Travel Itinerary Jelajah Malang-Lumajang 6 Hari 5 Malam
Beruntung sekali karena akhirnya liburan kedua di tahun 2019 bersama beberapa orang sahabat bisa terwujud. Setelah liburan sebelumnya kami habiskan di Jawa Tengah, lebih tepatnya di Karimunjawa dan sebagian kecil Semarang, kali ini kami memutuskan untuk berlibur dengan menjelajah sebagian kecil Jawa Timur, lebih tepatnya Malang dan Lumajang.
Berikut ini sedikit itinerary yang berhasil kami jalankan. Barangkali ada dari kalian yang membaca blog ini ingin mencontek rincian perjalanan kami, silakan saja ya. Feel free to copy it!
Hari Pertama
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
18:00 | Perjalanan dari Stasiun gambir menuju Malang |
Perjalanan kali ini agak sedikit berbeda. Kami berempat (saya, Billy, Chris dan Monika) tidak berangkat bersama-sama. Monika dan Chris menghabiskan waktu terlebih dahulu di Malang dengan menjelajah Bromo, sedangkan saya memilih untuk tidak ikut ke Bromo dan berangkat 1 hari setelahnya dengan naik kereta. Di hari terakhir, Billy pergi ke Malang dengan menggunakan pesawat. Ya, Malang menjadi meeting point kami.
Hari pertama hanya saya habiskan di kereta. Berangkat sore hari pukul 18:00 WIB dari Gambir, saya pun baru tiba di Malang keesokan harinya sekitar pukul 09:15 WIB. Perjalanan seru menggunakan kereta ke Malang bisa kalian baca DI SINI.
Hari Kedua
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
09:15 | Tiba di Stasiun Malang |
09:15 - 09:30 | Perjalanan dari Stasiun Malang menuju Gereja Kayu Tangan (jalan kaki) |
09:30 - 11:00 | Menghabiskan waktu di Gereja Kayutangan |
11:00 - 11:15 | Perjalanan menuju Bakso Cak Toha (jalan kaki) |
11:15 - 12:00 | Makan pecel di warung samping Bakso Cak Toha |
12:00 - 13:00 | Makan Bakso di Cak Toha |
13:00 - 13:15 | Perjalanan ke Toko Oen (jalan kaki) |
13:15 - 14:00 | Makan Es Krim di Toko Oen |
14:00 - 14:35 | Perjalanan ke penginapan (The Batu Hotel & Villas) |
14:35 - 18:00 | Tidur siang (isi tenaga) |
18:00 - 19:00 | Mandi dan siap jalan malam |
19:00 - 22:00 | Kulineran di Alun-alun Kota Batu |
22:00 | Istirahat |
Setibanya di Malang, saya masih menunggu Chris dan Monik yang masih asyik di Bromo. Billy pun baru berangkat sekitar pukul 09:00 pagi. Sembari menunggu mereka, saya pun memutuskan untuk mampir ke Gereja GPIB Immanuel Malang karena itu merupakan salah satu gereja tertua yang ada di Malang. Entah mengapa saya itu suka sekali mampir ke tempat-tempat ibadah dan mengabadikan momen di sana. Tidak hanya gereja, tapi bangunan ibadah lain juga.
Alih-alih ke GPIB Immanuel, saya justru berhenti di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau yang lebih dikenal dengan nama Gereja Kayutangan. Saya mampir sebentar ke sana dan bahkan sempat dimarahi oleh koster gereja tersebut. Kisah lengakp mengenai saya dan Gereja Kayutangan bisa dibaca DI SINI.
Selesai berurusan dengan sang koster, saya pun melanjutkan perjalanan ke Bakso Cak Toha cabang Semeru 24 untuk bertemu Billy. Rupanya dia sudah tiba di Malang dan langsung kelaparan. Karena jarak Bakso Cak Toha dan Gereja Kayutangan tidak jauh, saya memutuskan untuk berjalan kaki.
Bakso Cak Toha ini salah satu bakso yang terkenal dan cukup lezat di Malang lho selain Bakso President. Lokasinya ada di Jalan Trunojoyo Nomor 80, Klojen, Oro-oro Dowo, Kec. Klojen, Kota Malang, Jawa Timur, tidak jauh dari Stasiun Malang. Meskipun tempatnya tidak terlalu besar, namun Bakso Cak Toha ini cukup favorit lho. Ketika saya datang, Bakso Cak Toha itu baru mau akan buka, tapi sudah ada antrian di depannya. Sambil menunggu Bakso Cak Toha buka, kami mampir ke warung pecel yang persis berada di sebelahnya.
Puas menikmati nikmatnya Bakso Cak Toha, saya dan Billy lantas memutuskan untuk ke Toko Oen untuk menyantap dessert. Toko Oen ini merupakan salah satu toko tertua yang ada di Malang. Berdiri sejak tahun 1930, toko ini menyajikan berbagai macam hidangan makanan seperti sup, sandwich, salat, dan beberapa makanan Indonesia lainnya seperti nasi goreng dan juga semur. Namun kami datang bukan untuk itu, tapi demi melahap es krimnya yang sudah melegenda.
