Mengenal ERU (Elephant Response Unit) di Taman Nasional Way Kambas
ERU – Konflik antara manusia dan gajah mulai terjadi sejak Way Kambas ditetapkan sebagai kawasan hutan (belum Taman Nasional lho) dan beberapa daerah di sekeliling hutan Way Kambas dibuka menjadi daerah pemukiman dan juga lahan perkebunan bagi warga yang tinggal di pemukiman tersebut.
Batas antara hutan Way Kambas dengan pemukiman sebenarnya sudah ditetapkan, namun tetap saja ada di antara manusia atau gajah yang melewati batas tersebut. Dalam hal “melewati batas” ini, gajah tidak bisa disalahkan (menurut pendapat pribadi saya). Gajah yang merupakan hewan megaherbivor, hewan yang membutuhkan makanan yang banyak dalam satu hari, serta memiliki habitat dan daya jelajah yang luas (mencapai 7 km -15 km per hari), hanya mengikuti nalurinya saja untuk mencari makan.
Kebutuhan kalori seekor gajah dewasa dalam satu hari itu kurang lebih 51.000 kcal untuk gajah jantan dan 48.000 kcal untuk betina. Bandingkan dengan manusia aktif yang mungkin hanya membutuhkan 2500 – 3000 kcal setiap harinya. Berbeda jauh sekali, kan? Ketika ketersediaan makanan di daerahnya tidak mencukupi, maka gajah akan bergerak ke daerah lain guna mencari makanan untuk mencukupi kebutuhan hariannya.
Sebenarnya hutan Way Kambas itu luas. Namun perlu diingat, terdapat ratusan gajah yang mendiami hutan Way Kambas dan mereka ini hidupnya berkelompok. Belum lagi ada hewan-hewan lainnya yang juga hidup di sana. Ada 5 hewan yang terkenal dan dilindungi di Way Kambas atau biasa disebut The Big Five Mammals. Mereka adalah tapir, gajah sumatera, harimau sumatera, badak sumatera dan beruang madu.
Ketika hutan menjadi padat (tahun 1980 terjadi translokasi gajah dari Lampung Selatan dan Gunung Madu ke Way Kambas), daya jelajah menyempit, dan ketersediaan makanan semakin menipis, maka bukanlah hal yang aneh bila gajah mulai “berkunjung” ke pemukiman warga, terlebih khusus ke area perkebunannya dan mulai mengambil hasil pangan yang sedang ditanam. Jika hal itu terjadi, konflik antara manusia dan gajah tidak bisa terelakkan.
Konflik yang terjadi antara kedua pihak sudah memakan banyak korban, baik dari pihak gajah atau dari manusia. Tahun 1984 – 1996, tercatat ada 15 orang yang meninggal dan 5 gajah mati akibat konflik manusia gajah ini. Antara tahun 2000 – 2002, seekor gajah ditembak mati karena membahayakan keselamatan desa penyangganya. Konflik yang terjadi ini hanya mengakibatkan efek negatif dalam kehidupan manusia dan juga gajah.
Bukannya tidak ada upaya untuk menanggulangi konflik gajah ini. Berbagai cara sudah dilakukan, salah satu yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional adalah dengan mendirikan Pusat Latihan Gajah (PLG). Gajah-gajah liar yang ada di hutan ditangkap dan dilatih, untuk kemudian dipelihara dan digunakan untuk tujuan tertentu. Untuk melatih gajah liar pertama kali, pihak Way Kambas sampai menghadirkan langsung 2 gajah dari Thailand beserta mahout-nya. Jadi ingat ya, di Way Kambas itu ada 2 jenis gajah, yaitu gajah jinak yang ada di PLG dan gajah liar yang ada di hutannya.
Namun pada awal tahun 2000an, pemerintah pusat mengeluarkan surat keputusan kalau tidak boleh lagi ada penangkapan gajah liar untuk dilatih. Konflik gajah dan manusia pun kembali tinggi.
Upaya lain pun juga sudah dibuat, baik oleh pihak Taman Nasional ataupun maupun warga desa penyangga, seperti membuat parit besar agar gajah tidak bisa masuk ke kawasan perkebunan warga, pemasangan pagar listrik bertegangan rendah, penggunaan kawat berduri, pembuatan meriam karbit untuk mengusir gajah, penggunaan obor untuk “menakuti” gajah, dan beberapa cara lain.
