Wajah Lumajang (2): Warna-warni Kabut Pelangi
Kabut Pelangi – Ada bagus dan tidaknya mengetahui rute yang akan dilalui ketika melakukan perjalanan. Bila tahu rute yang akan dilalui itu masuk kategori mudah, perasaan senang pasti langsung datang saat membayangkannya. Namun bila rute yang akan dilalui itu susah, terjal, dan menguras cukup banyak tenaga, tak jarang membayangkannya saja sudah membuat lemas dan malas. Itulah yang saya rasakan saat harus kembali dari Air Terjun Kapas Biru di Lumajang menuju lokasi parkirnya.
Perjalanan menuruni jalur tanah berbatu yang cukup terjal, permukaannya tidak rata, dan jalurnya yang berkelok dari lokasi parkir menuju Air Terjun Kapas Biru kini harus berubah menjadi perjalanan yang menanjak. Namun terlalu lemah rasanya kalau saya harus mengeluh, apalagi sampai menyerah, sebab keindahan Air Terjun Kabut Pelangi yang menjadi tujuan saya selanjutnya sudah menanti di depan sana. Bayangan akan pelangi abadi yang ada di air terjun tersebut menjadi api yang menyulut semangat saya.
- Baca Juga: Wajah Lumajang (1) – Kejutan dari Kapas Biru
Kapas Biru – Kabut Pelangi
Jarak antara Air Terjun Kapas Biru dan Air Terjun Kabut Pelangi ternyata dekat saja. Dengan menggunakan sepeda motor dan dibonceng oleh pemandu, saya dan Billy berpindah dari lokasi parkir Kapas Biru ke lokasi parkir Kabut Pelangi hanya dalam waktu kurang dari 10 menit.
Sama seperti ketika tiba di Kapas Biru, kami menjadi satu-satunya pengunjung pagi itu di Kabut Pelangi. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10:00 WIB saat itu, waktu dimana seharusnya pengunjung sudah mulai ramai berdatangan. Mungkin karena hari itu bukanlah akhir pekan, sehingga tak ada yang datang selain kami siang itu.
“Wah, air terjun ini akan menjadi milik kami dong kalau begitu.” Ucap saya dala hati dengan diiringi senyum yang sumringah. Setelah mengurus tiket masuk, 2 orang pemandu pun mengajak kami untuk segera melakukan treking menuju Air Terjun Kabut Pelangi. Masih dengan formasi yang sama seperti di Kapas Biru, 1 pemandu memimpin di paling depan dan 1 lagi berjaga di belakang, kami berempat berjalan santai menuju air terjun di tengah kondisi matahari yang tak lama lagi akan tepat berada di atas kepala.
Trekking
Perjalanan menuju Kabut Pelangi ini dimulai dengan menuruni jalan yang sudah dilapisi semen dan melewati beberapa rumah warga. “Ini jalur termudah bila dibandingkan dengan Kapas Biru dan Tumpak Sewu. Dari segi jarak pun lebih pendek.” Ucap pemandu di depan yang memecah kesunyian.
Memang lebih enak bila melakukan perjalanan yang susah terlebih dahulu, jika dibandingkan memulainya dengan yang mudah dan harus menghadapi yang sulit di bagian akhir. Saat melewati jalur yang lebih sulit, mental akan terbentuk dan fisik akan terlatih. Dengan tanpa meremehkan, seharusnya jalur yang lebih mudah bisa dilalui tanpa kesulitan yang cukup berarti.
5 menit berjalan, rumah warga yang tadinya berada di sekitar kami digantikan dengan rumah bagi para fauna, dengan tubuhnya yang tinggi, batangnya yang besar dan daunnya yang hijau lebat. Tak ketinggalan juga ada rerumputan dan semak belukar yang menjadi karpet bagi kaki yang beralaskan karet ini.
Lapisan semen yang menjadi pijakan pun kini berganti menjadi tanah dengan bebatuan kecil yang alami. Sebuah tangga buatan, dengan ujung setiap anak tangga yang dibatasi oleh bambu, menjadi sebuah penanda kalau jalur menurun tajam sudah akan dimulai.