Letak Toko Oen ini ternyata persis di seberang Gereja Kayutangan. Jadi secara tidak sadar, saya ini hanya bolak balik saja dari Gereja Kayutangan – Bakso Cak Toha – Gereja Kayutangan. Es Krim di Toko Oen ini cukup enak dan nilai tambahnya adalah es krim ini buatan sendiri. Sambil menunggu kabar dari Monik dan Chris yang sedang dalam perjalanan dari Bromo, kami pun makan es krim di dalam bangunan tua yang bernuansa Belanda ini. Sangat menyenangkan.
Es Krim sudah habis, namun kabar dari dua manusia itu tak kunjung datang. Setelah dihubungi, rupanya Chris dan Monik langsung ke penginapan yang berada di Batu. Ya, kami memang akan menginap di Batu. Penginapan yang kami pilih adalah The Batu Hotel & Villas yang letaknya tidak jauh dari Museum Angkut. Tidak ingin bertengkar secara virtual (lebih baik ribut di penginapan), saya dan Billy pun langsung memesan taksi online untuk mengantar kami ke Batu.
Sesampainya di The Batu Hotel & Villas, kami semua memutuskan untuk bobo siang. Aktivitas berbeda yang kami lakukan sebelum tiba di villa ini membuat kami sama-sama kelelahan. Guna memiliki tenaga penuh untuk kuliner di sekitar Alun-alun Batu pada malam harinya, kami pun berhibernasi selama beberapa saat.
Malam harinya, seperti apa yang sudah direncanakan, kami pun berjalan kaki menuju Alun-alun Batu. Jarak dari penginapan kami menuju Alun-alun Batu ini tidak begitu jauh, kurang lebih hanya 2 km saja. Setibanya di Batu, ratusan orang sudah memadati tempat tersebut. Bermacam jenis makanan, mulai dari yang ringan hingga yang berat, semua tersaji di Alun-alun Batu.
Kalau kalian mencari yang khas, tentu kalian harus mencoba ketan susunya yang sudah melegenda. Namun untuk menikmati ketan susu itu, kalian harus rela antri ya, sebab tempat ini tak pernah sepi. Kami sendiri tidak mencicipi ketan susu tersebut, karena kami sudah sangat lapar dan butuh makanan berat. Akhirnya kami memutuskan makan di warung makan yang lokasinya tidak jauh RSU Karsa Husada Batu. Biarpun tempatnya tidak terkenal, yang penting tidak ramai.
Puas mengunyah di warung makan itu, kami melanjutkan kuliner dekat Bianglala. Di area kuliner Batu ini kami mencoba banyak makanan dan minuman ringan seperti jamu, roti, sea food, dan beberapa makanan tradisional lainnya. Sebenarnya ada kuliner babi yang ingin kami tuju, namanya Warung BeDua. Letaknya persis di seberang Gereja Kristen Jawi Wetan. Namun karena kami datang sudah terlalu malam, tempat makan tersebut pun sudah tutup. Alhasil, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Hari Ketiga
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
08:00 - 08:35 | Perjalanan menuju Alun-Alun Kota Malang |
08:35 - 09:35 | Perjalanan menuju SUmber Jenon |
09:35 - 12:00 | Menghabiskan waktu di Sumber Jenon |
12:00 - 12:35 | Perjalanan menuj Warung Soto dan Rawon Kiroman |
12:35 - 14:00 | Santap siang di Rawon Kiroman |
14:00 - 14:10 | Perjalanan ke Stasiun Malang |
14:10 - 15:00 | Minum Jus dan Makan Baso di dekat Stasiun Malang |
15:00 - 15:20 | Perjalanan menuju Terminal Gadang |
15:20 - 16:00 | Menunggu Bus Tujuan Lumajang |
16:00 - 18:50 | Perjalanan Terminal Gadang - Lumajang (Tumpak Sewu) |
18:50 - 19:00 | Perjalanan Yanto Home Stay Anugerah Tumpak Sewu |
19:00 - 20:00 | Mandi dan rapi-rapi |
20:00 - 21:00 | Makan malam |
21:00 | Istirahat |
Hari ketiga ini adalah hari terakhir bagi Chris dan Monik untuk jalan-jalan di Malang. Sekitar jam 17:00 WIB, Chris dan Monik harus naik kereta ke Surabaya guna melanjutkan penerbangan kembali ke Jakarta. Oleh sebab itu, kami benar-benar memanfaatkan hari ini seefektif mungkin untuk jalan-jalan bersama, baik untuk menikmati tempat wisata atau kuliner.
Tepat jam 08:00 WIB, kami sudah checkout dari penginapan dan bertolak langsung ke Alun-Alun Kota Malang dengan menggunakan taksi online. Dari Alun-alun Kota Malang, lebih tepatnya di depan GPIB Immanuel, kami kembali naik taksi online menuju destinasi wisata kami yang pertama yaitu Sumber Jenon.
Kenapa tidak langsung naik taksi online dari Batu menuju Sumber Jenon? Sebab jaraknya cukup jauh dan tidak semua driver taksi online tahu mengenai lokasi wisata ini. Sesuai dugaan, driver pertama yang kami tumpangi mobilnya ini pun tidak tahu mengenai Sumber Jenon. Jadi kami memutuskan untuk mencari driver kedua di kota Malang untuk mengantar kami ke Sumber Jenon.
Apakah driver kedua di Malang ini tahu lokasi Sumber Jenon? Ternyata tidak juga. Namun justru itulah yang membuat perjalanan ini seru. Kami semua, yang tidak tahu dimana lokasi Sumber Jenon berada, berjalan bersama dengan hanya mengandalkan Google Maps. “Saya orang Malang asli tapi kok belum pernah mendengar nama Sumber Jenon ya.” Ucap sang supir.