Namun gajah dikenal sebagai hewan yang cerdas, hewan yang mau belajar dan mau beradaptasi. Cara-cara yang sudah disebutkan tadi memang awalnya berhasil, tapi lama kelamaan para gajah mampu mengatasinya. Parit berhasil dilalui, pagar listrik berhasil dirusak, kawat berduri berhasil dihalau, dan penggunaan obor pun tak terlalu banyak membantu. Ujungnya adalah kegagalan.
- Baca Juga: Tanya Jawab Seputar Perjalanan ke Way Kambas
Hingga pada akhirnya pada tahun 2011, dibentuklah sebuah unit pendamai yang terdiri dari beberapa ekor gajah jinak yang sudah dilatih dan juga mahout, untuk mengusir gajah liar kembali ke habitatnya, dengan tujuan utama untuk menekan konflik antara manusia dan gajah, dan unit tersebut diberi nama ERU (Elephant Response Unit) Tegal Yoso.
Karena dirasa berhasil menghalau gajah liar dan menekan konflik antara manusia da gajah, maka dibentuklah Camp ERU lainnya yang berlokasi di perbatasan antara hutan Way Kambas dan desa penyangga. 3 Camp ERU tambahan lainnya adalah ERU Bungur, ERU Margahayu dan ERU Harjosari. Jadi sampai tahun 2020 ini, total sudah ada 4 Camp ERU di Way Kambas. Masyarakat pun merasa puas dengan kinerja ERU ini dan bisa hidup lebih nyaman berdampingan dengan para gajah.
Cara ERU Menghalau Gajah Liar
Pendekatan yang dilakukan ERU ini bisa dibilang sedikit berbeda. Kalau tadinya manusia yang mencoba menghalau gajah, ERU ini menggunakan gajah (jinak) untuk menghalau gajah (liar). Gajah jinak yang sudah dilatih di PLG ini bertindak sebagai penengah antara manusia dan gajah liar.
Jadi ketika ada kawanan gajah liar yang mau atau sudah masuk ke area pemukiman gajah, gajah jinak (dengan arahan para mahout) akan menggiring kawanan tersebut untuk kembali ke dalam hutan. Memang benar sih, yang mengerti bahasa gajah ya gajah itu sendiri. Pendekatan dari hati ke hati (gajah) memang rasanya lebih manjur.
Selain itu, pemantauan arus pergerakan gajah liar ini jauh lebih aman bila menggunakan gajah jinak. Bila sedang melakukan patroli dan bertemu gajah liar, mahout tidak akan diserang apabila sedang bersama gajah (jinak). Namun bila seorang diri saja, atau hanya kawanan manusia saja, kemungkinan penyerangan oleh gajah liar itu jauh lebih besar.
Namun jangan dikira menggiring gajah liar itu perkara mudah ya. Sekali datang, rombongan gajah ini jumlahnya bisa 30-40 ekor. Bisa dibayangkan dong ya kalau 30 ekor gajah yang berat masing-masingnya mencapai 1.500 – 5.000 kg ini merangsek masuk ke perkebunan dan memakan semua tanaman yang sedang ditanam. Sudah pasti luluh lantah itu jalur yang dilewati rombongan gajah. Sedangkan jumlah gajah di setiap Camp ERU mungkin hanya ada 6-8 ekor saja. Coba bayangkan perbandingannya. Tidak berimbang, kan?
Belum lagi membahas waktu pergerakan gajahnya. Jika ada laporan warga kalau ada gajah yang sudah masuk ke wilayah pemukiman warga, tim ERU harus cepat bergerak, meskipun saat tengah malam sekalipun. Gajah itu merupakan hewan nokturnal, jadi mereka ini baru akan menjelajah sekitar pukul 18:00 – 00:00 WIB, saat dimana seharusnya para mahout dan petugas tim ERU ini sudah beristirahat, tapi “dipaksa” harus tetap segar karena ulah para gajah liar ini.
