Menikmati dan Mensyukuri Pagi di Tumpak Sewu
“Kalian tidur saja sekarang. Istirahatkan badan kalian. Besok jam 04:00 WIB kalian bangun dan pergilah ke Panorama Tumpak Sewu. Itu adalah salah satu tempat terbaik untuk menikmati Tumpak Sewu. Tak banyak yang tahu kalau salah satu waktu terbaik untuk menikmati Tumpak Sewu adalah di pagi hari, saat sang mentari belum terlalu menyengat dan belum ada pengunjung yang datang.” Ucap Pak Yanto, pemilik Homestay Anugerah yang berada di Desa Sidomulyo, Besukcukit, Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dekat dengan Tumpak Sewu.
“Jam 4 pagi? Apa Tidak kepagian?” Tanyaku dalam hati. Rasanya Pak Yanto ini tidak akan berbohong kepada saya dan Billy. Lagi pula, apa untungnya dia berbohong kepada kami soal jam kunjungan ke Tumpak Sewu. Tak lama setelah itu, saya dan Billy yang baru datang jam 19:00 di Desa Sidomulyo, Lumajang, langsung diantar oleh Pak Yanto ke kamar kami. Perbincangan singkat malam itu pun berakhir di situ.
Menuju Panorama Tumpak Sewu
Tepat jam 03:50 WIB, alarm yang sudah saya set sebelum tidur pun berbunyi. Dengan sedikit rasa malas untuk bergerak, perlahan-lahan saya bangkit dari tempat tidur yang mendekap erat diri ini dan mematikan alarm tersebut. Rasanya masih ingin bercumbu dengan kasur yang menemani saya semalaman, tapi disaat yang bersamaan saya tidak ingin kehilangan momen untuk menikmati Air Terjun Tumpak Sewu di pagi hari.
Akhirnya setelah pergulatan batin yang agak alot, mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih beterbangan dan dilanjutkan dengan mencuci muka, saya dan Billy pun lantas berjalan menuju Panorama Tumpak Sewu dan memecah kesunyian pagi itu, tentunya dengan sudah membawa alat perang berupa alat dokumentasi. Panorama merupakan sebuah tempat untuk menikmati keindahan Tumpak Sewu dari atas, dimana kita bisa melihat airnya , yang berasal dari banyak jalur, jatuh dari titik tertingginya dan menghujam bebatuan yang ada di bawahnya.
Pagi itu Desa Sidomulyo masih sepi. Ayam-ayam yang harusnya berdinas pagi untuk berkokok pun belum terdengar memanaskan pita suaranya. Satu-satunya suara yang bisa kami dengar hanyalah langkah kami. Dengan pede-nya saya berjalan menuju Panorama dengan tanpa menggunakan jaket. Semuanya masih aman sampai tiba-tiba angin berhembus dan membelai tubuh ini. Dinginnya begitu menusuk tulang.
“Salah nih nggak pake jaket pagi-pagi begini.” Ucapku pada Billy yang hanya ditanggapi dengan sebuah tawa yang mengejek.
Setelah berjalan selama kurang lebih 7 menit dari penginapan, dengan menyusuri jalan yang sudah disemen, melewati gerbang loket yang belum ada penjaganya dan perkebunan salak warga yang memang menjadi salah satu komoditas utama warga Desa Sidomulyo, akhirnya kami tiba di Panorama Tumpak Sewu. Jam menunjukkan pukul 04:10 WIB. Semakin ke timur, sang surya terbit lebih cepat. Pada jam tersebut langit sudah cukup terang di Tumpak Sewu.
Betapa terkejutnya saya ketika sampai di Panorama Tumpak Sewu ini. Bukan karena keindahan air terjunnya, tapi karena saya menjumpai ada 3 bule yang sudah tiba terlebih dahulu dari kami. “Gila, berangkat jam berapa mereka ini?” Tanyaku dalam hati. Dan yang paling menjengkelkan lagi adalaha salah satu dari mereka berdiri gagah di ujung panorama dengan tanpa menggunakan baju alias telanjang dada. “ngledek nih bule”
Menyapa Pagi, Membasuh Diri
Melihat kami datang, ketiga bule itu tersenyum dan mengucapkan selamat pagi, lalu mereka kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Kami pun membalas ucapan mereka dan segera menuju posisi yang kami inginkan untuk menikmati Tumpak Sewu. Kami sudah tak sabar untuk bisa mengabadikan momen di sini.
Alih-alih ingin mengeluarkan kamera, kami langsung dikejutkan dengan pemandangannya yang luar biasa. Sumpah, tak ada kata yang bisa menggambarkan keindahan Tumpak Sewu pagi itu. Kabut tipis yang masih terlihat menyelimuti Tumpak Sewu menambah semarak pesona air terjun yang dikelilingi oleh pepohonan hijau ini.