Sumber Jenon ini merupakan sumber mata air yang berlokasi di Gunungronggo, Kecamatan Tajinan, Malang, Jawa Timur. Jaraknya kurang lebih 31 KM dari kota Malang. Untung saja ada Google Maps sehingga kami yang “buta” ini bisa tiba dengan selamat sampai di tujuan. Ya, meskipun dengan diselingi sedikit drama karena kami harus berjalan kaki agak jauh.
Perjalanan yang jauh itu pun langsung terbayar ketika melihat kolam wisata Sumber Jenon. Sumpah, airnya itu jernih dan biru banget. Warna birunya persis seperti apa yang kami lihat di google. Karena waktu itu hari minggu, pengunjung yang kebanyakan adalah warga sekitar pun sudah mulai ramai memadati tempat wisata ini. Segera kami pun mencari tempat duduk untuk meletakkan barang bawaan kami.
Nama Sumber Jenon sendiri diambil dari nama Pohon Jenu yang roboh dan mengeluarkan mata air. Mata air itulah yang kami nikmati ini. Namun karena modernisasi, masyarakat sekarang menyebutnya Sumber Jenon. Di dalam mata air sumber Jenon ini, berenang pula Ikan Sengkaring yang ukurannya besar. Jadi ketika berenang di dalam kolam ini, kalian akan ditemani oleh ikan yang dikeramatkan oleh warga sekitar
Selain indah, ternyata Mata Air Sumber Jenon ini memiliki cerita yang agak mistis. Dulu pernah ada “orang luar” yang datang ke sini dengan mengendarai motor trail. Karena sesuatu hal, seorang pengendara motor itu jatuh dan terperosok ke dalam kolam bersama motornya. Sang pengemudi motor berhasil menyelamatkan diri, namun motornya tenggelam di dalam kolam. Puluhan orang sudah dikerahkan untuk menarik motor tersebut, tapi motor itu tak bisa terangkat. Akhirnya motor itu dibiarkan dan lama kelamaan terus tenggelam hingga saat ini motor itu tak kelihatan lagi wujudnya.
Selesai bermain di Sumber Jenon, kami diantar oleh warga di sana menggunakan mobil menuju kembali ke kota Malang. Letaknya yang berada di desa membuat tidak ada taksi online yang masuk ke daerah ini. Untunglah warga di sana itu baik banget. Tujuan kami di kota Malang adalah untuk makan siang di Rawon Kiroman.
Sebenarnya ada lagi rawon yang lebih terkenal, namanya Rawon Nguling. Namun entah kenapa, hati ini ingin mencoba Rawon Kiroman ini yang berlokasi di Jl. Yulius Usman No. 52, Malang. Untuk sebuah tempat makan, tempatnya tidak terlalu besar. Tempatnya sangat sederhana dan kental sekali nuansa Jawanya. Kami pun memesan nasi rawon untuk disantap siang itu.
Daging rawon Kiroman ini empuk banget. Rasa kuahnya pun begitu terasa. Disantap dengan Tauge dan juga otak sapi sebagai tambahannya, hilang sudah rasa lapar yang mendera selama perjalanan Sumber Jenon – Malang kota. Saya menutup santap siang di situ dengan Es Beras Kencur, salah satu jenis jamu yang sudah akrab dengan lidah ini sejak saya SD.
Makan siang ini menjadi akhir kebersamaan saya dan Billy dengan Chris dan Monik. Saya dan Billy pun mengantar Chris dan Monik ke Stasiun Malang. Karena waktu keberangkatan kereta Chris dan Monik masih cukup lama, kami memutuskan ngobrol sebentar di sekitar area warung makan yang ada di depan stasiun sambil memesan minuman. Namun ternyata Monik belum kenyang, ia memesan satu porsi bakso lagi di area warung makan itu.
Saya dan Billy sendiri sebenarnya ingin ke Lumajang hari itu untuk melihat indahnya Air Terjun Tumpak Sewu. Hanya saja waktu itu kami belum memutuskan mau naik apa dan pergi jam berapa. Saat sedang ngobrol dengan Chris dan Monik itulah, saya iseng menghubungi orang di Tumpak Sewu mengenai angkutan umum menuju Tumpak Sewu. Rupanya ada angkutan yang langsung menuju Tumpak Sewu, bentuknya bus dan pemberangkatan paling akhir adalah pukul 15:30 WIB setiap harinya.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, kami pun langsung pamit ke Chris dan Monik dengan sambil terburu-buru menuju taksi online yang sudah dipesan Billy. Dari Stasiun Malang, kami bertolak ke Terminal Gadang untuk naik bus menuju Lumajang. Untungnya jarak Terminal Gadang ini tidak terlalu jauh dari stasiun, sehingga kami masih bisa mengejar bus dengan pemberangkatan terakhir.
Bus menuju Lumajang ini bisa dibilang jauh dari kata nyaman. Tidak ada AC dan penumpang bisa merokok di dalamnya. Namun karena kami ingin merasakan sensasi naik angkutan umum, selain harganya yang sangat bersahabat di kantong, kami memutuskan untuk memilih moda transportasi yang satu ini.