Saat berkunjung ke Way Kambas, saya melihat sendiri bagaimana sekelompok petugas dari Tim ERU harus berjaga di tengah hutan yang gelap, yang dianggap sebagai jalur penjelajahan gajah menuju ke Desa Labuhan Ratu Tujuh, pada pukul 23:00 WIB, dengan hanya memanfaatkan sumber penerangan dan alat komunikasi seadanya. Respect banget saya dengan kerja kalian, para anggota tim ERU.
- Baca Juga: Mahout yang Salah vs Netizen yang Mahabenar
Proses pemantauan gajah liar ini masih dilakukan secara manual lho. Jadi tim ERU dari setiap camp akan melakukan patroli setiap harinya untuk melacak pergerakan gajah liar melalui jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Jika berhasil menemukan rute tetap dari penjelajahan rombongan gajah liar, maka tim ERU akan stand by di suatu tempat guna memotong pergerakan gajah itu dan menggiring mereka kembali ke hutan. Lama waktu rombongan gajah menetap di 1 tempat itu bisa berminggu-minggu lho.
Harapan kedepannya sih pemerintah bisa memberikan fasilitas GPS Collar, sehingga beberapa gajah dari rombongan gajah liar itu bisa dipasangkan GPS tersebut dan dipantau pergerakannya. Tidak perlu lagi menduga-duga dimana keberadaan rombongan gajah liar, dan bisa bergerak secara efektif untuk menghalau mereka.
Oh ya, perihal gajah yang digunakan untuk berpatroli dan atau mengusir kawanan gajah liar ini, mereka ini juga diperhatikan lho kesehatannya. Kalau saat mereka berpatroli lalu capek, ya mereka diistirahatkan. Jika sedang lapar, ya gajah-gajah jinak ini dibiarkan untuk mencari makan. Jadi jangan dikira mereka dipaksa untuk terus bekerja ya.
Menurut Pak Sangiful, salah satu mahout yang ada di Camp ERU Margahayu dan sudah berprofesi sebagai mahout sejak tahun 1996, gajah itu sudah seperti bagian dari dirinya. Dia bisa hidup karena gajah-gajah ini, masa iya gajah ini mereka aniaya?
Kegiatan Lainnya dari Tim ERU
Apakah tugas tim ERU hanya menghalau gajah liar? Tentu tidak. Masih ada beberapa tugas lainnya dari Tim ERU, namun intinya adalah memikirkan kehidupan gajah liar. Kalau gajah jinak di PLG Way Kambas kan sudah “terjamin” kehidupannya. Mereka ada yang mengurus, ada yang memberi makan, ada yang memberi vitamin dan ada yang mengobati jika sakit. Nah, gajah liar ini pun harus diberi perhatian.
Salah satu tugas mulia dari tim ERU adalah menyelamatkan gajah liar yang terluka. Pernah suatu ketika ada seekor gajah yang terjerat oleh perangkap yang dipasang oleh manusia. Belalainya terputus dan gajah itu ditinggalkan oleh rombongannya karena terluka parah.
Dengan sigap tim ERU yang sedang berpatroli langsung datang ke tempat gajah yang terkena perangkap itu, memberikan pertolongan pertama dan membawanya ke rumah sakit gajah yang ada di PLG Way Kambas untuk diobati. Kalau tidak ada tim ERU, mungkin gajah yang sekarang bernama Erin itu bisa mati. Itu baru yang terkena jerat, belum lagi kalau ada yang coba memburu gajah ini demi gadingnya.
Juga pernah ada suatu peristiwa dimana gajah masuk ke dalam kanal yang dalam dan tidak bisa keluar. Jika tidak segera dibantu untuk keluar dari kanal tersebut, gajah itu akan mati kelaparan karena tidak makan. Lagi-lagi tim ERU yang datang dan membantu menolong gajah tersebut.
Jangan lupa juga kalau di setiap tim ERU ini terdapat gajah jantan dan juga gajah betina. Jadi tidak menutup kemungkinan ada gajah betina yang hamil, mengingat gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa kawin di sepanjang tahun. Kalau sudah ada gajah betina yang hamil, maka tim ERU mendapat tugas tambahan yaitu membantu proses persalinan gajah agar anak gajah bisa lahir dengan selamat. Setelah selamat, tim ERU pun akan mengajarkan bagaimana si anak menyusu pada induknya.