Suara deruan air dari bagian bawah sudah merayap naik sampai ke atas, ke titik dimana kami mulai turun. Itulah musik dari alam yang menemani perjalanan kami. Wujud sungainya belum terlihat terlalu jelas tapi suara airnya sudah cukup lantang terdengar. Sambil berhati-hati menuruni jalan tanah yang menurun, dan dengan bermandikan cahaya matahari yang mulai garang, kami menikmati perjalanan dengan pemandangan alam yang memesona dan suara decitan burung yang tak henti berkumandang.
20 menit berjalan santai, kami langsung tiba di area paling bawah. Ternyata sang pemandu memang tidak bohong, jalurnya relatif mudah. Saat menengok kembali ke belakang, ternyata kami turun sudah cukup jauh. Kini 2 tebing tinggi di bagian kiri dan kanan kami menjadi penjaga yang kokoh saat kami melalui jalur berbatu di tengahnya.
Tertipu
Dari kejauhan, sudah nampak sebuah tempat sederhana untuk berteduh. Berfondasikan bambu dan beratapkan terpal, bangunan tersebut berdiri di pinggir aliran sungai. Samar-samar dari jauh terdengar suara air dalam volume yang besar jatuh dari dinding tebing.
“Bila sedang ramai, biasa ada yang berjualan di sana. Namun karena ini hari biasa dan kunjungan relatif sepi, maka tidak ada yang berjualan di sana.” Kata sang pemandu sambil menunjuk tempat tersebut.
“Oh, ya sudah. Kita istirahat saja sebentar di sana.” Sahut saya. Cuaca saat itu memang cukup panas. Salah satu pemandu langsung melepas bajunya ketika tiba di warung kosong itu.
Rupanya benar, hanya beberapa meter saja dari warung kosong itu, sebuah air terjun meluncur membelah hijaunya tebing yang ditumbuhi pepohonan. Saya senang sekaligus sedih meihat air terjun tersebut.
“Ini air terjun Kabut Pelangi-nya, Pak? Kok kecil ya?” Tanya saya penasaran.
“Oh, bukan. Ini cuma air terjun penanda saja kalau sebentar lagi kita akan sampai di Air Terjun Kabut Pelangi. Kita hanya perlu menyusuri sungai kecil ini saja. Air sungai ini berasal dari air terjun yang kita tuju.” Jawabnya sambil tertawa karena saya mengira inilah Air Terjun Kabut Pelangi.
Mendengar jawaban tersebut, saya pun langsung lega. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan usai duduk sebentar untuk mengisi tenaga dan mencari angin.
Sebentar Lagi Sampai
Menyusuri aliran sungai jernih yang dipenuhi batu kali berukuran sedang, saya langsung teringat lagu Ninja Hatori. Sambil menggumamkan lagu tersebut, saya berjalan melewati sungai yang tak begitu dalam dan deras alirannya itu. Seolah tak ingin kalah, Billy berjalan semakin menjauh. Ia sudah melewati semak belukar yang cukup tebal di depan sana.
Di ujung jalan, sebuah batu besar menutup jalan kami. Untungnya ada tangga bambu yang memang sudah dibuat warga setempat agar pengunjung bisa melewati batu yang berbaring di tengah jalan itu. Dengan hati-hati kami menaiki tangga tersebut, menapakkan kaki di atas batu dan kemudian turun kembali.
Usai melewati batu besar itu, batu kali yang berserak di atas aliran sungai ukurannya menjadi lebih besar. Meskipun begitu, air tetap saja menemukan jalannya untuk melewati batu-batu kali tersebut.
“Ayo cepat. Kabut Pelanginya sudah terlihat.” Ucap Billy yang sudah berada di tikungan aliran sungai.
Saya pun langsung mempercepat langkah dan tanpa menunggu saya terlebih dahulu, Billy sudah berjalan mendekati Kabut Pelangi. Dari kejauhan, Kabut Pelangi sudah terlihat gagah membelah kesunyian, aliran derasnya tak terbendung dan memberi kehidupan kepada tebing-tebing menghijau nan subur yang tingginya berkali-kali lipat dari manusia.
