Menega Cafe: Menyantap Seafood, Menyapa Senja
Tak terasa ternyata 1 jam lagi waktu menunjukkan pukul enam. Seharian bermain di Pantai Suluban telah membuat kulit menjadi hitam legam dan wajah menjadi kusam. Di langit sana matahari akan segera terbenam, sinarnya tak lagi menusuk tajam, dan dalam gelapnya malam ia akan tenggelam. Namun semangat untuk menikmati sunset masih belum redam. Kami tak ingin hari yang dimulai bahagia ini ditutup dengan muram. Mobil pun dipacu cepat ke Pantai Jimbaran, menuju sebuah tempat makan bernama Menega Cafe yang terkenal akan seafood, senja, dan bintang malamnya yang temaram.
Menjelajah Menega Cafe
Dari depan, Menega Cafe tampak biasa saja. Restoran ini berbaris rapi dengan beberapa restoran seafood lainnya di belakang Le Meridien Hotel, dipisahkan hanya oleh jalan conblock memanjang yang menjadi jalan sekaligus area parkir. Namun seperti yang orang tua saya bilang, kita tak boleh menilai sesuatu hanya dari luarnya saja.
Api besar yang timbul dari kelapa yang dibakar menjadi sambutan hangat bagi saya sore itu. Bau ikan laut yang dibakar di atas api tersebut langsung menyeruak masuk ke hidung dan segera membuat perut ini semakin berguncang. Rupanya lapar ini sudah tak tertahan.
Tepat di sebelah area membakar ikan, beberapa binatang laut yang masih hidup terpajang di dalam aquarium. Batas antara hidup dan mati bagi para binatang laut itu hanya dipisahkan jarak yang begitu dekat. Di sinilah para pelanggan bisa memilih ikan atau binatang laut apa saja yang ingin dimasak untuk dihidangkan. Dari area kehidupan di sebelah kanan, binatang laut yang menjadi pilihan itu akan menemui ajalnya di ruangan sebelah kiri. Tersedia beberapa pilihan paket menu, tapi kalau mau memilih sendiri tanpa menggunakan paket pun bisa.
Urusan milih-memilih ikan lantas saya serahkan pada beberapa orang teman. Untuk memilih, saya bukan ahlinya, tapi urusan menghabiskannya, saya jagonya. Kaki pun melanjutkan langkahnya menyusuri area dalam Menega Cafe. Meja kayu tertata dengan sangat rapi di area dalam ini. Tak ketinggalan lampu-lampu kuning yang tertutup kelambu kecil menggantung cantik di langit-langitnya. Beberapa orang pelanggan terlihat baru selesai menyantap hidangan. Saya pun berjalan terus menuju ke area belakangnya.
- Baca Juga: Lezatnya Babi Kuah Pasar Gede
Saya sungguh terkejut ketika melihat area belakangnya yang terbuka (outdoor). Meja-meja kayu yang terbungkus kain putih, dengan bentuknya yang bundar atau persegi panjang, sudah tertata dengan sangat baik di atas pasir pantai Jimbaran yang halus. Dari area outdoor ini, pemandangan Pantai Jimbaran yang melengkung indah terlihat jelas tanpa ada lagi yang membatasinya. Horizon nun jauh di sana pun menyapa dengan penuh kehangatan.
Sore dan Matahari
Sambil menunggu hidangan datang, saya memutuskan untuk berjalan di sekitar pantai Jimbaran bersama beberapa pengunjung lainnya, sementara teman-teman saya yang lainnya lebih memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan sembari dibelai lembut oleh angin yang berhembus dari arah pantai.
Sukacita nampak dari semua pengunjung yang datang di Pantai Jimbaran sore itu. Anak-anak kecil terlihat begitu senang terbasuh ombak di pinggir pantai, beberapa pasangan muda nampak asik berjalan sambil berpegangan tangan, rombongan pemuda terlihat seru memainkan layangan yang sudah menjadi bagian dari budaya Bali, dan anjing-anjing berlarian di sepanjang garis pantai.