Perjalanan Malang – Lumajang memakan waktu kurang lebih 3 jam. Selama berada di dalam bus, kami berdua memilih untuk tidur. Kami sudah berpesan kepada sang kondektur untuk menurunkan kami di Gapura Tumpak Sewu yang berada di Lumajang. Sebab ada 2 gerbang masuk ke Tumpak Sewu, yaitu gerbang di Kabupaten Malang dan Gerbang Lumajang. Setibanya di Gerbang Lumajang, kami pun dibangunkan oleh sang kondektur dan langsung berjalan kaki menuju Homestay Anugerah milik Pak Yanto, warga Desa Sidomulyo.
Ya, kami memilih untuk bermalam agar bisa menikmati keindahan Air Terjun Tumpak Sewu keesokan harinya dengan keadaan yang lebih fresh. Lagi pula hari itu kami sudah melakukan banyak kegiatan dan perjalanan yang cukup jauh, jadi memang sudah seharusnya kami beristirahat terlebih dahulu.
Hari Keempat
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
04:00 | Bangun Pagi |
04:00 - 04:15 | Perjalanan ke Gardu Pandang Tumpak Sewu |
04:15 - 06:00 | Mengabadikan keindahan Tumpak Sewu Pagi hari |
06:00 - 06:15 | Kembali ke penginapan |
06:15 - 07:00 | Sarapan dan menyiapkan peralatan untuk menjelajah Tumpak Sewu |
07:00 - 11:00 | Menjelajah Tumpak Sewu |
11:00 - 12:00 | Perjalanan kembali ke penginapan |
12:00 - 16:00 | Makan siang, Mandi dan istirahat |
16:00 - 18:00 | Menghabiskan sore di Desa Sidomulyo |
18:00 - 20:00 | Makan malam |
20:00 - 22:0 | Ngobrol bareng dengan orang-orang di Desa Sidomulyo |
22:00 | Istirahat |
Pagi-pagi benar, sekitar pukul 05:00 WIB, saya dan Billy sudah bangun dan langsung menuju ke area Gardu Pandang di Tumpak Sewu atau yang biasa dikenal juga dengan istilah Panorama. Malam sebelumnya, Pak Yanto sudah berpesan kalau salah satu waktu terbaik untuk melihat Tumpak Sewu adalah pagi-pagi benar, saat kabut masih menyelimuti air terjun ini.
Gardu Pandang ini merupakan sebuah area untuk menikmati pemandangan Air Terjun Tumpak Sewu dari atas. Di sinilah saya dan Billy mengabadikan momen pagi itu. Saat datang, rupanya sudah ada 3 orang bule yang sudah terlebih dulu ada di sana. Bersama 2 orang bule tersebut, saya menerbangkan drone di atas Tumpak Sewu.
Sumpah, pemandangan Tumpak Sewu dilihat dari drone ini extraordinary banget. Air Terjun Tumpak Sewu tampil cantik dengan latar gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Serunya lagi, kami bertiga harus saling terus berkoordinasi mengenai posisi drone kami masing-masing. Jangan sampai ada salah satu drone milik kami menabrak drone yang lainnya.
Puas mengambil gambar dengan drone dan menghirup udara pagi di Tumpak Sewu yang disertai dengan bulir-bulir airnya yang terbang dan menyentuh wajah ini, kami berdua kembali ke penginapan dengan berjalan kaki untuk sarapan. Sambil menunggu pesanan makanan yang kami pesan datang, saya dan Billy mempersiapkan peralatan untuk menjelajah Tumpak Sewu setelah sarapan. Kalau tadi kami sudah melihat Tumpak Sewu dari atas, setelah sarapan nanti kami akan menikmati Air Terjun Tumpak Sewu dari bawah.
Barang-barang telah siap, kami pun lantas mengisi perut kami pagi itu dengan masakan dari istri Pak Yanto, pemilik Homestay Anugerah, yang enak banget. Menunya sehat banget, ada ayam bakar (dada), pecel dan juga telur rebus. Saya dan Billy menyantap masakan tersebut hingga tidak ada sisa sama sekali. Dari kejauhan, rupanya guide yang mendampingi kami sudah menunggu sejak tadi. Melihat kami sudah selesai makan, ia pun menghampiri kami dan bertanya, “Sudah siap menjelajah Tumpak Sewu?” Sontak kami pun menjawab, “Siapppppp.”
Perjalanan dimulai dengan melewati gerbang loket dan juga Gardu Pandang. Namun karena tadi pagi kami sudah mampir, kami hanya melewati tempat itu. Sebelum menuruni tangga buatan, kami melewati kebun salak yang memang menjadi komoditi dari Desa Sidomulyo ini.
Jujur, jalur menurun menuju bagian bawah Air Terjun Tumpak Sewu ini adalah salah satu jalur terberat yang pernah saya lewati. Mungkin bisa dikatakan jalur turunnya mirip seperti ketika turun ke Pantai Suwehan atau Pantai Kelingking di Nusa Penida. Tangganya masih terbuat dari tanah dan pegangannya pun mix antara bambu dan juga dari besi. Kesulitan akan semakin bertambah ketika ada jalur air yang melewati tangga turun tersebut.