Keindahan di Depan Mata
“Tas-nya taruh di sini saja. Nanti biar saya yang jaga. Bawa kamera saja ke atas dan ingat untuk tetap hati-hati agar tidak tergelincir saat melewati tanah yang basah dan bebatuan yang licin.” Pesan sang pemandu dari balik batu besar sembari menikmati rokok yang baru ia bakar.
Penuh semangat, saya berjalan mendekati Air Terjun Kabut Pelangi. Saya penasaran dengan pelanginya sebab dari jauh pelangi itu belum bisa saya lihat, hanya ada aliran air yang begitu deras hingga buihnya terbang ke udara dan mendekap wajah ini.
Dengan sambil terus mengusap wajah yang mulai basah, saya dan Billy berjalan menapaki batu acak yang tersusun menanjak. Licin, itu sudah pasti. Di bagian akhir, dua batu besar di bagian depan kiri dan kanan air terjun tampil bagai sebuah gerbang tanpa pintu. Dari celah di antara 2 batu besar itulah Air Terjun Kabut Pelangi terlihat semakin cantik sekaligus gagah.
Tidak ada suara lagi yang bisa saya dengar, semuanya tenggelam oleh riuhnya suara air. Sampai sedekat ini, saya masih belum melihat adanya pelangi. “Apa pelangi itu cuma nama dan wujudnya itu sebenarnya tidak ada di sini?” Tanya saya dalam hati yang mulai meragu. Dari kejauhan, saya meminta Billy untuk mengabadikan momen di depan gerbang Kabut Pelangi dengan kameranya yang bagus dan mahal.
Masih dengan harapan untuk bisa melihat adanya pelangi, saya pun melangkah naik ke batu besar yang ada di sisi kanan. Itulah titik terjauh yang bisa saya ambil sekaligus titik terdekat dengan air terjun berketinggian 100 meter itu. Saya tidak berani untuk menyentuh air terjun itu secara langsung karena curahannya begitu deras.
Begitu sampai di puncaknya, saya begitu terkejut saat melihat ke bagian bawahnya, tepat di depan air terjun. Sebuah pelangi berbentuk melengkung di atas bebatuan tertangkap tatapan mata saya. “Pelanginya ada di sini, Bil.” Teriak saya pada Billy. Ia pun menutup lensa kameranya dan bergegas menuju posisi saya berada.
Rupanya di sanalah pelangi itu ‘bersembunyi’, di bagian bawah air terjun. Uniknya lagi, pelangi itu baru akan terlihat ketika ada sekumpulan buih air yang tertiup angin dan menyapu daerah di atas bebatuan itu. Jadi terkadang pelangi itu muncul, terkadang pelangi itu menghilang, tergantung dari sang angin yang membawa butiran air.
Waktu seolah berjalan lambat di sana, membiarkan saya menikmati keindahan Air Terjun Kabut Pelangi yang menjadi air kehidupan bagi mahkluk di sekitarnya. Saya pun cukup lama berdiri di atas sana, menikmati pelangi yang sebenarnya diam namun seperti datang dan pergi, karena terkadang ia menghilang dan terkadang muncul.
Rasa penasaran saya terhadap Kabut Pelangi pun kini sudah hilang, digantikan dengan perasaan senang bukan kepalang. Saya sudah menginjakkan kaki di sini dan melihat pelanginya, pelangi yang baru akan terlihat saat benar-benar mendekatinya. Kini saya bisa kembali ke penginapan, dengan dipenuhi memori indah akan air terjun di Lumajang yang memesona. Warna warni pelanginya tak hanya tinggal diam di sana, tapi sudah merambah ke dalam sebuah media di dalam tubuh ini yang bernama hati dan memenuhinya dengan sebuah warna unik yang bernama sukacita.
There is a hidden message in every waterfall. It says, if you are flexible, falling will not hurt you!
–Mehmet Murat Ildan