Cerita & Rute Pendakian Gunung Lembu via Batu Sedong Asmiran
Perjalanan ke Purwakarta yang saya lakukan di awal tahun 2021 telah memberikan kesan yang begitu menyenangkan, khususnya saat melakukan pendakian Gunung Lembu via Batu Sedong Asmiran. Memiliki tinggi 792 MDPL dan rupa seperti lembu bila dilihat dari kejauhan, pendakian Gunung Lembu sukses memukau saya dengan karakteristik gunungnya dan juga pemandangan Waduk Jatiluhur yang menakjubkan ketika dilihat dari atas.
Buat kalian yang berencana ingin melakukan pendakian Gunung Lembu, berikut ini rute lengkapnya (berdasarkan pengalaman pribadi) yang dimulai dari ketinggian ±246 MDPL
*Disclaimer: Gunung ini bukan gunung untuk pemula.
Pos Pendaftaran – Pos Bayangan 1 (±15 Menit)
Mobil yang dikemudikan Chris langsung berhenti ketika melihat tulisan di sisi kanan jalan dengan kombinasi warna putih-oranye yang berbunyi, “Batu Ngerong Puncak Gunung Lembu”. Di balik tulisan tersebut, sudah berjajar rapi beberapa sepeda motor dan juga sebuah mobil.
“Kalau mau naik ke Gunung Lembu parkirnya di mana? Di sini, bisa?” Tanya Monik pada salah seorang warga, sambil menunjuk ke arah tempat parkir motor dan mobil.
Mendapat anggukan kepala dari warga tersebut, mobil Mazda2 berwarna putih yang kami tumpangi pun langsung meluncur masuk dan mencari posisi terbaik untuk beristirahat. Saya, Monik, Billy, dan Helena lantas keluar dari mobil yang mesinnya sudah berhenti dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pendakian, seperti: sepatu trail, air minum, uang, dan juga dry bag.
Di depan tempat parkir mobil itu, sebuah batu yang sangat besar berdiri dengan gagahnya. Batu itu seolah menyapa kami yang baru saja hendak naik ke Gunung Lembu. Saya menduga batu besar inilah yang bernama Batu Ngerong.
Tepat di atas batu itu, terdapat semacam pondok 2 lantai dengan 8 sisi yang terbuat dari kayu. Itulah Villa Payung, salah satu ikon Kecamatan Sukatani, tempat Gunung Lembu berada. Villa payung ini menjadi salah satu tempat alternatif untuk menikmati pemandangan Purwakarta yang indah dari ketinggian tanpa perlu terlalu lelah mendaki Gunung Lembu.
Di sebelah batu besar itu, terdapat sebuah warung sederhana yang berfondasikan kayu dan beratapkan asbes. Monik dan Helena langsung melangkah ke sana karena di warung itu terdapat juga toilet untuk mengganti pakaian dan juga buang air kecil. Secara bergantian kami menggunakan toilet tersebut karena memang hanya ada 1 toilet saja.
Keluar dari toilet, Monik rupanya sudah membeli tiket pendakian untuk kami berlima dari ibu penjaga warung. Tak lupa ia menuliskan nama kami di buku yang memuat daftar pendaki yang akan naik hari itu.
“Jalur pendakiannya lewat mana?” Tanya Monik kepada ibu penjaga warung.
“Lewat situ.” Jawab sang ibu sambil menunjuk gerbang kecil dari bambu yang terletak di antara Batu Ngerong dan juga warung miliknya.
Setelah dirasa sudah siap dan melakukan double check terhadap barang bawaan, kami pun akhirnya memulai pendakian Gunung Lembu. Dengan masih sangat bersemangat, kami melangkah pasti melalui gerbang bambu yang ukurannya pas untuk 2 orang yang saling berpapasan. Belum ada keluhan, yang muncul hanyalah senyuman.
Di fase awal ini, kami langsung disambut oleh hutan bambu. Di sisi kiri dan kanan jalur pendakian, pohon bambu melengkung dengan sangat bebas, membuatn kami seperti berjalan melewati sebuah lorong. “Pantas saja tadi gerbangnya terbuat dari bambu dan jalur awal melewati Batu Ngerong pun terbuat dari anyaman bambu yang disusun mendatar di atas tanah.” Ucap saya dalam hati ketika melalui hutan bambu ini.
