Kecelakaan di Gunung Cikuray: Dahi Sobek dan Jari Terkupas
Kecelakaan di Gunung Cikuray – Salah satu pelajaran yang saya dapat ketika melakukan traveling adalah selalu siapkan diri untuk kemungkinan yang buruk atau bahkan yang terburuk. Karena memang pada hakekatnya perjalanan itu tidak selalu mulus. Seringkali kita sudah mendamba hal yang indah, tapi yang datang justru membuat resah.
Seperti yang terjadi ketika saya pergi ke Garut, Jawa Barat. Saya sama sekali tak pernah membayangkan akan mendapat kecelakaan di Gunung Cikuray. Hal yang selalu terbayang ketika mendaki gunung dengan ketinggian 2821 MDPL itu adalah menggapai puncaknya bersama sang kekasih, memeluknya di titik tertinggi gunung tersebut, dan membisikkan kalimat, “Terima kasih sudah berjuang bersama.”
Namun itulah uniknya kehidupan. Ia selalu memberikan pelajaran yang tak terduga dan mengena, yang sering kali tidak pernah ada di text book manapun. Itulah mengapa kita harus selalu memberikan ruang dan berkawan dengan hal yang bernama ‘kemungkinan (ter)buruk’. Karena terkadang celaka itu datang tanpa permisi.
Pra-Insiden: Semuanya (masih) Indah
Sekitar pukul 13:30 WIB, setelah bermalam di Pos 4 dan melanjutkan perjalanan di pagi hari, tibalah saya dan rombongan di puncak Gunung Cikuray via Jalur Bayongbong. Perjalanan yang menghabiskan satu malam itu terbayar lunas dengan penampakan lukisan alam yang megah dan cuaca yang cerah. Langit merekah, angin berdesah, tanah menangkup langkah, tumbuhan hijau tertunduk menyembah, senyum tercurah, hati tergugah, tawa membuncah, dan lelah pun musnah.
- Baca Juga: Rute Pendakian Gunung CIkuray via Bayongbong
Di tengah sinar mentari yang memanah begitu tajam dan suhu udara yang cukup dingin, kami segera mencari tanah terbuka untuk mendirikan tenda. Akhirnya dipilihlah sebuah area dengan posisi 2 tingkat di bawah shelter yang menjadi penanda titik tertinggi dari Gunung Cikuray. Letak tanah terbuka itu agak sedikit bersisian dengan jurang. Dengan menggunakan sisa tenaga yang masih ada (belum ‘kena’ makan siang), kami membangun 3 tenda. 2 tenda digunakan untuk beristirahat dan 1 tenda digunakan untuk meletakkan barang.
Kesadaran secara otomatis menghilang ketika badan merebah di dalam tenda. Ada kalanya tidur memang lebih nikmat dan lebih bisa memulihkan tenaga dibandingkan makan di siang hari. Saya pun terlelap hingga sore hari datang menjelang.
Yang Tak Dinanti itu Datang
Puncak gunung merupakan titik terbaik untuk melihat 2 fenomena alam, yaitu matahari terbit dan terbenam. Sejauh mata memandang, tak ada penghalang bagi indera pengelihatan ini untuk menyaksikan proses bagaimana sang surya hadir dan menghilang dari pandangan. Sore itu adalah giliran saya melihat dan mengabadikan momen sang penguasa langit turun dari singgasananya untuk beristirahat.
Setelah mengisi perut dengan mengunyah beberapa makanan ringan, dengan membawa drone dan mirrorless, saya bersama Helena dan rombongan bergegas naik ke puncak gunung. Kira-kira sekitar pukul 17:00 WIB saya sudah sampai di titik tertinggi Gunung Cikuray. Berdasarkan pengalaman saya mendaki, pemandangan dari puncak gunung tak pernah mengecewakan. Begitu pula dengan apa yang saya lihat di Gunung Cikuray sore itu.
Gumpalan awan putih berbaris acak memenuhi langit biru dengan posisi matahari yang mulai condong ke arah barat. Sinarnya tak lagi seganas ketika saya baru tiba di puncak ini siang tadi. Dengan lembut sinar itu meremas kulit di tubuh ini yang tak tertutupi oleh kain. Dari seberang gunung Cikuray, Gunung Papandayan dan juga Guntur terlihat tak ingin ketinggalan memberikan penghormatan bagi sang mentari yang sudah bekerja menyinari seluruh organisme sedari pagi.
Sambil menunggu matahari terbenam sempurna dan menampilkan lembayung, saya pun menerbangkan drone yang saya miliki. Helena asyik dengan mirorrless yang saya bawa dan teman-teman lainnya sudah sibuk dan berpencar ke titik-titik yang mereka suka untuk menikmati sunset. Tanah terbuka di puncak Gunung Cikuray ini memang tak terlalu besar, tapi tak terlalu sempit juga untuk menampung puluhan pendaki sekaligus.