Selama tahun 2017 tercatat sudah lahir 2 anak gajah di Camp ERU Tegalyoso, yaitu Linda pada tanggal 20 Maret, dari seekor gajah betina bernama Riska dan Cory pada 27 Maret 2017, dari seekor gajah betina bernama Dona.
Tim ERU ini juga bertugas memberikan rekomendasi kepada pihak Taman Nasional Way Kambas terkait kondisi di hutan Way Kambas. Misalkan terjadi kemarau panjang dan air dimana-mana habis, sedangkan gajah adalah hewan yang sangat tergantung oleh air, dimana dalam 1 hari, gajah membutuhkan 10-50 liter untuk minum, maka tim ERU bisa merekomendasikan untuk membuat sumur bor atau bak air yang besar agar para gajah liar tetap tercukupi kebutuhannya.
Bolehkah Dikunjungi?
Dari tadi saya bercerita tentang Camp ERU yang ada di perbatasan antara hutan Way Kambas dan desa penyangga, beserta keseruan dari aktivitas yang mereka lakukan. Pertanyaannya yang muncul berikutnya adalah bolehkah Camp ERU ini dikunjungi? Jawabannya adalah BOLEH. Seperti yang saya lakukan pada Desember 2018 dan 2019, dimana saya mengunjungi salah satu dari 4 Camp ERU yang ada, yaitu Camp ERU Margahayu. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mengunjungi ERU.
Yang pertama, camp ERU itu bukanlah tempat wisata KEKINIAN. Ingat, tujuan utama ERU adalah untuk menekan konflik antara gajah dan manusia. Jadi ketika ada kawanan gajah liar yang sedang ada di pinggir hutan dan terlihat ingin memasuki persawahan atau pemukiman warga, maka kunjungan ke camp ERU pasti ditolak. Para mahout akan sibuk dan repot mengurusi kawanan gajah liar tersebut. Namun bila sedang lowong atau situasi dianggap aman, pengunjung boleh datang ke camp ERU.
Untuk kunjungan ke camp ERU sendiri, pihak ERU bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk wisata edukasinya. Jadi memang ada simbiosis mutualisme antara pihak ERU dan warga desa penyangga. Pengunjung tidak bisa langsung masuk ke camp ERU begitu saja. Kalian harus membuat janji dulu dengan warga sekitar, barulah warga sekitar yang akan menghubungi pihak camp ERU untuk menanyakan availabilitasnya. Jika oke, pengunjung boleh masuk. Jika tidak, ya silakan coba lagi di lain waktu. Pihak ERU tidak ingin repot mengurusi kunjungan, jadi semuanya dilakukan satu pintu, lewat warga desa penyangga.
Seperti kunjungan yang saya lakukan kemarin ke ERU Margahayu. Sebelum datang, saya menghubungi seorang warga desa Labuhan Ratu Tujuh, Dusun Margahayu, salah satu desa penyangga di Way Kambas, yang bernama Mas Sunandar. Mas Sunandar ini merupakan salah satu anggota dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Gerbang Way Kambas, yang salah satu tujuannya adalah untuk memperkenalkan soal kehidupan warga sekitar dan gajah, dan memberikan wisata edukatif terkait gajah kepada pengunjung. Lewat dialah saya berkoordinasi.
Lantas apa yang bisa dilakukan selama di ERU? Banyak sekali. Kalian bisa berbincang bersama para mahout dan petugas di sana. Galilah ilmu dan cerita dari mereka. Kalian pikir, saya bisa bercerita sampai sepanjang ini dari mana kalau tidak dari mendengarkan cerita dan melakukan wawancara dengan mereka. Pastikan kalian pulang dengan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang berharga.
Kedua, kalian bisa bertemu dengan para diplomat gajah alias gajah-gajah jinak yang biasa digunakan untuk berpatroli dan juga menggiring kawanan gajah liar. Kalian bisa berfoto dengan mereka, memberi mereka makan, melihat aktivitas mereka, memandikan dan bahkan memeluk mereka. Sudah pernah lihat belum telapak gajah bentuknya seperti apa? Sudah pernah pegang telapaknya belum? Tahu nggak kuku kaki gajah ada berapa dan bagaimana bentuk gigi gajah? Nah, informasi itu semua bisa kalian dapatkan ketika berkunjung ke ERU.
https://www.instagram.com/p/B6VBAYXHorw/
Bahkan jika beruntung, kalian bisa ikut para mahout dan merasakan sedikit rute saat mereka melakukan patroli. Asyik kan bisa masuk ke dalam hutan bersama para gajah dan mahout?
