untuk dihabiskan di Pantai Ling’al. Sedangkan Chris, Billy dan Monik lebih suka untuk ngobrol dengan ditemani pemandangan laut yang biru dimana terdapat dua daratan yang mengapitnya, yaitu Pulau Alor di sisi kiri dan Pulau Pura di sisi kanan.
Agak berat sebenarnya memilih untuk tidur, karena pasti saya akan melewatkan beberapa pemandangan indah. Namun begitulah hidup, terkadang kita tidak bisa mengambil semuanya dan harus memilih yang terbaik diantaranya.
Tiba di Pantai Ling’al
Kurang lebih 15 menit menjelang tiba, saya pun dibangunkan. Di tengah kondisi yang masih mengantuk dan pandangan yang masih samar-samar, birunya laut di Pantai Ling’al di depan kapal mampu membuat saya segar. Semakin dekat ke pantai yang dikelilingi perbukitan itu, semakin terang pula warna biru lautnya. Sungguh memesona.
Sekitar 30 meter dari pinggir pantai, mesin kapal dimatikan. Sang nahkoda membiarkan kapal digendong oleh ombak hingga benar-benar tiba di bibirnya, baru setelah itu jangkar dilepaskan guna mencegah kapal kembali terbawa arus ke laut.
Dari atas kapal, perbukitan di depan pantai yang yang diselimuti sedikit pepohonan dan rerumputan nampak begitu megah. Putihnya pasir Pantai Ling’al dan jernihnya air laut yang begitu menggoda membuat kami tak kuasa berlama-lama di atas kapal. Saya dan lainnya pun segera turun dengan tanpa menggunakan alas kaki.
Benar saja, pasirnya itu halus sekali dan airnya segar. Tanpa perlu diberi aba-aba, dengan terlebih dahulu meletakkan barang bawaan pada lopo di pinggir pantai, kami mengawali kegiatan di Pantai Ling’al dengan menyelam tipis-tipis. Kami menyelam tak terlalu jauh dari pinggir pantai, kedalamannya mungkin hanya 2 -3meter.
Tak ada karang di sekitar spot yang kami gunakan untuk menyelam, hanya pasir halus. Sepertinya spot menyelam berada sedikit lebih ke kanan dari tempat kapal kami berdiam. Airnya yang jernih membuat visibility-nya jelas sekali. Meskipun posisi kami agak berjauhan dan kedalamannya berbeda-beda, tapi kami bisa melihat dan saling mengawasi satu sama lain.
Puas bermain air, kami menepi dan berjemur sebentar. Kami memang tidak lama bermain air di pantai ini. Serombongan anak muda, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja menghampiri saat kami sedang asyik mengeringkan badan ini di depan lopo dan kapal yang kami tambatkan. Perbincangan ringan pun terjadi.
Kenikmatan Tiada Tara
Pernah suka dengan seseorang tapi hanya bisa melihatnya dari kejauhan? Kurang lebih seperti itu jugalah cara terbaik untuk bisa menikmati Pantai Ling’al, dengan memandangnya dari atas kejauhan (perbukitan). Saya pun segera bertanya pada salah satu anak muda, yang datang menghampiri kami, jalan untuk bisa naik ke atas bukit karang yang berada di sebelah kiri dari arah datangnya kapal.
Tanpa menggunakan perkatan, anak muda itu menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Dengan cepat pemuda itu berjalan dan kami pun mengikutinya dari belakang. Dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk bisa sampai di atas bukit yang tingginya ±30 meter dari pantai ini. Jalannya terbilang cukup terjal dan beralaskan tanah berpasir. Jika tidak berjalan dengan hati-hati, pasti kalian akan terpleset dan jatuh.
Beberapa pepohonan meranggas terlihat menghiasi bukit ini di puncaknya, kontras sekali dengan pepohonan di dekat pantai yang daunnya masih sangat lebat. Karena kami datang saat musim kemarau, rerumputan yang berada di bukit ini tampil dengan warna keemasan. Sesampainya kami di puncaknya, mulut kami hanya bisa ternganga melihat kecantikannya.
Lengkungan garis pantai terlihat begitu sempurna dari atas bukit ini. Ternyata garis Pantai Ling’al ini lumayan panjang. Batas antara pasir pantai yang berwarna putih dengan air laut yang berwarna biru muda terlihat jelas dari atas sini. Perbukitan yang membentang megah dapat terlihat dengan telanjang dari atas bukit ini. Gradasi biru lautnya nyata terpampang. Bahkan yang paling mencengangkan, kapal kami di bawah sana terlihat seperti terbang karena air lautnya begitu jernih.
- Baca Juga: Mengenali dan Mempelajari Kebudayaan Alor di Museum 1000 Moko
Di atas sebuah batu yang terletak di ujung bukit, saya mengambil waktu untuk duduk diam dan menikmati momen memandangi Pantai Ling’al dari atas sini. Cara terbaik untuk menikmati sesuatu terkadang hanyalah diam. Alam benar-benar memanjakan saya dan membuat saya tenang kala itu. Saya jadi berpikir, alam selalu memberikan yang terbaik tapi kenapa ya manusia terkadang membalasnya dengan merusaknya?
Karena harus melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, saya dan yang lainnya pun tak bisa berlama-lama di sini. Padahal tempat ini begitu nyaman. Sebelum kembali ke atas kapal dan melanjutkan perjalanan, rombongan anak muda tadi menyodorkan sebuah buku yang ternyata daftar pengunjung yang mampir ke pantai ini. Monika pun mengambil dan mengisinya.
Kalau dilihat dari buku itu, memang jarang orang mampir ke pantai ini. Ya, cukup wajar sih mengingat jaraknya yang cukup jauh. Sembari mengembalikan buku itu, kami pun memberikan uang sukarela untuk membantu mereka. Bukan hal wajib memang, tapi rasanya hal kecil itu bisa membantu kehidupan mereka di sana.
Tidak menyesal saya membuang waktu 2 jam untuk bisa sampai ke Pantai Ling’al. Semuanya begitu alami di sini. Tak ada penginapan, tak ada yang berjualan, tak ada keributan, yang ada hanya ketenangan, keindahan dan kedamaian. Sambil melambaikan tangan dari atas kapal yang berjalan, kami pun berpamitan pada pantai ini dan kepada anak-anak muda yang baik hatinya, yang tidak mengintimidasi atau meminta apapun selama kami berada di sana 🙂
Sayonara
Saran
- Bawa sunblock karena panas cukup menyengat di sini dan pepohonan pun tak begitu banyak di sini, terutama di puncak bukit.
- Bawa air minum, makan, dan alat snorkeling sendiri bila kalian mau berkunjung ke sini sebab tidak ada yang berjualan atau membuka jasa penyewaan di sini.
To escape and sit quietly on the beach – that’s my idea of paradise.
–Emilia Wickstead