Sekitar 5 menit berjalan, jalur yang kami lalui pun perlahan-lahan berubah. Dari jalur tanah yang cukup datar, menjadi jalan berbatu yang menanjak. Di kiri dan kanan jalan yang kami lalui pun bukan hanya diisi oleh bambu, tapi ada juga semak belukar dan pepohonan besar. Tidak ketinggalan bebatuan yang ukurannya 2 kali badan kami terselip di antara pepohonan besar itu.
Langkah mulai melambat, otot-otot kaki bekerja semakin keras, keringat mulai membanjiri badan, dan nafas sudah tak lagi beraturan. Di sebuah warung kosong yang ada di pinggir tebing, kami beristirahat sebentar sambil menikmati pemandangan Waduk Jatiluhur yang sudah mulai dapat terlihat dan Gunung Cilalawi di kejauhan yang konon katanya hanya berjarak 11 KM dari Gunung Lembu ini.
Tak ada papan atau tanda yang yang menunjukkan kalau ini adalah pos 1. Di era pendakian sekarang ini, setiap pos di gunung yang ada di Indonesia umumnya sudah diberi tanda agar pendaki tahu sudah sejauh mana mereka melangkah. Kami pun segera melanjutkan perjalanan ketika detakan jantung sudah berangsur normal.
Pos Bayangan 1 – Pos 1 (±10 Menit)
Ada 1 hal yang saya kesalkan di pendakian awal menuju pos 1 ini, yaitu nyamuk. Dengan setia, mulai dari gerbang awal pendakian, nyamuk-nyamuk itu mendampingi dan menyerang kami secara membabi buta. Badan ini pun akhirnya mengeluarkan histamin guna merespon alergen yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk tersebut. Alhasil badan pun bentol, kemerahan, dan menjadi gatal.
Langkah kami percepat. Kami berharap semakin tinggi kami berada, semakin malas nyamuk-nyamuk itu untuk mengikuti kami. Heran, nyamuk kok hobi mendaki juga. Padahal di bawah sana banyak mangsa empuk yang bisa diburu.
Bantuan tangan manusia masih cukup terasa dalam perjalanan menuju pos 1 ini. Hal itu ditandai dengan masih adanya jembatan bambu yang dibangun untuk membantu para pendaki menyusuri hutan Gunung Lembu. Perlahan namun pasti, kami terus berjalan melewati jembatan bambu itu. Tak lama berselang, area yang kami pijak berganti menjadi tanah basah, tak lagi berbatu seperti yang kami lalui di awal tadi.
Langkah kami semakin yakin saat melihat papan hitam yang tergantung si sebuah pohon bertuliskan “Puncak Lembu” berwarna putih yang diiringi dengan arah panah pendakian. Sampai di titik ini, sudah tak ada lagi bambu. Tanaman kesukaan panda itu sudah beralih menjadi pepohonon besar nan hijau.
Saat sudah mulai lelah, mata kami dihadapkan dengan tulisan “Selamat datang di Pos 1 Sedong Asmiran dan Rumah Pohon”. Tak jauh dari tulisan itu, batu besar berdiri tegap dan mengagetkan kami. Ukurannya luar biasa besar, jauh lebih besar dari Batu Ngerong. Di sekitar Batu Sedong Asmiran itu, beberapa pohon terlihat seperti berdiri memutari batu itu, menjaganya agar tidak terjatuh. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya orang-orang yang tinggal di bawah bila batu besar ini menggelinding dan jatuh.
Pos 1 berada tepat di balik Batu Sedong Asmiran. Untuk bisa mencapainya, kami harus berjalan memutarinya dari sisi sebelah kanan, dengan terlebih dahulu menaiki tangga kayu yang tak memiliki pegangan. Untung saja waktu itu kondisi cuacanya bagus. Jika sedang hujan, saya yakin medan berbatu di sisi Batu Asmiran ini akan licin dan cukup sulit untuk dilewati.
