Letter El Cafe: Barisan Buku & Seduhan Kopi di Rantepao
Sebut saja namanya Wong Toraja, seorang pria asli Toraja yang mengais rezeki di Pulau Jawa, lebih tepatnya di Jakarta, dan sekarang sedang kembali ke tanah kelahirannya untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Dari pria yang saya temui di Terminal Daya, Makassar, dan bersama melakukan perjalanan ke Toraja dengan menggunakan bus inilah saya tahu mengetahui tentang Letter El Cafe, salah satu coffee shop terbaik yang ada di Rantepao, Toraja. Sayangnya ia tidak bisa menemani saya ke sana. Meskipun satu bus, kami ternyata berbeda tujuan. Ia harus ke Tana Toraja, sedangkan saya ke Toraja Utara. Pesannya hanya satu, jangan pulang kembali ke Jakarta sebelum mampir ke sana.
Janji
Menepati janji yang tak tertulis kepada Wong Toraja, saya pun mampir ke Letter El Cafe 3 jam sebelum kembali ke Makassar. 3 hari berada di Toraja, baru pada hari ketiga saya bisa mampir ke sini, itu pun di akhir-akhir. Seorang laki-laki tidak akan pernah melanggar janjinya.
Sebagai daerah yang terkenal akan kopinya, baik itu arabika atau robusta, kurang lengkap rasanya kalau tidak mencicipi kopi langsung di tanah asalnya. Kopi Toraja sudah sangat terkenal. Jika kalian berkunjung ke Toraja, pasti ada saja teman kalian yang menitip untuk dibawakan kopi, kan? Itulah salah satu bukti kalau kopi toraja tidak perlu lagi diragukan kualitasnya. Bahkan kopi kualitas terbaiknya diekspor ke beberapa negara di dunia dan tidak dipasarkan di Indonesia. Ironis, kan?
Sekitar jam 18:00 WITA, kaki ini melangkah ke Jl. Emmy Saelan, Malango’, Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, tempat dimana Letter El Cafe berada. Lokasinya persis ada di seberang Masjid Agung Rantepao atau hanya 300 meter dari sebuah tugu dimana Tongkonan (Rumah adat Orang Toraja) diletakkan di atas Kandean Dulang. Dalam bahasa Toraja Kandean Dulang merupakan piring tempat meletakkan lauk pauk. Tugu ini sangat terkenal dan ikonik di Rantepao sebab menjadi titik akhir penurunan penumpang dan titik awal pemberangkatan penumpang dari dan ke Makassar yang menggunakan bus.
Awalnya saya agak kesulitan menemukan kafe ini. Papan nama kafe yang terbuat dari kayu yang dibentuk melingkar dengan huruf berwarna hitam dapat dengan jelas terlihat dari Masjid Agung Rantepao, tapi tidak dengan bangunannya. Rupanya Letter El Cafe berbagi gedung dengan toko lain dan ia menempati lantai 2.
Suasana Letter El Cafe
Dengan agak ragu, kaki ini melangkah menyusuri lantai 1 yang merupakan area dari toko lain. Di bagian dalamnya, sebuah tangga kayu dengan lebar yang cukup untuk menampung 2 orang berjalan bersisian, menyambut saya dan mengarahkan saya untuk langsung ke atas. Kaki ini pun berayun mengikuti setiap anak tangga hingga ke bagian atas.
Sebuah tempat dengan cat putih dan dihiasi ornamen kayu langsung menyambut saya di lantai 2. Tepat di tembok sebelah kanan setelah anak tangga terdapat tulisan “Letter El Cafe” dengan lambang 4 biji kopi di atas tulisan tersebut. Inilah kafe yang diceritakan Wong Toraja. Saya akhirnya sampai.
Dari depan tangga, dengan ransel yang masih tergantung di punggung, saya berdiri terdiam dan sedikit terlena dengan suasana kafe ini. Begitu tenang dan nyaman. Mata ini berjalan mengelilingi kafe yang sederhana ini. Aspek kenyamanan ini begitu penting bagi saya, sebab sebelum mulut dan lidah ini dipuaskan oleh kenikmatan kopinya, ada hati yang terlebih dahulu yang harus diberikan kenyamanan oleh tempatnya.
