Gunung: Mendaki vs Menuruni
Pernah ingin berada di puncak gunung tanpa mendaki? Atau pernahkah kalian semangat sekali saat melakukan pendakian, tapi kemudian lelah membayangkan perjalanan turun yang sudah menanti dan ingin langsung tiba di bawah tanpa harus menuruninya?
Kalau kalian adalah orang yang malas untuk menuruni gunung, berarti kalian adalah orang yang sama dengan saya. Saya rasa itu hal yang cukup manusiawi. Dalam beberapa hal, ada manusia yang tidak ingin bekerja keras, tapi ingin hasil yang enak.
Setiap kali harus turun gunung setelah mendaki, rasanya saya ingin sekali memiliki kemampuan teleportasi yang membuat saya langsung berada di bawah, atau ingin rasanya tiba-tiba ada flying fox yang bisa membawa saya langsung tiba di bawah tanpa kaki ini harus lelah melangkah.
Sayangnya mendaki dan menuruni merupakan satu fase yang harus dipenuhi saat ke gunung. Kalian tidak bisa hanya memilih untuk mendaki saja atau menuruni saja. Mendaki sering kali dianggap lebih berat, menuruni sering kali dianggap ringan. Namun bagi saya, hal itu justru berkebalikan. Turun jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan naik.
Sebenarnya mendaki dan menuruni gunung itu mengajarkan 2 hal yang berbeda dan keduanya benar-benar kita perlukan. Inilah pelajaran yang berhasil saya dapatkan dari gunung, guru yang terus berbicara tanpa banyak kata:
Mendaki itu Soal Perjuangan, Menuruni itu Soal Melepaskan.
Berapa banyak orang yang bisa mendaki sampai ke puncak? Dari 100 orang yang mendaki, mungkin setengahnya tidak bisa menggapainya. Semangat di awal pendakian boleh saja kuat, tapi perjalananlah yang akan menentukan apakah semangat awal yang dicita-citakan itu tetap sama atau hanya manis di awal dan hilang begitu saja.
Pernah bertanya kenapa puncak itu luas wilayahnya lebih kecil dari daerah di bawahnya? Karena puncak itu bukan untuk semua orang. Hanya orang orang tertentu saja yang bisa menggapainya. Orang-orang itu ialah mereka yang pantang menyerah dalam berjuang, yang mungkin dalam sakit hatinya tetap berusaha terlihat senang, atau yang sudah jatuh 99x tapi mau bangkit untuk yang ke 100x-nya dengan lantang.
- Baca Juga: 8 Cara Membahayakan Diri saat Mendaki Gunung
Puncak memang memberikan keindahan, tapi perlu diingat kalau tak selamanya kita bisa berada di atas sana. Hakekatnya memang puncak bukan untuk diduduki selamanya, tapi untuk dinikmati seperlunya. Ambil keindahan itu secukupnya dan simpan dalam bentuk bulir-bulir memori yang terekam sampai akhir masa.
Ketika turun itulah kita diajarkan untuk melepaskan keindahan dan mempersiapkan diri untuk kembali menghadapi realita kalau ada perjalanan berat yang menanti di bawah sana.
Melepaskan bukan hanya untuk mereka yang bisa menggapai puncak, tapi bagi mereka yang juga tak bisa sampai di puncak. Sadar diri kalau puncak bukan untuk dan tidak bisa digapai semua orang membuat beberapa pendaki harus kembali pulang dan melepaskan semua keindahan yang sudah dibayangkan.
Mendaki itu Soal Perlawanan, Menuruni itu Soal Kewaspadaan.
Banyak yang menganggap kalau perjuangan dan perlawanan mereka sudah selesai ketika menggapai puncak atau ketinggian tertentu, sehingga kewaspadaan dan fokus menjadi berkurang. Inilah salah satu alasan kenapa banyak yang tak bisa naik kembali setelah turun, atau bahkan tak bisa bernafas kembali.
Saat mendaki, fokus kita penuh dan kewaspadaan kita utuh. Namun jangan kendurkan itu saat kalian turun, justru harus terus kalian jaga atau tingkatkan. Kita melihat ke atas saat mendaki. Kita tahu apa yang akan datang dari atas. Saat turun, kita membelakangi puncak, kita tak tahu apa yang datang menyambar dari atas sana.
- Baca Juga: 5 Cara Merusak Gunung saat Kamu Mendaki
Saat mendaki, tujuan kita 1. Namun saat turun akan ada banyak jalan yang bisa dilalui. Kewaspadaan yang penuh membuat kita tahu dan fokus akan jalan mana yang harus dilalui. karena kalau kewaspadaan dan fokusmu tidak dijaga, bukan tak mungkin kalian berakhir masuk ke dalam jurang yang dalam di bawah sana.
Ingat, bukan hanya saat mendaki kita diuji, tapi juga saat menuruni.
Naik itu untuk Turun, Turun itu untuk Naik
Pernah mendengar istilah “turun untuk naik yang lebih tinggi”? Bagaimana bisa seseorang mendaki Gunung Semeru kalau ia tidak menuruni terlebih dahulu Gunung Ceremai yang sudah ia daki?
Banyak orang yang merasa sudah nyaman berada di puncak dan membuat mereka tak ingin turun. Mereka lupa kalau di atas suatu puncak masih ada puncak lainnya yang mungkin belum mereka lihat. Mereka lupa kalau mereka bukan Tuhan yang bisa berada terus di atas.
Seringkali jalan untuk naik adalah turun terlebih dahulu. . Terkadang kita harus berkubang lumpur sebelum bermandikan cahaya mentari dan berselimutkan awan. Jangan anggap turun sebagai beban, tapi anggaplah kalau turun itu soal menyempurnakan.
*****
Itu tadi beberapa hal yang bisa saya dapatkan dari gunung. dan sebagai penutup, izinkan saya mengatakan:
Hakekat dari sebuah pendakian adalah kembali ke rumah dengan selamat dan bertemu dengan orang-orang yang terkasih. Itulah yang selalu saya tanamkan sebelum saya mendaki, sehingga egoisme tidak mendominasi dan akal sehat tereliminasi. Berhasil mencapai puncak adalah prestasi, tapi kembali ke rumah adalah kemenangan yang sejati.
Hiking is the answer. Who cares what the question is
–Unknown