Suara bak lebah yang sedang terbang segera terdengar kala drone saya mengudara. Satu-satunya kelemahan dari drone yang saya miliki memang terletak pada suara propeller-nya yang berisik ketika menyala. Dengan cepat saya menerbangkan drone menjauhi puncak gunung dan menangkap gambar dari sudut yang tak bisa digapai oleh mereka yang hanya membawa DSLR atau mirorrless.
Sungguh saya dibuat terkagum dengan pemandangan yang berhasil ditangkap oleh drone. Saya menikmati view dari drone yang di transmisikan ke remote controller yang terhubung langsung dengan smartphone saya. Dengan drone, saya bisa terbang tinggi tanpa harus terbang.
Sampai sejauh ini semuanya aman. Dengan penuh keceriaan saya merekam beberapa footage dan menangkap gambar menggunakan drone yang saya kendalikan secara manual.
- Baca Juga: Serangan Bagas di Gunung Cikuray
Hal yang tidak diinginkan mulai datang ketika saya mengaktifkan intellegence mode pada drone saya. Intellegence mode merupakan mode pintar yang ditanamkan pada drone yang membuat drone tersebut bisa bekerja secara otomatis sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh sang pilot drone. Saya ingat mode yang saya aktifkan saat itu adalah Home Lock.
Home lock merupakan sebuah fitur di mana drone akan mengunci suatu titik yang diperintahkan oleh sang pilot drone, lalu kemudian drone tersebut akan berputar 360° mengitari titik tersebut dengan kecepatan dan arah (apakah searah jarum jam atau berlawanan) yang diatur oleh sang pilot.
Di putaran pertama, semua masih berjalan lancar. Drone berputar seperti yang saya mau. Sampai akhirnya di putaran kedua, tiba-tiba saja komunikasi antara drone dengan remote controller-nya terputus. Saya tidak bisa melihat gambar yang ditangkap oleh kamera drone, sekaligus tidak bisa mengendalikannya. Kini drone berputar tanpa ada yang mengendalikan.
Mendapat kondisi yang seperti itu, saya pun panik. Saya berteriak kepada salah seorang teman kalau drone saya tidak bisa dikendalikan. Tombol RTH (return to home) yang akan mengembalikan drone ke posisi awal sebelum diterbangkan pun tak berfungsi ketika saya tekan.
Di tengah kepanikan, saya tidak lagi bisa berpikir jernih. Yang ada di otak saya waktu itu hanyalah bagaimana cara menyelamatkan drone saya. Saya tidak ingin kehilangan drone yang sudah menemani saya selama 3 tahun dan saya beli dengan harga yang tak bisa dibilang murah.
Ketika tiba-tiba saja drone terbang rendah ke arah saya, dengan jalur yang masih berputar, saya nekat melompat untuk menangkapnya. Seperti Gianluigi Buffon yang melompat dan berusaha menangkap bola yang ditendang ke arah sudut kanan atas tiang gawang oleh lawan, begitulah saya melompat dan menangkap drone yang masih terbang itu.
Drone berhasil saya tangkap, tapi sialnya saya lupa kalau itu adalah puncak gunung dengan tanahnya yang tidak datar dan berbatu, bukan lapangan bola dengan tanah berumput yang agak lembut. Badan saya terjatuh ke tanah dan sialnya dahi saya menghantam ujung batu besar yang lokasinya tidak jauh dari shelter. Drone selamat, namun tidak dengan saya.
Beradu dengan ujung batu, dahi saya sobek. Darah mengucur deras dari rongga yang terbuka di dahi saya tersebut dan pandangan saya sempat gelap selama beberapa detik sebelum akhirnya saya terbangun sendiri dan bangkit berdiri.
Musibah Berganti Berkah
Beberapa orang yang melihat peristiwa itu, diantaranya adalah Helena dan juga sukarelawan Gunung Cikuray via Tapak Jerot yang sedang duduk di depan shelter, Kang Utang dan Kang Maun, dengan cepat menghampiri saya. Wajah Helena pucat melihat kondisi saya yang bercucuran darah segar. Jujur, sampai saya berdiri, saya tidak sadar kalau dahi saya sudah sobek dan darah mengalir deras. Barulah ketika Helena datang menghampiri dan memegang dahi saya, saya sadar kalau ada yang tidak beres.
Tanpa basa basi saya didudukkan di atas batu oleh Kang Utang, tak jauh dari shelter. Menggunakan tisu dan alkohol, ia coba membersihkan dahi saya yang penuh tanah. Dari jatuh sampai bangkit dan didudukkan itu, darah masih terus mengalir. Wajah Helena memutih, ia terlihat begitu panik. Saya yang terluka (dan merasa biasa saja), tapi kok dia yang paniknya luar biasa?