Saran saya buat kalian yang mau turun ke bagian bawah Air Terjun Tumpak Sewu, lebih baik kalian latian fisik, khususnya kaki, seminggu sebelum berangkat. Karena bukan turunnya saja yang merana, naiknya pun juga akan menderita. Selain Air Terjun Tumpak Sewu yang memang indah, di bagian bawah ini kalian bisa melihat Tebing Nirwana, Telaga Biru, dan Goa Tetes. Keindahan tempat-tempat tersebut bisa kalian baca DI SINI.
Saya dan Billy menghabiskan waktu selama 4 jam menjelajah kawasan Tumpak Sewu. Itu saja dengan waktu berfoto yang cukup minim. Buat kalian yang suka berfoto, mungkin bisa lebih dari 5 jam dan waktu naiknya sendiri bisa menghabiskan 1 jam sendiri.
Sesampainya di penginapan, kami langsung makan karena memang tenaga yang terkuras sudah banyak sekali. Selepas makan siang, tidak ada yang lebih nikmat daripada yang namanya langsung tidur siang. Saya tahu tidak baik habis makan langsung tidur, tapi entah mengapa kekuatan kasur yang memanggil kami terasa sangat besar. Kami pun tertidur selama hampir 4 jam.
Rencana awalnya, setelah bangun sore hari, kami ingin ke Desa Oro-oro Ombo. Di desa ini kami bisa melihat Gunung Semeru dengan jelas sebagai latar dari persawahan yang ada di desa tersebut. Namun apadaya, kami terlalu mager. Alhasil kami pun hanya menghabiskan sore sampai malam di Desa Sidomulyo dengan ngobrol bareng bersama warga sekitar. Selalu menyenangkan bisa mendengarkan cerita dari orang lokal dimana kami berkunjung. Banyak hal yang bisa dipelajari
Karena keesokan paginya kami harus menjelajah beberapa air terjun lagi dan perjalanan itu sudah dimulai sejak pagi, kami pun memutuskan untuk tidur lebih awal. Kami percaya kalau istirahat lebih awal membuat kami bisa bangun lebih cepat dan kondisi badan lebih prima.
Hari Kelima
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
06:00 | Bangun Pagi |
06:00 - 07:30 | Sarapan, Mandi, dan siap-siap untuk bertualang |
07:30 - 07:40 | Perjalanan menuju Air Terjun Kapas Biru |
07:40 - 08:20 | Perjalanan dar lokasi parkir menuju Air Terjun Kapas Biru |
08:20 - 09:05 | Menghabiskan waktu di Air Terjun Kapas Biru |
09:05 - 09:40 | Perjalanan kembali ke parkiran |
09:40 - 10:00 | Ambil nafas sebentar |
10:00 - 10:10 | Perjalanan ke Air Terjun Kabut Pelangi |
10:10 - 10:50 | Perjalanan dari lokasi parkir menuju Air Terjun Kabut Pelangi |
10:50 - 12:00 | Menghabiskan waktu di Air Terjun Kabut Pelangi |
12:00 - 12:40 | Perjalanan kembali ke lokasi parkir |
12:40 - 12:50 | Perjalanan kembali ke penginapan |
12:50 - 13:10 | Makan Siang |
13:10 - 14:30 | Mandi, packing, istirahat |
14:30 - 16:30 | Perjalanan kembali ke Malang (Terminal Gadang) |
16:30 - 17:00 | Perjalanan ke Malang City Boulevard Homestay |
17:00 - 19:00 | Tiba di homestay. Istirahat, mandi dan rapi-rapi |
19:00 - 19:10 | Jalan kaki ke Malang City Point |
19:10 - 19:30 | Jajan Chatime di Malang City Point |
19:30 - 19:45 | Perjalanan ke Hok Lay |
19:45 - 21:00 | Makan malam di Hok Lay |
21:00 - 21:10 | Perjalanan ke Ronde Titoni |
21:10 - 21:30 | Makan Ronde |
21:30 - 21:40 | Perjalanan kembali ke penginapan |
21:40 | Istirahat |
Hari ini kami harus pulang sebelum pukul 15:00 WIB, sebab itulah waktu pemberangkatan bus terakhir dari Lumajang menuju Malang. Oleh sebab itu kami membatasi area bermain hari ini hanya di Air Terjun Kapas Biru dan Air Terjun Kabut Pelangi. Berdasarkan pengalaman hari kemarin, sepertinya perjalanan ke 2 air terjun tersebut akan cukup melelahkan dan bisa memakan waktu hingga 6 jam.
Sesudah bangun, sarapan dan mempersiapkan semua peralatan, mulai dari dry bag, kamera, baju ganti, sepatu dan juga air mineral, saya dan Billy langsung diantar oleh guide kami dengan menggunakan sepeda motor menuju Air Terjun Kapas Biru. Ya, selama 2 hari ini memang kami lebih memilih untuk menggunakan guide. Bukan karena kami tidak tahu jalan (kan ada google), tapi lebih seru saja bisa berjalan bareng akamsi dan mendengarkan cerita mereka. Karena tidak ada yang lebih tahu tentang suatu daerah selain warganya sendiri.
Perjalanan dari penginapan menuju tempat parkir Air Terjun Kapas Biru hanya memakan waktu 5 menit, cepat saja. Karena datang terlalu pagi, penjaga parkir dan loketnya pun belum datang. Alhasil kami langsung berjalan masuk ke lokasi air terjun.
