Terbit dan Tenggelam di Puncak Gunung Cikuray
“Mana yang kamu lebih suka, sunset atau sunrise?”
Pertanyaan itu bagi saya ibarat disuruh memilih siapa yang lebih kamu sayang, ayah atau ibu. Keduanya sama-sama indah, sama-sama cantik. Kenapa harus memilih salah satu di antaranya kalau bisa menikmati keduanya?
Ada satu tempat dimana kalian bisa menikmati sunrise dan sunset, tanpa harus berpindah untuk mengejarnya. Tempat itu adalah puncak gunung, titik tertinggi dari suatu daerah. Dari atas sana, kalian bisa menikmati pemandangan dan pengalaman indah yang diberikan matahari tanpa perlu memilihnya. Dan ini adalah sedikit pengalaman saat menikmati fenomena alam tersebut dari puncak Gunung Cikuray di Garut, Jawa Barat.
Berkawan Senja
Sekitar pukul 17:00 WIB, sekumpulan pendaki mulai berkumpul di puncak Gunung Cikuray. Satu per satu dari mereka mulai keluar dari tenda. Berselimut jaket tebal, bercelana panjang yang menutup hingga ke mata kaki, bersepatu gunung yang solid, dan dengan tangan yang terbungkus hangat oleh gloves, mereka berbaur di satu titik yang sama, titik dengan ketinggian 2821 MDPL yang mencadi puncak Gunung Cikuray.
Dari atas sana, pemandangan di bawah pun dapat terlihat jelas. Meskipun kecil, tapi saya dapat melihat beberapa petak sawah yang sedang hijau, pedesaan dengan deretan rumah, dan juga jalan raya yang bentuknya seperti tubuh ular yang sedang meliuk mengejar mangsa. Sebuah pemandangan yang menakjubkan bagi saya. Tak hanya itu, gunung-gunung seperti Guntur dan Papandayan yang berada di kejauhan sana pun terlihat jelas dan sama siapnya untuk menyambut terbenamnya sang mentari.
Satu jam sebelum proses itu tiba, alam seolah sudah memberi tanda kalau senja ini akan tampil dengan baik. Sebagai sang raja, matahari seolah sudah memberi perintah kepada pasukannya untuk bersiaga di posisinya. Rombongan pasukan awan diminta untuk tetap berada di langit dan tidak jatuh ke bumi, gulungan kabut diminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, angin sebagai pasukan tak kasat mata diharapkan tidak berhembus terlalu kencang, dan pepohonan serta dedaunan diminta untuk memberikan oksigen terbaik bagi para manusia di puncak sana.
Matahari pun memiliki tugas bagi dirinya sendiri. Perlahan-lahan ia mengendurkan kekuatan sinarnya yang ia kirimkan dari jarak 149,6 juta kilometer nun jauh di sana. Bakat seninya pun ia keluarkan. Tanpa menggunakan kuas, sang mentari mulai mengubah langit yang biru menjadi sedikit lebih gelap. Warna oranye yang bergradasi dengan pink dilukis cantik di atas kanvas yang sudah berlatar biru gelap. Terus aktif melukis, ia kerap mengubah warna latarnya itu, dengan tetap dirinya yang menjadi titik sentralnya.
Peristiwa sang mentari yang melukis langit itu berlangsung selama beberapa menit saja. Kami hanya bisa menyaksikan dan tertegun di atas panggung yang sudah disediakan alam, dari tempat yang belum tentu semua orang bisa menggapainya. Menggunakan kamera yang hadir dalam berbagai bentuk, saya dan beberapa pendaki lainnya mengabadikan proses itu. Berbagai macam pose terekam di dalam kamera yang bekerja keras untuk menulis ke dalam memory card.
Sebelum benar-benar pamit, sang surya meminta awan untuk berkumpul menyelimuti pegunungan yang sudah sedari pagi ia sinari. Cat hitam ia tuangkan ke atas langit yang menjadi kanvas dan menimpa semua warna yang sudah ia guratkan sebelumnya. Kanvas itu pun menjadi gelap.
- Baca Juga: Rute Pendakian Gunung Lawu via Cetho
Agar tidak gelap total, ia meminta bulan untuk menggantikan posisinya. Namun matahari tahu kalau bulan tidak sebesar dan sekuat dirinya. Ia butuh teman agar tidak kesepian, karena matahari tahu tidak semua mahluk itu kuat untuk hidup berteman sepi. Ia pun mengirim bintang-bintang kecil untuk menemaninya dan membuat langit yang gelap menjadi cantik.
Setelah memanggil bulan dan bintang, ia pun pamit untuk beristirahat. Bersamaan dengan perginya sang mentari, para pendaki pun secara tertib kembali ke tendanya. Mereka berjalan menuju tenda dengan senyum yang masih menghiasi wajah. Pertunjukan sudah usai tapi keindahannya masih terasa. Di tengah malam yang baru tiba itu saya berucap dalam hati, “Besok pagi pasti tak kalah indahnya.”
Dan setelah mengucapkan hal itu sambil tak henti-hentinya bersyukur, saya dan pendaki lainnya pun beristirahat dalam keheningan malam.