“Selamat datang di Letter El Cafe. Silakan duduk.” Ucap sang barista dengan hangat dari balik mejanya yang terletak di seberang tangga mengalihkan perhatian saya. Lampu temaram menggantung di langit-langit mejanya. Bermacam kopi, mulai dari dari yang sudah terbungkus rapi dan siap dibawa pulang, kopi yang masih berbentuk biji, tertata rapi di atas mejanya. Tulisan “No Smoking”, “Please Order Here” dan kehadiran mesin kopi melengkapi tatanan benda-benda yang ada di meja sang barista.
Di belakang meja kayunya, beberapa gelas ditata rapi dengan menggantung di tembok putih. Di tembok itu pula saya bisa melihat bermacam menu kopi, teh dan juga hidangan yang bisa dipesan di kafe ini. Alih-alih melakukan apa yang ia minta, saya memutuskan untuk menyusuri setiap ruangan yang ada di kafe ini terlebih dahulu dan membiarkan sang barista asyik dengan ‘mainannya’.
Ruangan di Letter El Cafe
Secara garis besar, kafe ini terbagi atas 3 ruangan. Ruangan pertama adalah tempat barista tadi. Beberapa meja dan kursi kayu disusun mengitari meja sang barista. Seperti saya bilang tadi, ornamen kayu begitu mendominasi kafe ini. Tempat paling asyik di area ini menurut saya adalah di bagian ujung, dengan meja dan kursi yang menghadap langsung ke jendela kaca yang mengarah langsung ke jalan raya. Memandangi objek yang bergerak dari balik jendela sambil menyeruput kopi merupakan hal yang tak pernah membosankan. Peristiwa tak terduga dapat terjadi di luar sana.
Sebuah lukisan sederhana tersemat di area dinding ruangan pertama ini. Lukisan tentang aroma dan rasa kopi yang dibalut dengan suasana Yin and Yang. Bermacam rasa dan aroma kopi bisa dilihat di lukisan tersebut. Lukisannya yang sederhana membuat saya yang sangat awam soal kopi bisa dengan sangat mudah memahami jenis aroma dan rasa yang ada pada kopi.
Dipisahkan oleh sebuah tembok kaca dengan pinggiran kayu, tepat di sebelah tangga, adalah ruangan kedua. Inilah area favorit saya karena terdapat banyak buku di sini. Buku-buku tersebut diletakkan di rak buku dengan bentuk modern yang menempel dengan dinding. Ratusan buku ada di di rak tersebut. Mau yang berbahasa Indonesia atau bahasa asing, semua ada di rak tersebut.
Di depan rak buku itulah tertata dengan rapi beberapa meja dan kursi, bahkan ada sebuah sofa panjang yang nyaman dengan meja panjang di depannya. Saya yang memang penyuka buku langsung jatuh cinta dengan ruangan ini dan segera meletakkan ransel saya di salah satu mejanya.
Ruangan yang tenang dan nyaman, buku, dan kopi merupakan kombinasi yang pas. Tak banyak kafe atau coffee shop yang menyajikan buku dan ruangan yang nyaman untuk membaca bagi para pengunjungnya dan Letter El Cafe hadir dengan itu.
Rupanya Letter El ini bukan hanya nama, melainkan bentuk dari kafe ini juga. Hal ini baru saya sadari setelah saya berjalan ke area ketiga, Menyerupai bentuk huruf L, area ketiga memakan sedikit badan dari sisi vertikal di huruf L hingga ke bagian horizontal dari huruf L. Inilah area ‘outdoor’, dimana para pengunjung bisa dengan bebas untuk merokok. Meja dan kursinya pun sama, terbuat dari kayu yang diplitur dengan cantik. Rangkaian lampu serial berbentuk bulat menghiasi area ketiga ini yang membuat suasananya sedikit remang-remang.
Memesan Kopi dan Membaca
Merasa puas berkeliling, saya pun kembali ke meja sang barista untuk memesan kopi dan cemilan. Agak lama saya memandang daftar menu yang tergantung di dindingnya. Jujur, saya bukanlah orang yang mengerti kopi dan tidak ingin berpura-pura untuk mengerti kopi agar terlihat keren. Saya selalu dibuat bingung oleh banyaknya menu kopi dengan nama yang sulit dan komposisinya yang saya tidak ketahui.