Sama halnya seperti ke Air Terjun Tumpak Sewu, untuk menuju Air Terjun Kapas Biru pun jalurnya harus menurun. Bila dibandingkan, mungkin jalur turun ke Air Terjun Kapas Biru ini sedikit lebih susah, hanya saja durasinya lebih cepat dari pada jalur ke Air Terjun Tumpak Sewu. Bahkan ada satu bagian dimana kami harus menuruni tangga buatan dari besi yang posisinya nyaris vertikal.
Sesampainya di area persawahan yang ada di pinggir tebing, kami mendengar deru air yang semakin lama semakin keras. Rupanya letak Air Terjun kapas Biru ini agak tersembunyi di balik tebing yang berada di belakang sawah warga ini. Hati ini pun girangnya bukan main kala kaki ini sampai dan melihat air terjun ini secara langsung dengan mata kepala sendiri.
Menurut penjelasan guide yang mengantar saya, nama Kapas Biru berasal dari efek yang ditimbulkan oleh air terjun ini. Debit air yang cukup deras, halus dan berwarna putih yang jatuh dan menghujam tanah membuat tebing-tebing di sampingnya memunculkan warna kebiruan. Itulah alasan penamaan Kapas Biru.
Tidak seperti Tumpak Sewu yang airnya berasal dari banyak titik, Air Terjun Kapas Biru ini berasal dari satu sumber saja dan langsung jatuh dari ketinggian 100 meter. Debit airnya pun sangat deras, bahkan di musim kemarau sekalipun. Selain sebagai wisata, air dari Kapas Biru ini juga digunakan warga sekitar sebagai sumber penghidupan, seperti untuk mengairi sawah misalnya.
Sebelum kembali ke lokasi parkir, kami beristirahat sebentar di tempat semacam pendopo yang memang disediakan di sana. Memandangi keindahan air terjun sembari mendengar deburan airnya cukup bisa membuat hati ini tenang. Perjalanan pulang pergi ke Kapas Biru ini memakan waktu kurang lebih 2 jam.
Setibanya di lokasi parkir, kami langsung bertolak ke Air Terjun Kabut Pelangi. Menggunakan sepeda motor, kami hanya menghabiskan waktu 10 menit saja untuk menuju lokasi parkirnya. Hari yang semakin siang membuat matahari semakin terik saat itu.
Tak disangka, ternyata perjalanan menuju Air Terjun Kabut Pelangi ini mirip juga dengan 2 air terjun sebelumnya. Jalannya panjang dan menurun. Tenaga dan kekuatan kaki benar-benar bermain di sini. Untuk tingkat kesulitan, Air Terjun Kabut Pelangi ini merupakan yang paling mudah diantara ketiganya. 50% jalannya pun sudah diuat dengan cukup rapi.
Perjalanan dimulai dari memuruni jalan konblok dan memasuki daerah perumahan warga. Selang beberapa menit kemudian, tangga dari semen dan juga tanah sudah menunggu untuk ditapaki hingga akhirnya bertemu dengan jalur sungai yang arusnya berlawanan dengan arah kami berjalan. Air sungai inilah berasal dari Air Terjun Kabut Pelangi.
Di pertengahan jalan, kami berjumpa dengan air terjun yang sangat tinggi namun airnya tidak terlalu deras. Awalnya saya pikir itu adalah Air Terjun Kabut Pelangi, tapi ternyata itu hanyalah air terjun pembuka. Air Terjun Kabut Pelangi masih bersembunyi di balik tebing yang ada di belakangnya. Kami pun terus berjalan dengan menyusuri aliran sungai tersebut.
- Baca Juga: Panduan dan Tips Mengunjungi Tumpak Sewu
Sesampainya di jalur yang mulai berbatu, ada momen dimana kami harus menaiki tangga bambu karena memang sudah tidak ada jalan lain yang bisa dilalui untuk menuju ke Kabut Pelangi. Untungnya tangga bambu itu tidak terlalu tinggi. Dari tangga tersebut, Air Terjun Kabut Pelangi sudah terlihat dan kami pun terus berjalan untuk mendekat.
Mirip seperti Air Terjun Kapas Biru, Air Terjun Kabut Pelangi ini pun hanya bersumber dari satu aliran. Dari ketinggian sekitar 100 meter, air itu jatuh, menyebar dan menghujam bebatuan yang ada di bawahnya. Spot terbaik untuk berfoto adalah di antara 2 bebatuan besar di depan terjun.
Usai berfoto di antara 2 batu tersebut, saya pun penasaran kenapa air terjun ini diberi nama Kabut Pelangi sedangkan dari tadi saya tidak melihat adanya kabut ataupun pelangi. Lantas saya diminta oleh guide saya untuk naik ke salah satu batu besar tersebut (saya memilih yang di sisi kanan) dan diam di atas batu tersebut. “arahkan mata ke arah kolam yang terbentuk dari aliran air. Tunggu beberapa saat dan kamu akan melihat adanya pelangi.” Ujar guide saya.
Tak lama setelah melakukan ucapannya, ternyata benar dong ada pelangi. Rupanya pelangi baru akan muncul di depan 2 bebatuan besar itu ketika ada kabut tipis (hasil dari percikan air) yang melewatinya. Jadi ada jeda dmana pelangi itu muncul dan pelangi itu hilang. Senang sekali rasanya bisa bermain air sambil memandangi pelangi yang melengkung dengan cantiknya.