Berteman Pagi
Alarm berbunyi dari smartphone saya sekitar pukul 04:30 WIB. Bunyinya yang kencang langsung membangkitkan kesadaran. Tangan ini dengan malas menggapainya dan lantas mematikannya. Malam sebelumnya saya memang sengaja mengaturnya untuk membangunkan saya pagi-pagi benar. Siapa yang ingin melewatkan momen untuk menyapa sang mentari pagi, kan?
Kesadaran sudah kembali pulih, namun dekapan dari sleeping bag masih begitu kuat. Badan ini sudah terlalu nyaman berpelukan dengannya sejak malam. Sulit sekali untuk dilepas. Tak perlu contoh yang terlalu sulit untuk keluar dari zona nyaman, bangun pagi di tengah suhu udara yang dingin untuk beraktivitas adalah salah satu contoh perjuangan keluar dari zona nyaman.
Melirik dari dalam tenda, keadaan di luar masih cukup gelap. Namun dari tenda sebelah, teman saya berteriak, “Ayo keluar, Us. Kumpulan awan yang membentuk karpet panjang sudah muncul.”
Kumpulan awan putih menjelang pagi itulah memang menjadi salah satu tanda kalau sebentar lagi sang penguasa langit akan hadir.
Sama seperti saat melihat sunset, para pendaki lain pun mulai beranjak ke puncak. Dari dalam tenda, sembari bersiap, saya bisa mendengar langkah mereka. Tak banyak perbedaan untuk persiapan melihat sunrise kali ini, yang menjadi tambahan hanyalah head lamp dan pemakaian sarung tangan yang lebih tebal. Begitu semua siap dan keluar, tubuh ini langsung disambut oleh dinginnya suhu udara (<14ºC) dan hembusan angin. Seperti seorang kekasih yang sudah lama tak bertemu, angin mendekap tubuh ini dengan kencang.
Dengan susah payah saya dan yang lain berjalan ke puncak. Badan bergetar hebat saking dinginnya. Namun ada 1 kebiasaan yang kerap saya lakukan ketika berada di puncak gunung, yaitu menghembuskan nafas dengan perlahan dan kuat dari mulut. Suhu udara yang dingin membuat udara yang saya hembuskan itu keluar bak kepulan asap. Maklum, Indonesia bukanlah Eropa yang memiliki musim dingin. Jarang sekali saya bisa melakukan hal itu. Ingin rasanya tiap winter tiba bisa menjelajah Eropa, tapi sayang isi dompet selalu menolaknya.
Sampai di puncak, pendaki rupanya sudah ramai, jauh lebih ramai dari momen sunset kemarin. Semuanya sangat antusias untuk menyambut matahari duduk kembali di singgasananya.
Proses matahari terbit dan tenggelam sebenarnya sama, hanya saja prosesnya yang dibalik. Jika sore hari matahari pergi, pagi ini ia kembali. Jika sore kemarin ia menghilang, kini ia datang. Aktor utama dan pendukungnya tetaplah sama.
Sekitar pukul 05:44 WIB, tanda-tanda matahari akan keluar dari tempat peristirahatannya untuk kembali bekerja sudah terlihat. Kanvas hitam nan gelap bernama langit itu mulai diberi garis horizontal tipis berwarna oranye. Untuk membuat langit lebih indah, awan-awan yang berbentuk gulali dipanggil untuk segera hadir di atas kanvas tersebut. Kabut-kabut tipis yang berwarna putih menari indah dengan bantuan hembusan angin.
- Baca Juga: Serunya Rute Pendakian Gunung Latimojong
Semakin bertambahnya waktu, semakin terang pula sinar yang dipancarkan. Langit hitam yang kelam perlahan berubah menjadi biru cerah yang bergradasi dengan warna putih. Rombongan pendaki yang sudah ramai pun penuh sukacita menyambut perubahan di langit itu. Udara yang tadinya dingin pun perlahan-lahan mulai menjadi hangat.
Sesekali matahari mengintip dari balik awan yang tebal. Sepertinya ia ingin melihat bagaimana keadaan di luar sana selama ia beristirahat semalam dan mungkin ia mencari waktu yang benar-benar tepat untuk tampil. Sepertinya karena terkejut melihat rombongan orang yang sudah begitu ramai di puncak Gunung Cikuray dengan berbagai macam kamera di tangan mereka, pagi itu matahari terlihat begitu malu. Ia tak membubarkan pasukan awannya dan tetap menyuruh mereka untuk berada di posisi masing-masing, posisi untuk menutupi dirinya.
Namun matahari bukanlah seperti pelita yang bisa ditutup gantang, ia terlalu perkasa dan sinarnya terlalu kuat untuk disembunyikan. Dengan sedikit kesabaran, akhirnya ia keluar dari balik awan dan menerangi kami semua. Senyuman dan tawa riang dari para pendaki yang tadinya terlihat samar-samar, akhirnya kini bisa terlihat dengan jelas.
Ada yang saling berpelukan, ada yang berlari-larian, ada yang tetap duduk terdiam, banyak sekali cara para pendaki mengekspresikan syukur pagi itu. Usai mata dan batin terpuaskan, kini saatnya bagi perut untuk dikenyangkan. Secara perlahan puncak dikosongkan. Para pendaki kembali ke tendanya masing-masing untuk sarapan, berkemas, dan kembali turun ke bawah sana 🙂
https://www.instagram.com/p/CDKl8cHH4DC/
He who binds to himself a joy Does the winged life destroy; But he who kisses the joy as it flies Lives in eternity’s sun rise.
–William Blake