Mahout yang Salah vs Netizen yang Mahabenar
Sukacita melingkupi saya kala melakukan kunjungan ke Taman Nasional Way Kambas, lebih tepatnya ke Pusat Latihan Gajah Way Kambas. Bukan hanya karena bertemu para gajah yang lucu dan menggemaskan, tapi juga karena bisa berjumpa dengan sosok penting dibalik sehatnya para gajah tersebut. Mereka adalah para mahout alias pawang gajah, yang keberadaannya mungkin sering terlupakan. Padahal tanpa mereka, mungkin kita tidak bisa melihat gajah secara lebih dekat, belajar tentang gajah, dan membelai hewan yang beratnya bisa mencapai 3 ton ini.
Berbincang dengan Sang Pawang
Menjelang tengah malam, saya berjalan ke sebuah pondok dari kayu yang berada di seberang kandang gajah. Pondok tersebut letaknya tidak jauh dari Mahout Guest House, tempat saya menginap. Di depan pondok kayu tersebut, terdapat kandang gajah yang sangat luas dan dipisahkan oleh parit buatan yang cukup besar. Saat saya tiba di pondok tersebut, seorang Mahout terlihat sedang duduk menghadap ke arah kandang gajah dan mengarahkan senter ke sana guna melihat kondisi para gajah malam itu.
Melihat saya datang, ia pun mempersilakan saya untuk duduk dekatnya. Mahout itu berkata kalau para mahout lainnya sedang berkeliling untuk melakukan patroli dan juga menutup gerbang depan. Patroli dilakukan guna memastikan semua gajah sudah berada pada tempatnya, memeriksa apakah ada rantai yang terlepas atau tidak, dan mencegah hal yang tidak diinginkan lainnya.
“Ini saya sedang mengawasi gajah-gajah dewasa. Memastikan mereka bisa tidur dengan nyenyak malam ini.” Ucap sang mahout yang berada di sebelah saya.
“Meskipun sudah dirantai, tak jarang gajah-gajah ini bisa melepasnya sendiri. Gajah ini hewan yang cerdas lho. Maka dari itu saya harus mengawasi mereka dulu hingga tertidur.” Tambahnya.
Melihat mahout tersebut memperhatikan gajah-gajah di kandang sebelum tidur, saya jadi teringat perhatian orang tua saya kepada saya waktu masih kecil dulu. Orang tua saya jarang sekali tidur apabila belum melihat saya tertidur nyenyak. Kalian pasti pernah merasakan hal tersebut juga, kan? Kurang lebih seperti itulah yang saya rasakan terhadap hubungan mahout dan para gajah di sini.
Sambil menunggu para gajah tertidur, saya pun mengajak sang mahout ngobrol. Saya ingin tahu lebih banyak soal gajah langsung dari “ahlinya”, orang yang mengabdikan dirinya untuk menjaga gajah setiap harinya, membesarkan, dan merawat mereka. Dari sang pawang inilah saya tahu banyak hal yang saya tidak pernah tahu sebelumnya.
Sedikit Kisah Antara Sang Pawang dan Gajah
Menurut sang mahout, total gajah jinak di PLG (Pusat Latihan Gajah) Way Kambas kurang lebih ada 42 ekor. Jika ditambah dengan gajah yang berada di ERU (Elephant Response Unit), kurang lebih menjadi 60 ekor gajah jinak. Mengapa saya sebut gajah jinak? Karena gajah-gajah di PLG ini sudah dilatih, sedangkan masih ada gajah lainnya di luar PLG ini yang masih liar, jumlahnya kurang lebih mencapai 300an (berdasarkan perhitungan manual).
Ke 42 gajah tersebut diletakkan di 2 kandang yang terpisah. Gajah dewasa diletakkan di kandang yang terletak di sebelah Mahout Guest House, sedangkan para gajah betina dan anak-anaknya (gajah kecil yang belum bisa dilepas dari orang tuanya) diletakkan di kandang yang terletak di seberang Mahout Guest House. Oh ya, jangan bayangkan kandang di PLG ini kecil dan tertutup ya. Bentuk kandangnya seperti lapangan luas, tidak ada tembok pembatas yang berdiri di pinggir-pinggirnya. Yang ada hanyalah parit besar.
Serunya lagi, setiap gajah di sini punya nama lho, sama seperti manusia. Ada yang namanya Kartijah, Sugeng, Joni, Amel, Erin, dan masih banyak lagi. Saya sih tidak bisa membedakan mana si A, mana si B, dan mana si C, karena semuanya mirip. Kalau tidak diberitahu oleh si mahout, ya saya tidak tahu itu gajah yang mana. Saya rasa kedekatan dan kebersamaan mereka setiap harilah yang membuat mereka bisa membedakan gajah yang satu dengan gajah yang lain.