Buih-buih air yang terjun dan terbang tertiup angin dan membasuh wajah kami menambah kesegaran di pagi itu. Kami pun mengambil momen selama kira-kira 10 menit untuk hanya diam mematung dan hanya memandangi air terjun ini, sambil dalam hati terus bersyukur kepada Sang Mahakuasa.
Tak ingin momen indah pagi ini hanya diabadikan oleh mata dan tersimpan dalam memori yang berada di dalam otak, kami berdua pun langsung mengeluarkan senjata kami masing-masing. Billy dengan mirrorless-nya dan saya dengan drone kesayangan saya. Setelah persiapan selama kurang lebih 10 menit, akhirnya drone ini terbang dan siap menangkap keindahan Tumpa Sewu dari berbagai sudut.
Yang membuat penerbangan kali ini lebih spesial adalah ketiga bule tadi. 2 orang di antara mereka ternyata membawa drone dan sudah menerbangkannya. Jadi pagi itu ada total 3 drone yang terbang bersamaan. Agar terhindar dari tabrakan, kami pun saling berkoordinasi dengan terus berteriak memberitahukan posisi kami.
Saya terlebih dahulu terbang menjauh dari Tumpak Sewu, dengan membiarkan drone mereka mengambil jarak yang lebih dekat dengan air terjun. Dengan ketinggian 60 meter dari tempat saya berdiri dan bergerak mundur sejauh 100 meter, drone saya menangkap momen yang tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya.
Di belakang Tumpak Sewu, gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru, berdiri dengan gagahnya. Awan-awan tak mampu menutupi keindahan tubuhnya yang besar pagi itu dan hanya mampu menyembunyikan bagian kakinya. Mulut ini ternganga kala melihat pemandangan dari drone yang divisualisasikan dengan sangat baik ke layar smartphone yang saya pegang. “Pak Yanto rupanya memang tidak bohong.” Gumam saya.
Saya memang sudah tahu kalau salah satu sumber air yang mengalir di Tumpak Sewu ini berhulu di kaki Gunung Semeru. Hanya saja saya tidak menyangka kalau keberadaan Gunung Semeru di belakang air terjun ini memiliki pesona dan daya magis yang sekuat ini. Pemandangan sehebat ini saya rasa tidak akan bisa ditemukan dimanapun.
Perlahan saya pun memajukan posisi drone saya, dengan tetap berkoordinasi dengan kedua bule tersebut dan tentunya setelah merasa puas mendapatkan gambar terbaik dari Tumpak Sewu yang berlatarkan Gunung Semeru. Saya pun lantas terbang sedikit lebih tinggi lagi untuk bisa mendapatkan gambar sempurna dari lekukan-lekukan jalur menuju Tumpak Sewu yang menyerupai seekor naga.
Saat baterai drone sudah ingin habis, saya pun menekan tombol return to home agar drone saya kembali kepada saya secara otomatis dan saya bisa mengganti baterainya dengan yang baru. Total saya membawa 5 baterai saat itu, tapi hanya menghabiskan 3 baterai pagi itu. Dengan penuh kehati-hatian, saya menghabiskan setiap baterainya untuk menangkap momen di sana.
https://www.instagram.com/p/B7-AZdvnpeV/
Sesekali Sang Mahameru, puncak tertinggi Gunung Semeru, terlihat batuk dan mengeluarkan asap yang membumbung tinggi. Peristiwa itu pun tak luput dari tangkapan kedua bule tersebut.
Setelah terbang selama kurang lebih 1 jam 10 menit, akhirnya sang mentari menunjukkan dirinya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik awan yang tebal. Munculnya sang penguasa langit ini sekaligus menjadi tanda kalau waktu saya pagi itu sudah “habis”. Terlalu banyak sinar mentari yang masuk ke dalam Tumpak Sewu membuat gambarnya sedikit tidak bagus *menurut saya*
Akhirnya kami pun kembali ke penginapan guna mempersiapkan diri menjelajah Tumpak Sewu melalui bagian bawah. Namun sebelum pulang, kami tak henti-hentinya terkagum dengan keindahan air terjun ini dan bersyukur bisa memiliki kesempatan untuk main ke sini. Apa yang Tuhan berikan kali ini benar-benar kejutan dan di luar ekspektasi kami.
Saya sudah mempersiapkan diri kalau saya akan melihat pemandangan Tumpak Sewu yang bagus, namun rupanya Sang Khalik tak ingin saya hanya melihat pemandangan yang bagus, lalu Ia pun memberikan pemandangan dan pengalaman yang luar biasa.
Be grateful for today and never take anything for granted. Life is a blessing
–Unknown