Guna membantu saya, sang barista menjelaskan kalau menu favorit di sini namanya Avokaa, yaitu campuran kopi arabika dan robusta yang disandingkan dengan es krim vanila dan buah alpukat. Ada juga Landorundun dan Bendurana, nama yang Toraja sekali.
- Baca Juga: Dibalik Megahnya Kuburan di Ketekesu
Namun lagi dan lagi, pilihan saya selalu pada kopi yang sama, yaitu Ice Americano. Dingin, hitam, dan tanpa gula, itu sudah lebih dari cukup buat saya. Bicara soal kopi dingin, saya jadi teringat ucapan seorang teman, “Tapi kan kopi itu lebih enak ketika disedu dengan air hangat. Rasa dan aromanya akan keluar.”
Terserah orang mau bilang apa. Setiap orang punya seleranya sendiri, mau itu dingin atau hangat, arabika atau robusta, dengan atau tanpa gula, biarlah setiap orang memesan yang kopi yang ia suka dengan caranya dan jangan pernah menghakiminya. Jika kalian suka yang hangat, pesanlah. Jika kalian suka yang tanpa gula, pesanlah.
Guna menemani Ice Americano, saya memesan kentang goreng sebagai cemilan dan Es Krim Vanila dengan kuah coklat sebagai hidangan penutup. Secara harga, menu yang dijual di kafe ini masih cukup aman untuk kantong saya. Tidak terlalu mahal, tapi tidak murah banget juga.
Sebelum kembali ke meja saya, mata saya terdistraksi oleh sebuah buku berjudul Landorundun, persis seperti nama kopi yang dijual.
“Buku ini dijual?” Tanya saya kepada sang barista.
“Iya, Ka. Buku itu karya orang asli Toraja.” Jawab Sang Barista
Melihat ada kutipan dari Dewi “Dee” Lestari di cover buku tersebut, saya pun langsung membeli buku itu. Sambil menunggu pesanan datang, saya duduk manis dan membaca buku baru yang saya beli bersamaan dengan Ice Americano.
- Baca Juga: Wisata Pekuburan Londa di Toraja
Setelah sekitar 10 halaman buku Landorundun saya baca, pesanan kopi dan kentang saya pun datang. Secara rasa, Americano selalu sama buat saya. Kalau orang menyebut Americano itu rasanya pahit, saya menyebutnya tidak ada rasa. Ya, mungkin karena sudah terlalu banyak kepahitan yang saya rasakan sehingga membuat rasa pahit pun tak ada lagi rasanya.
Dengan cepat kopi itu saya habiskan. Lalu guna membunuh waktu sebelum waktu keberangkatan bus saya ke Makassar, saya melanjutkan kembali membaca buku Landorundun. Jujur, nyaman banget membaca buku di kafe ini. Saya tidak tahu apakah memang kafe ini selalu setenang ini atau tidak (waktu itu hanya 4 pengunjungnya). Bila ya, sungguh terberkati kalian orang-orang yang bisa mampir ke kafe ini. Kalian bisa mempunyai ruang baca dan ruang ngopi dalam satu tempat.
Tepat 30 menit sebelum saya pergi, es krim yang menjadi hidangan penutup saya datang. Es krim ini dipercaya dapat memperbaiki mood. Jadi buat kalian yang mood-nya sedang tidak baik, coba makan es krim deh. Mood saya yang sedang baik saat itu, menjadi semakin baik dengan kehadiran es krim yang menyegarkan ini.
Setelah Es krim habis tak bersisa, saya pun pamit kepada sang barista yang sudah dengan sangat baik menyambut dan melayani saya di sini. Buat kalian yang mampir ke Toraja, sempatkanlah mampir ke kafe sederhana dengan penataan yang pas dan tidak berlebihan ini.
Terima kasih Letter El Cafe yang sudah menghadirkan konsep coffee, books, and soliloquy. Melalui kopinya, para pengunjung bisa mengenal Toraja lebih dekat. Melalui bukunya, para pengunjung bisa menjelajah dunia. Melalui tempatnya yang nyaman, para pengunjung bisa berbicara dan mengenal dirinya sendiri (soliloquy), sebuah subjek yang sangat dekat namun terasa jauh karena tak pernah diajak berbicara dan berusaha untuk lebih dikenal.
Rantepao, 15 November 2019
You don’t even really need a place. But you feel like you’re doing something. That is what coffee is. And that is one of the geniuses of the new coffee culture.
–Jerry Seinfeld