Idealnya 1 gajah dipegang oleh 1 mahout. Namun di PLG Way Kambas ini sang mahout tidaklah bisa hidup seorang diri. Pawang di sini harus punya teman akrab. Kenapa? Kalau tidak punya teman akrab, ya mahout tersebut tidak bisa libur. Oh ya, saya lupa menjelaskan di awal kalau salah satu tugas terberat mahout di sini adalah tidak ada libur. Sebab yang mereka urus adalah binatang yang hidup, yang perlu perhatian setiap hari seperti untuk makan, minum dan juga mandi.
- Baca Juga: Itinerary Jelajah Lampung 7 Hari 6 malam
Dengan mempunyai teman akrab, si pawang bisa menitipkan gajahnya ke temannya tersebut kala mereka terpaksa harus libur untuk acara-acara penting seperti acara kawinan keluarga, sunatan, atau keluarga sakit. Itu pun dibatasi, biasanya maksimal hanya 3 hari. Kebayang dong ya ribetnya jadi teman yang dititipi gajah kalau lebih dari 3 hari. Urus 1 gajah itu bukan hal yang mudah lho, apalagi urus 2.
Bahkan menurut si bapak yang saya lupa tanya namanya siapa, saat lebaran pun mereka tetap datang ke PLG Way Kambas ini. “Kalau pas lebaran, kami hanya Sholat Ied sebentar, dilanjutkan dengan mampir ke rumah tetangga saja. Setelah selesai, ya kami langsung kembali ke sini.” Ujarnya. Mendengar sedikit cerita itu, saya pun kagum atas dedikasi si bapak.
Ada beberapa kebiasaan gajah yang diubah di PLG Way Kambas ini, salah satunya adalah jam tidur. Buat kalian yang belum tahu, gajah itu termasuk hewan nokturnal, hewan yang baru beraktivitas di malam hari. Nah, di PLG ini pola itu diubah. Pagi untuk beraktivitas dan malam untuk beristirahat layaknya manusia.
Bisa kalian bayangkan dong kalau pola itu tidak diubah dan mahout harus mengikuti jam malam para gajah. Lama kelamaan bisa “hancur” badan para mahout kalau polanya tetap seperti itu. Lagi pula pengelihatan manusia dan gajah itu berbeda pada malam hari. Para gajah tetap bisa melihat dengan tajam, sedangkan manusia pengelihatannya lebih terbatas di malam hari.
Dibutuhkan waktu selama kurang lebih 3-6 bulan untuk melatih gajah, itupun hanya untuk bisa dinaiki sendiri. Sedangkan untuk pengembangannya, seperti kapan mereka harus tidur, kapan harus makan, kapan harus mandi, mengangkat kaki, duduk, semua diserahkan kepada mahout-nya masing-masing.
Setiap pagi, sang pawang harus melepas para gajah ke hutan untuk mereka tetap dapat merasakan alam bebas, sebelum sore harinya para pawang akan mencari mereka di hutan dan menarik mereka kembali ke dalam kandang. Kurang lebih seperti itulah tugas para pawang.
Kisah menjadi Mahout
Awalnya tidak ada niatan sama sekali dari si bapak untuk menjadi mahout. Dulu, tahun 1995, ada lowongan untuk menjaga gajah bagi siapapun yang merasa berani. Karena merasa dirinya berani, si bapak pun mengajukan lamaran untuk pekerjaan tersebut. Tidak peduli dapat gajah dewasa atau gajah yang masih anak-anak nantinya, yang penting apply saja.
Begitu memasukkan lamaran dan kemudian lolos interview, si bapak langsung dikumpulkan bersama 77 pelamar lainnya dan dikarantina selama 3 bulan. Selama 3 bulan itulah ia digembleng secara fisik dan mental untuk bisa siap menjadi pawang. Ia diuji kekuatan fisiknya. Ia disuruh berlari, pushups, situps, dan melakukan beberapa gerakan fisik lainnya. Sampai akhirnya, sekarang ia sudah 24 tahun menjadi pawang dan memegang Kartijah, gajah betina berusia kurang lebih 40 tahunan, yang ia pegang sejak usianya muda.
Selama 24 tahun menjadi mahout seekor gajah dan juga membantu para mahout lainnya untuk mengurus gajah lainnya, sudah banyak suka duka yang ia rasakan.
“Kalau cuma ditendang, jatuh dari gajah, terinjak gajah, itu sih sudah biasa bagi saya. Bahkan kalau para mahout di sini ada yang tertendang gajah dan terlihat oleh para mahout lainnya, biasanya kami akan menghitung hingga 10 dulu, seperti layaknya pertandingan tinju. Kalau sudah 10 detik tidak bisa bangun, barulah dibantu. Tapi kalau sebelum hitungan ke-10 sudah bisa bangkit, paling jelek ya hanya kami cemooh saja.” Jelasnya pada saya.