Merasa cukup puas bermain di Air Terjun Kabut Pelangi, kami pun kembali ke lokasi parkir. Namun sebelum itu, kami mandi sebentar di aliran sungai yang terletak persis di depan “air terjun pembuka” tadi. Sungainya cukup lebar dan tidak terlalu dalam. Berendam di air yang bergerak dengan diapit oleh 2 tebing tinggi itu adalah pengalaman yang langka banget. Saat badan sudah mulai segar kembali, kami pun kembali ke lokasi parkir. Dari tempat parkir, kami pun diantar kembali ke penginapan dan secara resmi berakhirlah petualangan kami di Lumajang hari itu.
Masih ada waktu kurang dari 3 jam, saya dan Billy pun secara bergantian mandi, makan siang dan merapikan barang. Pokoknya apa yang bisa kami lakukan terlebih dahulu ya kami lakukan, baru kemudian kami beristirahat sebentar. Setelah semuanya rapi, semua tagihan sudah dibayar, kami berdua pamit kepada Pak Yanto dan istri yang sudah baik banget kepada kami selama 3 hari kami di Lumajang. Dengan berjalan kaki, kami pergi ke pinggir jalan raya utama untuk menunggu bus jurusan Malang. Bus yang sama dengan yang kami gunakan beberapa hari lalu untuk menujuke sini.
Karena tak sempat beristirahat secara “benar“, saya dan Billy langsung terlelap saat memasuki bus dan duduk. Kami baru terbangun saat bus berhenti di depan Terminal Gadang. Dari Terminal Gadang, kami harus berjalan kaki agak jauh untuk memesan taksi online. Area Terminal Gadang ini adalah area terlarang bagi para pengemudi online untuk mengambil penumpang. Entah sampai kapan pelarangan pengambilan penumpang oleh pengemudi online itu akan bertahan.
Oleh taksi online yang kami pesan, kami diantar ke Malang City Boulevard Homestay, penginapan yang baru kami pilih sesaat sebelum kembali dari Lumajang. Letak penginapan ini hanya 5 menit berjalan kaki dari Malang City Point. Karena masih kelelahan, kami memutuskan baru akan menjelajah Malang saat malam menjelang.
Sesuai janji, tepat pukul 19:00 WIB, kami pun mulai berkeliaran. Sebagai anak kota yang sudah beberapa hari tidak merasakan sejuknya AC di dalam mall, kami berdua memtusukan untuk pergi ke Malang City Point. Kalian tahu tujuannya untuk apa? Hanya untuk beli Chatime. Ya, kami memang sereceh itu. Puas menyeruput bobba yang terendam oleh Hazelnut Chocolate Milk Tea, barulah petualangan kuliner yang sebenarnya di Malang dimulai.
Tujuan kami berikutnya adalah Hok Lay, sebuah chinesse restaurant yang sudah berdiri sejak tahun 1946. Konon katanya, restoran yang satu ini tidak pernah sepi. Kami pun berangkat ke sana dengan menggunakan ojol. Setibanya di sana, kami harus menunggu sebentar di bagian luar sebab semua meja sudah terisi. Ternyata “tidak pernah sepi” ini bukan hanya isapan jempol semata.
Ketika sudah mendapatkan giliran, kami pun langsung masuk dan memesan makanan. Signature dish di restoran ini ada Pangsit Cwie Mie dan juga Lomie. Saya dan Billy pun langsung memesan kedua menu tersebut, dengan ditambah Lumpia (yang ukurannya ternyata besar). Sementar untuk minumnya, saya hanya memesan es teh tawar sebab saya sudah agak kenyang minum Chatime. Sedangkan Billy memesan Es Campur. Sebenarnya ada Fosco di Hok Lay ini yang menjadi minuman khas restoran ini, tapi sayang kami tidak sempat memesannya.
Untuk rasa, mie yang sajikan ini enak banget. Buat saya, belum pernah ada restoran China yang mengecewakan dalam soal menyajikan mie. Untuk Lumpianya sendiri menurut saya masih lebih enak Lumpia Semarang. Namun karena ukurannya yang besar, rasa bisa sedikit dikesampingkan. Buat teman-teman muslim, kalian tidak perlu khawatir makan di sini sebab semua makanan yang disajikan di sini terjamin halal.
Kami memang sengaja tidak makan terlalu banyak sebab kami masih ingin menyisakan partisi di dalam perut ini untuk Ronde Titoni yang sudah menjadi incaran Billy sejak sebelum menuju Hok Lay. Tak ingin terlalu malam, dari Hok Lay kami langsung menuju ke Ronde Titoni yang berada di Jl. Zainul Arifin No.17, Sukoharjo, Kec. Klojen, Kota Malang. Malam-malam enaknya memang mencari kehangatan dan malam itu kehangatan kami dapat dari si ronde.
Saya lebih suka wedang jahe sebenarnya. Namun demi menemani Billy, saya pun mencoba Ronde ini. Karena tidak terlalu suka dengan topping tepung ketannya, saya pun hanya menyeruput kuahnya yang hangat. Ronde Titoni ini tempatnya cenderung sederhana, namun tetap nyaman untuk ngobrol.
Kami benar-benar menikmati malam terakhir kami di Malang saat itu. Tak ingin rasanya malam itu cepat berlalu. Namun apa daya, kami tak mampu menghentikan perputaran bumi ini. Sebelum terlalu malam, kami pun memutuskan kembali ke penginapan untuk beristirahat.