Sebelum tiba di pos 1, terdapat rumah pohon dengan jembatannya yang melayang. Dari atas sini, Waduk Jatiluhur terlihat lebih cantik daripada di Pos Bayangan 1 dan hembusan angin di tempat ini pun lebih terasa kekuatannya. Sayang, rumah pohon ini tidak terawat. Jembatannya sudah lapuk dan tidak stabil. Kami pun hanya melihatnya sebentar dari kejauhan dan langsung melanjutkan perjalanan ke pos 1 yang jaraknya sudah sangat dekat.
Perasaan lega langsung menghinggapi ketika sebuah warung besar, dengan tempatnya yang sederhana dan nyaman untuk beristirahat, nampak dihadapan kami. Tepat sebelum warung itu, papan hitam kecil bertuliskan “Pos 1” berwarna putih terlihat menempel di sebuah pohon besar.
“Ah, sampai juga di Pos 1.” Gumam saya dalam hati.
Kami pun beristirahat sejenak di pos 1 ini, menenangkan kaki yang sedari tadi terus bekerja keras, mengeringkan badan yang sudah basah, dan membiarkan jantung ini kembali ke ketukannya yang normal untuk beberapa saat. Ditambah beberapa tegukan air yang masuk ke dalam tenggorokan, badan ini pun kembali segar dan siap untuk melanjutkan perjalanan.
Pos 1 – Pos 2 (±40 Menit)
Nyanyian alam berkumandang mengiringi langkah kami menuju ke Pos 2. Seolah tahu kami butuh hiburan, hewan-hewan yang tak kelihatan bentuk dan rupanya itu pun menemani langkah kami dalam wujud suara yang saling bersahut-sahutan. Tak jelas bunyi apa yang mereka keluarkan dan artinya, tapi entah kenapa suara itu begitu nyaman di telinga. Orang yang melakukan solo hiking pun tak akan kesepian mendaki Gunung Lembu ini.
Baru sekitar 5 menit berjalan, lagi-lagi kami dihadapkan dengan pemandangan batu yang spesial. Tidak seperti Batu Sedong Asmiran dan Batu Ngerong yang ukurannya besar, batu-batu kali ini ukurannya jauh lebih kecil. Yang membuatnya spesial adalah urutan batunya. Di spot ini, bebatuan besar itu seperti sedang berbaris, dengan sebuah pohon besar sebagai pemimpin barisannya. Lucunya, ada 2 batu besar yang dipeluk erat oleh akar besar dari pohon itu. Spot di mana batu besar dipeluk oleh akar pohon inilah yang dikenal sebagai Batu Kaca.
Tidak tahu kenapa diberi nama Batu Kaca, begitu pula dengan Batu Sendang Asmiran dan Batu Ngerong. Pendakian yang kami lakukan tanpa guide membuat kami tidak memiliki siapa-siapa untuk ditanya. Pastinya pemberian nama itu tidaklah sembarangan dan ada cerita dibaliknya. Batu-batu besar yang ada di Gunung Lembu ini mengingatkan saya dengan beberapa pantai di Belitung. Mungkinkah dulunya Gunung Lembu merupakan lautan yang kemudian mengering?
Melewati Batu kaca, rombongan kami dipertemukan dengan jalur mendaki yang curam. Beberapa tangga masih dibuat untuk membantu para pendaki. Kali ini tak ketinggalan juga beberapa tali yang sudah diikatkan dari pohon ke pohon agar pendaki bisa naik dengan bantuan tangan.
Semakin ke atas, jalur tidak menjadi semakin santai, justru semakin berat. Belum ada bonus di perjalanan menuju Pos 2 ini. Yang ada hanyalah tanjakan, akar-akar yang menyeruak dan melintang, tanah yang licin, dan terus saja berulang seperti itu. Inilah alasannya saya bilang Gunung Lembu ini tidak cocok untuk pemula. Entah apa yang ada di pikiran mereka yang menulis kalau gunung ini sangat cocok bagi pemula.
Perjalanan panjang dan sekaligus rute terjauh di Gunung Lembu pun diakhiri dengan bertemunya kami dan gundukan batu besar (lagi-lagi batu). Di antara bebatuan besar itu, tumbuh sebuah pohon yang ditubuhnya ditempelkan sebuah plang bertulisna “Pos 2”. Kami kemudian beristirahat sejenak di pos ini.