Belum cukup sampai disitu rupanya, sang pawang kemudian menarik sarung yang ia pakai dan menunjukkan luka di pahanya. “Ini dulu terkena caling (seperti gading hanya saja berukuran kecil dan tumbuh pada gajah betina). Caling ini menancap dan merobek paha saya sampai tulang di paha ini terlihat. Waktu itu saya sedang mencoba untuk menjinakkan gajah yang baru saja masuk ke PLG. Namun saat saya menaikinya, gajah tersebut mendadak berbalik arah dan membuat saya terjatuh. Calingnya lantas diarahkan ke paha saya. Parahnya lagi, tidak ada mahout yang menolong karena dianggapnya itu hanya pura-pura.” Ujarnya sambil tertawa mengingat peristiwa itu.
Mendengar cerita tersebut, saya pun tertawa dengan senyum yang sedikit kecut. Saya merasa kok cara bercanda para mahout di sini agak ekstrim ya. Masalahnya bercanda mereka itu melibatkan hal penting bernama nyawa.
“Tempat melatih gajah namanya Rung. Di sanalah para gajah itu kami latih. Kalau dulu kami masih mengambil gajah liar untuk dilatih, sekarang tidak lagi. Kami hanya melatih gajah yang memang dilahirkan oleh para gajah yang ada di PLG ini atau melatih gajah liar yang cedera dan ditinggal oleh rombongannya, seperti Erin contohnya (kisah mengenai ERin bisa kalian baca DI SINI.” Tandasnya.
Dihujat Netizen
Dibalik cerita yang seru itu, rupanya terselip sebuah berita yang kurang mengenakkan.
“Beberapa waktu yang lalu, kami dihujat oleh LSM penyayang binatang dan juga beberapa netizen di dunia maya. Menurut mereka, kami ini kejam karena merantai gajah, memukul gajah dengan ganco, dan juga suka menunggangi gajah.” Tuturnya.
Sebagai orang yang hidup di dunia dengan informasi yang begitu luas seperti sekarang ini, saya tidak mau menjadi orang yang ikut-ikutan dalam menyebarkan informasi. Apalagi bila informasi itu hanya sepotong-sepotong, tidak jelas sumbernya, dan didasarkan hanya karena tendensi tertentu. Saya pun tidak mau menilai informasi dari satu sisi saja.
- Baca Juga: Tanya Jawab Seputar Perjalanan ke Way Kambas
Mendengar cerita yang tidak mengenakkan tersebut, saya pun berusaha berada di posisi netral. Saya pun lantas bertanya, “Sekarang saya memposisikan diri sebagai orang awam, orang yang tidak tahu apa-apa. Okay, mungkin itu yang mereka lihat dan hanya sepotong. Tapi sebenarnya apa yang terjadi pada gajah-gajah tersebut?”
Tak lama setelah saya bertanya, ia pun mulai bercerita.
“Gajah tersebut memang dipasangkan rantai di kakinya, tapi tidak seharian juga dirantai. Setiap pagi rantai itu kami lepas agar mereka bisa berjalan bebas ke hutan, bisa mencari makan dan berlari. Kami pasang hanya saat mereka di kandang. Seandainya ada gelang rantai yang terpasang di kakinya saat kami melepas mereka, itu hanyalah salah satu cara yang kami gunakan agar langkah mereka bisa kami dengar ketika mereka berjalan. Meskipun badannya besar, langkah gajah itu tidak ada bunyinya, senyap sekali. ” Jawabnya.
“Kalau misalnya gajah itu tidak di rantai, lalu tengah malam mereka kabur ke perkampungan warga, apakah mereka yang menghujat itu mau tanggung jawab?” Tanyanya pada saya dengan nada yang sedikit naik.
Ia pun melanjutkan, “Gajah itu sudah kami anggap seperti anak kami sendiri. Kami mengurusnya tiap hari. Kalau mereka sakit, kami pun sedih dan bingung mencari obatnya (meskipun sudah ada dokter di Rumah Sakit Gajah). Bahkan ada kalanya dokter hewan yang bertanya pada kami mengenai gajah-gajah ini. Bila dibandingkan dengan keluarga di rumah, mungkin kami lebih sering bertemu dengan gajah-gajah ini. Ganco itu kami gunakan ketika awal menjinakannya. Saat sang gajah sudah jinak, ganco baru akan digunakan ketika sudah sangat amat terpaksa, ketika si gajah sudah tidak mau mendengar kami lagi atau sudah berbuat hal yang terlalu parah (ada kondisi dimana memang gajah bisa tidak mengenali mahoutnya).”