Hari Keenam
Waktu (WIB) | Deskripsi |
---|---|
06:00 | Bangun Pagi |
06:00 - 07:00 | Menyadarkan diri dan mandi |
07:00 - 07:10 | Jalan kaki ke Pecel Kawi |
07:10 - 07:45 | Sarapan di Pecel Kawi |
07:45 - 08:00 | Jalan kaki ke Pia cap Mangkok di Jalan Semeru |
08:00 - 08:30 | Belanja oleh-oleh di Pia cap Mangkok |
08:30 - 08:45 | Jalan kaki kembali ke penginapan |
08:45 - 09:30 | Packing dan check out |
09:30 - 09:45 | Perjalanan ke Koono Gelato |
09:45 - 11:00 | Makan Gelato |
11:00 - 11:40 | Perjalanan ke Bandara Abdul Rachman Saleh |
14:30 | Terbang kembali ke Jakarta |
Tak terasa kami sudah memasuki liburan hari keenam dan sekaligus menjadi hari terakhir kami di Malang. Pagi itu, Billy yang sudah bangun lebih dahulu, langsung membangunkan saya dan mengajak sarapan. Berasal dari Madiun, Billy pun mengajak saya untuk sarapan pecel. Apalagi pecel yang terkenal di Malang selain Pecel Kawi.
Menurut Billy, pecel asli itu berasal dari Madiun. Namun dalam perkembangannya, beberapa daerah lain juga “menciptakan” jenis pecel dengan ciri khasnya sendiri-sendiri. Kami pun lantas berjalan kaki menuju Pecel Kawi yang sudah berdiri sejak tahun 1975 ini. Dinamakan Pecel Kawi karena rumah makan tradisional ini terletak di Jalan Kawi.
Rumah makan Tradisional Pecel Kawi ini sudah bisa dibilang semi modern dari segi bangunan, namun tetap mempertahankan cita rasanya dari segi makanannya. Untuk makan, kalian bisa memilih mau di lantai 1 atau lantai 2. Cara memesannya pun mudah. Kalian hanya perlu menunjuk menu apa yang ingin kalian makan beserta topping dan minumannya, bayar, dan nantinya makanan akan diantar ke meja kalian. Menunya terpampang jelas di dinding yang berada di belakang kasir.
Perut kenyang, hati senang, dan tak terlalu menghabiskan banyak uang, perjalanan pun dilanjutkan ke Pia Cap Mangkok yang terleltak di jalan Semeru, persis di seberang dari Bakso Cak Toha. Sebagai orang Indonesia yang kerap dipesankan “jangan lupa oleh-oleh” oleh teman-teman kantor yang kadang kurang piknik, kami berdua pun membeli beberapa kotak Pia Cap Mangkok guna menyumpal mulut mereka. Terdapat 6 varian rasa untuk Pia Cap Mangkok ini. Ada hijau, coklat, keju, tangkwee, kopi, & greentea. Dan sama seperti beberapa tempat yang sudah saya datangi, tempat ini pun cukup legendaris karena sudah berdiri sejak 1959.
Usai membeli oleh-oleh, kami pun kembali ke penginapan untuk packing karena harus kembali ke Jakarta untuk mencari uang (lagi). Perjalanan pagi itu, karena letak tempat yang kami tuju tidak saling berjauhan, kami pun melakukannya dengan berjalan kaki.
Sebelum benar-benar kembali ke bandara, setelah melakukan check out, saya dan Billy memutuskan untuk mampir ke Koono Gelato. Sebenarnya Koono Gelato ini sudah kami lewati saat perjalanan pulang dari Pia Cap Mangkok ke penginapan. Namun karena belum buka, akhirnya kami baru mampir setelah checkout.
Tempatnya kekinian banget. Selain rasa gelatonya yang enak, tempatnya pun nyaman sekali untuk nge-gibah dan juga foto-foto. Terdapat 2 area untuk menikmati gelato ini, yaitu area dalam dan luar. Karena gelatonya cukup enak, saya sampai memesan dua kali lho 🙂
Mengingat Malang cukup padat di siang hari, dari Koono Gelato ini kami langsung menuju bandara dengan menggunakan ojek online. Akhirnya, kami tiba juga di penghujung perjalanan. Terima kasih Malang dan Lumajang untuk keramahannya selama 6 hari 5 malam ini 🙂
Kontak
- Yanto Home Stay Anugerah Tumpak Sewu → +62 853-3123-8963
Tambahan
- Liburan di Malang selama 3 hari di awal dilakukan oleh 4 orang. 3 hari selanjutnya, selama di Lumajang dan Malang, hanya dilakukan oleh 2 orang.
- Sumber Jenon buka setiap hari, mulai dai jam 08:00 – 18:00 WIB. Apabila ingin main ke Sumber Jenon di luar jam tersebut, silakan menghubungi petugas desa setempat.
- Pecel Kawi sudah buka dari jam 06:00 WIB, jadi pas banget memang untuk sarapan di sini.
- Bakso Cak Toha baru buka jam 12:30 WIB setiap harinya dan akan tutup jam 21:00 WIB.
- Toko Oen tidak memiliki pendingin udara. Jadi makanlah es krimmu secepat mungkin sebelum mencair.
- Sumber Jenon memiliki kedalaman mulai dari 1 meter hingga 6 meter.
No Place is as ever as bad as they tell you it’s going to be
–Chuck Thompson