Pos 2 – Batu Lembu (±15 Menit)
Alam ini benar-benar tak ingin membuat kami kesepian. Jika disepanjang perjalanan dari Pos Pendaftaran hingga ke pos 1 ditemani oleh nyamuk hutan, di perjalanan dari Pos 2 menuju Batu Lembu ini kami ditemani oleh monyet-monyet liar. Kami pun menjadi ekstra hati-hati, takut kalau ada barang bawaan kami yang diambil. Pengalaman buruk dengan monyet di Uluwatu membuat saya menyamaratakan semua monyet liar itu sangat berbahaya.
Sebelum meninggalkan pos kedua menuju Batu Lembu, kami berjumpa dengan spot batu yang tak kalah unik lainnya. Batu ini diberi nama Batu Anjing. Alasannya simple, karena bentuk batunya mirip seperti kepala anjing. Namun semakin lama dilihat, bagi saya batu ini lebih terlihat seperti kepala kadal ketimbang kepala anjing.
Perjalanan ke Batu Lembu ini merupakan perjalan yang cukup pendek dan rutenya tidaklah terlalu sulit. Beberapa tali masih terlihat melilit beberapa badan pohon dan menggantung dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Sampai akhirnya muncullah sebuah pondok dari bambu dengan sebuah warung sederhana di depannya. Itulah perhentian kami selanjutnya. Persis di sebelah warung itu, spot Batu Lembu terlihat jelas dan memukau.
Sebentar kami mampir di warung tersebut, menenggak minuman isotonik yang digabungkan dengan es batu. Alirannya begitu terasa, masuk dari mulut dan menembus hingga ke dalam perut. Kenikmatan yang tiada taranya. Mungkin akan semakin lengkap bila dipadukan dengan mie instan rebus dan telur setengah matang. Namun kami ingat, setelah pendakian ini, kami harus mampir ke Sate Haji Yetti. Perut benar-benar harus kami kosongkan agar bisa membabat habis lusinan tusuk sate di sana.
Beberapa menit berselang, kami pun melangkahkan kaki ke spot ultimate dari Gunung Lembu, yaitu Batu Lembu. Seperti saya bilang tadi, kalau gunung ini diberi nama Lembu karena bentuknya seperti Lembu dan bebatuan besar yang menggantung di pinggir tebing bernama Batu Lembu ini adalah punuknya. Ke arah Batu itu kami melangkah dan di sanalah kami membunuh waktu.
Pemandangan dari Batu Lembu begitu spektakuler. Gunung Cilalawi terlihat di depan sana, berdampingan dengan Waduk Jatiluhur yang luas banget. Di sisi kanan, Gunung Parang terlihat mengekor di belakang. Hijaunya sawah dan pepohonan Purwakarta terlihat begitu menyegarkan dari atas sini, bersanding dengan birunya langit yang menawarkan kebebasan. Puluhan atau bahkan ratusan bagan diletakkan seperti tidak beraturan di atas waduk, menjadikan Jatiluhur terlihat seperti kue yang sedang ditaburi meises.
Sesekali kami berfoto dan berjalan ke pinggir Batu Lembu yang sudah diberi pembatas, tapi akhirnya kami lebih banyak diam dan memandangi sekeliling. Cara terbaik menikmati pesona alam bagi saya adalah dengan diam. Kami membiarkan tubuh ini dibelai lembut oleh angin yang berhembus kencang di atas sana dan otak ini berfantasi melihat eloknya alam yang membentang di depan. Beberapa burung elang terlihat asyik beterbangan di atas kami, serta rombongan kera mengawasi dari kejauhan, bersiap untuk mengambil barang bawaan kami saat kami lengah.
Sulit rasanya beranjak dari tempat ini. Kami sudah begitu terpikat. Namun masih ada perjalanan yang harus kami lanjutkan.