Di area laut, perahu nelayan terlihat terombang-ambing dengan tali yang sudah tertambat di dasar laut dan bule-bule begitu riang saat papan surfing yang mereka naiki diangkat oleh gerombolan ombak yang datang menyerbu. Dari langit, awan putih masih menggelayut di bawah langit biru yang sudah menuju gelap. Sungguh positif aura di Pantai Jimbaran sore itu.
Mendekati pukul 18:30 WITA, langit yang tadinya berwarna biru langsung berubah menjadi oranye. Sang penguasa langit coba memberi tanda kalau ia ingin segera pamit undur diri. Awan-awan putih terlihat menari mengiringi kepergian sang surya.
Di balik garis batas imajiner di belakang laut, ia menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan hilangnya sang mentari, pengunjung lainnya pun perlahan-lahan menghilang dari Pantai Jimbaran.
Memanjakan Lidah dan Mengenyangkan Perut
Saat sedang asyik menikmati senja, hidangan sebenarnya sudah datang. Namun saya lebih memilih menomorduakan makanan dan lebih mengutamakan melihat proses terbenamnya sang surya. Beberapa kali pun dilihat, di pinggir pantai manapun, proses sunset itu selalu memuaskan mata dan menenangkan hati. Saat kembali, berbagai hidangan sudah tersaji di atas 2 meja panjang yang digabung menjadi satu. Mata dan hati sudah kenyang, sekarang waktunya untuk perut.
Sore itu ada ikan kakap merah, ikan Cue, ikan tongkol, cumi, kerang, dan juga udang. Untuk menemani rombongan hewan laut itu, disajikan juga sayur kangkung dan nasi. Orang Indonesia mana yang bisa tidak makan nasi setelah seharian lelah beraktivitas, kan? Supaya tenggorokan tidak tersendat dan nuansanya pantai banget, dihadirkan pula kelapa asli sebagai minumannya.
Dalam hitungan menit, ikan yang tadinya utuh pun dikoyak habis. Sambal yang berada di mangkuk kecil pun harus diisi berulang kali karena semua dari kami ‘gila’ pedas. Ikannya begitu garing, cuminya begitu empuk, sambalnya begitu terasa. Selama beberapa menit pun meja senyap karena semua sibuk mengisi perut.
Seperti sudah menjadi ‘tradisi’, usai kenyang dan menghabiskan semua makanan yang disajikan, kami pun menjadi bego selama beberapa saat. Lampu warna-warni segera dinyalakan oleh pihak Menega Cafe untuk menerangi malam di pinggir pantai Jimbaran. Bintang-bintang pun perlahan muncul menghiasi langit yang gelap.
Saat sudah bisa kembali berjalan, kami pun pamit dan meninggalkan Menega Cafe yang sudah menghadirkan hidangan seafood dengan latar senja di Pantai Jimbaran.
Review
Untuk soal nuansa, Menega Cafe ini juaranya. Berlatarkan Pantai Jimbaran dan senja yang memesona, ini merupakan salah satu pengalaman makan terbaik yang pernah saya miliki. Penempatan meja-meja sederhana di pinggir pantai ini menurut saya brilian. Sesuatu yang sederhana tapi bisa memberikan pengalaman yang mahal harganya. Tanpa senja (mau makan di malam hari misalnya), nuansanya juga tetap asyik.
Bagaimana dengan rasa makanannya? Bagi saya, tingkat kematangan makanan yang disajikan sudah cukup baik. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tidak adanya bumbu atau rasa yang spesial dari makanannya. Jadi ya xoxo aja. Mungkin bisa ditambahkan cita rasa khusus yang menjadi khas dari Menega Cafe.
Dengan view dan suasana yang luar biasa ‘mewah’, ditambah lagi dengan rasa makanannya yang cukup enak, biaya makan di sini tergolong mahal. Rombongan saya sendiri waktu itu menghabiskan > Rp 2,2 juta.
Lokasi
Jl. Four Seasons Muaya Beach, Jimbaran, Kec. Kuta Sel., Kabupaten Badung, Bali
Buka: 11:00 – 23:00 WITA
Part of the secret of a success in life is to eat what you like and let the food fight it out inside.
–Mark Twain