Mengingat ganco tersebut, saya jadi ingat dengan masa kecil dulu. Ketika saya melakukan salah yang luar biasa, barulah papa akan mengeluarkan ikat pinggangnya untuk menyabet saya. Namun, selama masih bisa diberitahu atau diberi peringatan tanpa memukul, orang tua saya pasti mengedepankan hal tersebut. Apakah ketika papa saya menyabet saya dengan ikat pinggang lantas ia tidak sayang dengan saya? Saya rasa justru sebaliknya.
Mungkin yang menghujat ini lupa kalau para gajah di sini adalah hewan yang dulunya pernah hidup liar. Menjaga gajah seperti ini taruhannya adalah nyawa. Para gajah bisa mengamuk dan atau menyerang sang mahout kapan saja. Rantai ini kalau boleh saya ibaratkan adalah benda untuk “menjaga” para gajah dan juga para mahout.
Untuk soal menunggangi gajah, para pawang memang harus bisa melakukannya. Sebab ada beberapa kebutuhan yang memang mengharuskan para pawang naik di atasnya (saya akan menceritakannya di postingan terpisah). Yang jadi persoalan adalah ketika menunggangi gajah itu dilakukan sebagai atraksi wisata. Pendapat saya sih boleh saja, hanya saja yang perlu dipikirkan adalah cara mengemasnya dan dibatasi berat maksimal yang boleh naik ke atas gajah.
Pawang itu kemudian bertanya kepada saya, “Kalau bilangnya kasihan gajah itu dirantai, masih banyak lho mas yang lebih kejam dari itu. Sapi contohnya, mereka dipakai untuk menarik gerobak sayur, membajak sawah, dan tugas berat lainnya. Tapi kenapa hal itu tidak diprotes?”
Ditanyakan hal seperti itu, saya pun hanya diam saja. Rasanya saya tidak punya kapasitas menjawab hal itu. Namun paling tidak sang pawang bisa merasa lega karena unek-uneknya bisa keluar.
“Kami memang bukan orang berilmu. Kami bekerja hanya berdasarkan pengalaman kami. Kalau memang ada yang salah dari apa yang kami lakukan, silakan datang kemari dan ajari kami cara yang benar. Kami orangnya terbuka kok. Atau mungkin mau datang ke sini dan coba mengimplementasikan langsung metoda yang kalian punya selama 3-6 bulan, silakan saja.” Jelasnya dengan nada yang cukup tenang.
FYI, LSM dan netizen yang mengatakan pawang di sini kejam sudah diundang untuk datang ke Way Kambas dan berdialog, tapi mereka tidak juga datang.
Jaman sekarang itu menghakimi orang memang mudah. Bahkan terkadang emosi maju terlebih dahulu, baru logika mengikutinya di belakang. Akhirnya, sering kali orang menghujat terlebih dahulu, baru minta maaf kemudian. Sebelum menyatakan hal ini benar dan itu salah, atau hal ini kejam dan itu tidak, cobalah cari tahu informasinya secara lengkap terlebih dahulu. Jika ada dua pihak yang berselisih, cobalah dengar pendapat dari kedua pihak tersebut. Jangan menghakimi orang hanya dengan menggunakan standar kalian sendiri.
Dan yang saya mau tekankan adalah cobalah juga untuk memberikan solusi atas suatu masalah. Kalau memang yang dilakukan para mahout salah, lantas solusinya apa? Jangan hanya bisa menyalahkan saja.
Untungnya para mahout di sini adalah orang yang sudah ditempa oleh alam selama sekian tahun sehingga membuat pribadi mereka kuat. Celotehan-celotehan tersebut pun tidak diambil hati sepenuhnya, meskipun tidak dapat dipungkiri ada sedikit rasa sakit yang hinggap di hatinya. Usaha baik memang tidak selalu dilihat baik oleh orang lain dan tidak ada manusia yang bisa memuaskan semua orang.
*****
Usai berbincang selama 1 jam 30 menit, tak terasa waktu pun memasuki pukul 00:30 WIB. Satu per satu gajah jantan yang berada di depan kami mulai rebah dan siap untuk tidur. Kalian sudah pernah lihat proses gajah tidur belum?
Sama seperti gajah, badan ini pun perlu diistirahatkan. Saya pun lantas pamit kepada sang pawang dan berterima kasih karena sudah memberikan saya banyak pelajaran lewat pengalaman, guru terbaik yang ada di bumi ini.
Lewat tulisan ini, saya mencoba memberitahu kalian sisi sang mahout yang mungkin belum banyak kalian dengar. Seperti ini lho tugas para mahout dan ini lho yang mereka rasakan.
Akhir kata, terlepas dari benar atau salah cara yang diterapkan, terima kasih untuk para mahout yang sudah bekerja keras menjaga para gajah di PLG Way Kambas. Semoga Tuhan selalu menjaga kalian dan membalaskan setimpal dengan apa yang sudah kalian perbuat 🙂
“The elephant can survive only if forests survive.”
–Mark Shand