Batu Lembu – Puncak Gunung Lembu (±5 Menit)
Sebenarnya Batu lembu merupakan klimaks dari pendakian Gunung Lembu ini. Pemandangan terbaik di Gunung Lembu ya dari Batu Lembu ini. Namun menurut beberapa orang, belum lengkap sebuah pendakian bila tidak sampai ke puncaknya. Kami pun mengaminkan hal itu dan segera bertolak menuju ke puncak.
Jarak puncak dengan Gunung Lembu rupanya begitu pendek. Hanya dalam kurun waktu 5 menit, kami sudah sampai di puncaknya. Tak ada pemandangan yang istimewa di atas sini. Hanya berisi lahan kosong yang cukup luas bagi para pendaki yang hendak mendirikan tenda dan bermalam.
Namun ada satu hal yang wajib dan tidak bisa ditampik ketika berhasil menggapai puncak dari suatu gunung, yaitu berfoto dengan papan atau tugu yang bertuliskan “puncak gunung xxxxx” dan papan itu pun ada di Gunung Lembu ini. Berfoto dengan papan keterangan puncak menjadi pembuktian dan penegasan (kepada netizen yang julid) kalau kita memang berhasil menggapainya.
Harus selalu diingat, bahwa puncak bukanlah segalanya. Kembali ke puncak dan bertemu dengan orang-orang yang disayang menjadi tujuan yang paling utama. Selesai ritual berfoto dengan puncak Gunung Lembu, kami pun turun kembali ke tempat kami memulai pendakian. Pendakian selesai dengan manis dan Gunung Lembu sukses memberikan kesan yang menyenangkan 🙂
Info dan Saran
- Jangan lupa membawa lotion anti nyamuk bila ingin melakukan pendakian Gunung Lembu.
- Bawa persediaan air yang cukup karena gunung ini tidak ada sumber air. Jika beruntung, kalian bisa menemukan warung yang buka di Pos 1 dan Batu Lembu.
- Kalau bisa, kalian harus menginap di Gunung Lembu ini. Kenapa? Karena salah satu pesona GUnung Lembu ada saat malam, ketika gemerlap lampu dari Waduk Jatiluhur muncul dan juga ketika pagi, saat matahari baru mulai merekah.
- Jangan lupa bawa sarung tangan.
- Biaya pendakian Rp 10.000/orang (tidak menginap) dan Rp 15.000/orang (menginap)
- Dalam perjalanan menuju Pos 1, masih terdapat toilet umum.
Tambahan
Gunung Lembu memiliki 2 jalur pendakian, yaitu via Panyindangan dan via Batu Sedong Asmiran. Keduanya berada di daerah yang sama dan hanya beda kampung saja. Perbedaan mendasar hanya terletak pada jalurnya. Bila melakukan pendakian via Panyindangan, kalian akan bertemu puncak terlebih dahulu baru kemudian Batu Lembu. Sedangkan via Batu Sedong Asmiran adalah kebalikannya.
Selain itu, bila kalian memilih mendaki via Panyindangan, kalian akan melewati 2 petilasan yang kabarnya sudah berusia ratusan tahun. Petilasan pertama adalah milik Jonggrang Kalapitung dan yang kedua milik Raden Suryakencana. Pemandangan yang ditawarkan pun sedikit berbeda. Bila mendaki via Panyindangan, kalian akan ditemani oleh pemandangan indah dari Gunung Parang.
Via Batu Sedong Asmiran pun memiliki 2 gerbang pendakian, yaitu non-utama dan utama. Saran saya, gunakanlah gerbang yang utama. Pada pendakian kemarin, rombongan saya “terjebak” menggunakan pendakian non-utama. Letaknya yang berada sebelum gerbang pendakian utama, membuat kami menganggap itulah gerbang utamanya. Namun jangan khawatir, karena pendakian melalui gerbang utama dan non-utama akan bertemu di Batu Sedong Asmiran yang sama.
Gerbang utama berada setelah Batu Ngerong. Pastikan kalian menemukan gerbang besar berwarna hijau bertuliskan “Selamat datang di jalur utama pendakian Gunung Lembu”. Jika sudah melihat gerbang itu, maka masuklah. Kalian sudah berada di jalan yang benar.
I’ve never understood treadmills when there’s so many trails to hike.
–We Dream of Travels