Aktivitas para gajah dan mahout di Camp ERU ini “terbuka” kok untuk diteliti atau diketahui. Orang-orang di sini sangat asyik dan begitu terbuka soal informasi. Bagi kalian yang ingin melakukan penelitian terhadap gajah dan ingin menginap di ERU, kalian pun bisa lho melakukannya. Hanya saja untuk izin tersebut, kalian harus membuat surat ke pihak Taman Nasional Way Kambas dan mendapatkan Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Sudah banyak kok mahasiswa/i yang melakukan penelitian di camp ERU.
Kalau di Camp ERU Margahayu sendiri, bukan hanya aktivitas di Camp ERU-nya saja yang seru, tapi juga perjalanan menuju Camp ERU-nya. Kalian bisa meliahat dengan jelas perbatasan antara hutan Way Kambas dan persawahan milik warga. Kalian akan berjalan menembus hutan Way Kambas dan melihat ragam pepohonan yang ada di sana. Kalian bisa melihat kanal besar dan panjang yang dibangun guna menahan laju gajah liar yang ingin masuk ke desa penyangga.
*****
Itu tadi sedikit penjelasan dari saya mengenai ERU, sebuah unit yang ada di Way Kambas. Semoga setelah membaca tulisan ini, kalian menjadi sedikit tahu tentang ERU. Kalian jadi tahu kalau ternyata ada lho unit seperti ini di Way Kambas dan semakin menghormati pekerjaan atau profesi seorang mahout.
Tambahan
- Untuk mengunjungi ERU, tentunya ada biaya yang harus kalian keluarkan. Berapa besar biayanya, untuk apa saja biaya tersebut, dan bagaimana menghubungi Mas Sunandar, semua rinciannya bisa kalian lihat DI SINI.
- Bisa dibilang ERU ini meneruskan cita-cita awal dari PLG Way Kambas, yang kini mungkin fungisnya sudah mulai berubah.
- Fasilitas dan segala keperluan di ERU itu didapat dari NGO (Non Goverment Organization). Pemerintah hanya memberikan support berupa tempat dan juga izin untuk melakukan kegiatan.
- Para mahout berharap, dengan adanya kunjungan ke ERU, masyarakat menjadi lebih tahu soal gajah. Jangan sampai ke depannya gajah punah dan kalian tidak tahu apa itu gajah. Dengan mengenal gajah dan mencintai gajah, maka pasti ada usaha untuk menjaga para gajah.
- Ada 2 jenis gajah yang suka memasuki area pemukiman warga, yaitu gajah yang masuk secara berkelompok dan gajah yang soliter (seorang diri). Gajah yang soliter ini umumnya gajah jantan yang sudah tua dan pergerakannya lebih susah untuk dideteksi.
- Kesuksesan ERU menghalau gajah liar ini bisa terjadi juga berkat adanya kerjasama dengan warga. Tanpa warga dan saling koodinasi, kesuksesan itu tak mungkin tercapai.
Sumber
- Zazuli, Muhammad & Dewi, B. S. 2014. Mitigasi Konflik Manusia-Gajah Oleh Elephant Response Unit Di Resort Toto Projo Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus Di Desa Tanjung Tirto & Desa Tegal Yoso). Seminar Nasional Sains & Teknologi VI Lembaga Penelitian & Pengabdian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
- Sitompul, A.F. 2011. Ecology and Conservation of Sumatran Elephants (Elephas maximus sumatranus) in Sumatra, Indonesia. Disertasi. University of Massachusetts. Amherst. 105 p.
- Syamsuardi dan Sukmantoro, W. 2013. Kajian Elephant Flying Squad (Pasukan Gajah Reaksi Cepat) Tahun 2012 untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia di Desa Lubuk Kembang Bunga dan Sekitarnya. Laporan. WWF-Indonesia Program Riau. Pekanbaru. 20 p.
No one in this world needs an elephant tusk but an elephant
–Anonymous