Dengan kesadaran yang sudah kembali pulih, saya meminta Helena untuk mengambil tas P3K di tas saya di dalam tenda. Saya memang selalu membawa obat-obatan lengkap setiap kali ingin mendaki. Anehnya, sebelum berangkat mendaki, saya membeli beberapa kasa dan memasukkannya ke dalam tas P3K ini. Seolah saya sudah tahu kalau saya ingin mendapatkan celaka di pendakian nanti.
Rencana menikmati senja pun berubah menjadi menolong orang bodoh yang terluka karena ulahnya sendiri. Saat sedang dibersihkan lukanya, saya pun tiba-tiba teringat tentang drone saya dan menanyakan di mana keberadaannya. Ya, di tengah kondisi seperti itu, saya masih tidak memedulikan diri saya dan jauh lebih sayang dengan drone. Untung saja drone sudah diamankan oleh teman saya yang bernama Yudho dan saya pun menjadi sedikit lega.
Saya benar-benar tidak merasakan sakit dari luka yang menganga di dahi. Justru saya merasakan sakit di daerah lain, yaitu di lutut yang ternyata ikut sobek dan jari telunjuk kanan yang terluka karena menghajar propeller. Dengan kompak, padahal belum pernah bertemu sebelumnya, Helena dan Kang Utang membersihkan luka-luka di tubuh saya.
Saat sedang dibersihkan itu saya hanya berucap dalam hati, “Jangan sampai kenapa-kenapa dong. Besok saya harus turun dan tak ingin merepotkan orang lain.”
Saya teringat akan ucapan teman saya yang singkat namun tegas, “Us, lebih mudah membawa mayat turun daripada orang yang cedera.” Karena saya tidak mati, maka saya tidak ingin cedera. Seandainya cedera pun, paling tidak saya tidak menyusahkan orang lain.
Beruntung suhu di puncak Gunung Cikuray ini begitu dingin. Darah mengucur tak begitu lama dan segera membeku. Usai dibersihkan dan diberi obat merah, kepala saya dibebat dengan menggunakan kasa dan kemudian ditutup dengan menggunakan buff agar kulit didahi saya menempel dan tidak terlihat seperti orang yang baru saja kecelakaan.
Serupa dengan luka di kepala, luka di daerah lainnya pun diperlakukan sama. Bagian-bagian terluka tersebut diolesi obat merah, ditutupi kapas, dan dikencangkan dengan menggunakan kasa. Yang berbeda hanyalah bagian-bagian tersebut tidak ditutupi lagi oleh kain (buff) seperti luka yang ada di dahi. Total luka yang saya dapat adalah 1 luka sobek di dahi, 1 sobek di lutut, 3 goresan di hidung, dan 1 jari telunjuk yang terkupas.
Pertolongan yang cepat dari Kang Utang, Kang Maun, Helena, dan beberapa teman yang lain membuat saya masih bisa menikmati senja. Matahari pun seolah bergerak turun dengan lambat, menunggu saya untuk dapat berpamitan. Saya, yang dibantu oleh Helena, segera berdiri dan menatap ke arah sang surya. Wajah Helena yang tadi putih pucat sudah kembali penuh sukacita. Untung saja saya masih bisa merasakan momen tersebut bersama orang yang tersayang, meskipun dengan kondisi “terluka”.
Bak sebuah cerita telenovela yang berakhir bahagia (bukan sinetron azab yang berakhir dengan duka yang berlipat kali ganda), sore yang diawali dengan indah dan disusupi oleh sebuah musibah itu ditutup dengan penuh berkah. Ya, begitulah orang Indonesia, selalu bisa mengucapkan kata “untung saja ….” ditengah masalah yang mendera.
Lembayung senja lantas menjadi latar yang cantik bagi siluet saya dan Helena. Matahari pun perlahan menghilang dari pandangan dan langit gelap menjadi perintah tak langsung bagi saya dan teman-teman lainnya untuk kembali ke dalam tenda. Saya harus beristirahat, tak boleh lagi ada drama, sebab esok hari saya harus pulang dan bertemu dengan keluarga.
*****
Pengalaman kecelakaan di Gunung Cikuray ini akan selalu terpatri dalam ingatan saya. Jangan sampai kebodohan yang seperti ini terjadi untuk kedua kalinya. Drone mungkin memang mahal harganya, tapi nyawa tak ada cadangannya. Tuhan sungguh masih sayang dengan saya. Ia memberikan pelajaran yang sangat berharga. Terima kasih Cikuray, Terima kasih drone, dan terima kasih semesta 🙂
The ideal man bears the accidents of life with dignity and grace, making the best of circumstances.
–Aristotle