Tato: Penantian Panjang yang Akhirnya Terbayar (Bagian 2)
Tulisan ini merupakan cerita lanjutan dari tulisan pertama saya tentang tato pertama yang bisa kalian baca DI SINI
Ruangan sudah dibersihkan, peralatan tato sudah mulai dipersiapkan, penerangan sudah dinyalakan, dan pendingin udara pun tak ketinggalan. Begitulah kira-kira kondisi studio tato milik Duff Tattoo di bilangan Gading Serpong ketika saya datang siang itu untuk membuat tato pertama. Studio tatonya begitu minimalis, hanya terbuat dari kontainer yang disulap dengan cukup rapi. Penuh sukacita, saya pun dipersilakan masuk dan diminta duduk di kursi yang disediakan untuk menunggu.
Dari sisi yang berlawanan dengan saya, Duff duduk sambil memegang sebuah iPad yang menjadi tempat di mana ia membuat sketsa untuk tato pertama saya. iPad itu lantas disodorkan pada saya agar saya bisa melihat seperti apa penampakan gambar yang sudah ia rancang sesuai dengan keinginan dan lekuk tubuh saya.
“Wah, bagus banget ini.” Ucap saya kala melihat hasil desainnya. Jadi seminggu sebelum saya membuat tato, saya sudah menghubungi Duff dan menyerahkan desain tato yang saya inginkan kepadanya via whatsapp. Ia pun lantas meminta foto lengan saya karena di sanalah saya ingin meletakkan tato tersebut.
Selama jeda 1 minggu sebelum saya ditato itu, Duff mendesain ulang tato yang saya berikan. Ada beberapa alasan tersendiri kenapa ia mendesain ulang gambar yang saya berikan. Pertama, desain tato yang saya berikan itu berasal dari internet dan pastinya milik orang lain. Sebagai pegiat karya seni yang menghargai karya cipta, menjiplak bukanlah pilihan.
Alasan kedua adalah desain tato yang saya berikan kurang cocok dengan bentuk lengan saya. Jam terbang yang tinggi membuatnya lebih paham akan hubungan antara bentuk lekukan otot pada lengan dan tingkat kecocokan sebuah tato.
“Sudah siap?” Tanyanya pada saya.
Penuh rasa senang dan takut yang bercampur jadi satu karena ini tato pertama, saya pun menjawabnya dengan sedikit anggukan kepala.
Saya kemudian diminta untuk melepaskan baju dan berbaring di atas ‘kursi pesakitan’ sambil asisten Duff mencukur bulu-bulu halus di sekitar lengan yang menjadi area untuk ditato. Di lain pihak, Duff mencetak hasil desain tatonya di atas selembar kertas untuk nantinya ditempelkan ke lengan saya.
Badanku Mulai Dirajah
Gambar yang sudah dicetak itu kini sudah berpindah ke lengan saya. Sama seperti mewarnai pada kertas gambar, seperti itulah hal yang akan dilakukan oleh Duff, hanya saja kali ini medianya berbeda. Di atas garis-garis yang sudah berpindah dari kertas ke tubuh inilah tinta akan dimasukkan ke dalam kulit.
Bukanlah wajah atau nama orang tua, bukan simbol-simbol agama, bukan hewan peliharaan, dan bukan pula hal-hal yang memiliki nilai keindonesiaan yang menjadi tato pertama pilihan saya. Adalah tato polinesia yang entah mengapa membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tato itu sebentar lagi akan benar-benar melekat di badan ini secara permanen.
Polinesia sendiri merupakan sub wilayah di Oseania, di mana di dalamnya terdapat beberapa negara dengan ribuan pulau yang tersebar dari Samudera Pasifik Tengah hingga Selatan, dengan Selandia Baru, Hawaii, dan Pulau Paskah sebagai ujung-ujung triangle-nya. Orang-orang yang mendiami pulau-pulau tersebut dikenal dengan sebutan Polynesian atau orang-orang polinesia.
Seperti halnya Indonesia yang memiliki banyak suku, Orang-orang polinesia pun begitu. Mereka terbagi menjadi beberapa suku, diantaranya adalah Marquesan, Samoa, Niuean, Tonga, Cook Islander, Hawaiian, Tahitian, Maori, dan banyak lagi.
Dari setiap suku inilah hadir tato dengan gaya kesukuan mereka masing-masing yang erat hubungannya dengan individu dan nenek moyang mereka. Kini keberadaan orang polinesia sudah tersebar di berbagai belahan dunia dan tatonya pun banyak diaplikasikan di berbagai negara, termasuk sebentar lagi di badan saya..
Tato polinesia memiliki karakter yang berbeda-beda. Cara menato, area yang ditato, dan alat yang digunakan, dan polanya berbeda-beda. Tapi di antara semua suku yang ada di polinesia, mereka memiliki unsur yang sama pada tatonya yaitu Moana (laut) dan Mana (kekuatan dan energi spiritual). Mereka percaya kalau laut akan menjamin kehidupan mereka dan ada kekuatan atau energi spiritual yang terhubung & menjaga mereka.
Jika ditanya mengapa suka dengan model tato Polinesia, saya sendiri tidak memiliki alasan khusus. Ya jatuh cinta begitu saja. Untuk mencintai sesuatu kadang tidak memerlukan alasan, kan? Setiap simbol-simbol yang ada pada tato polinesia menurut saya begitu artistik, tidak umum, memiliki arti yang mendalam dan bila antar simbol dipadukan, maka akan menghasilkan satu karya yang luar biasa indah.
Kembali lagi ke proses tato. Beruntung sekali saya waktu itu karena Duff sedang kedatangan tattoo artist lainnya bernama Shotonk Tattoo dari Bali. Untuk pecinta tato, nama itu pasti sudah tidak asing di telinga. Duff dan Shotonk sudah lama malang melintang di dunia tato dan mendapatkan banyak penghargaan, baik nasional maupun internasional. Saya pun langsung di-gangbang oleh kedua orang ini.
Penuh kelihaian, mereka pun berbagi peran. Duff mengambil posisi untuk menato lengan atas bagian atas, sedangkan Shotonk mengerjakan area lengan atas bagian bawah. Ya, saya memang langsung ditato half sleeve untuk tato pertama saya.
Kalau dulu saya hanya bisa mendengar testimoni kalau ditato itu sakit, kini saya bisa merasakannya secara langsung. Jarum berkecepatan tinggi, dengan tinta hitam di bagian ujungnya, menderu keras dan mengoyak lapisan kulit yang sudah tertempel gambar. Bunyinya yang bising setiap kali menyentuh kulit cukup mengganggu telinga yang letaknya tidak begitu jauh dari lengan.
Bila ditanya sakitnya seperti apa, saya akan menjawabnya: seperti digigit semut, hanya saja jumlahnya satu batalyon. Berbeda dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang karena dikhianati sang mantan, rasa sakit ketika ditato hanya saya rasakan ketika jarum menghajar kulit. Setelahnya rasa sakit itu lenyap begitu saja.
Setiap orang dan setiap area kulit memiliki tingkat toleransi rasa sakit yang berbeda-beda. Kalau ada orang yang bilang ditato di area A tidak sakit, daerah B lebih sakit, sedangkan di area C tidak sakit sama sekali, saran saya jangan langsung percaya. Bisa saja rasanya lebih sakit atau lebih tidak sakit dari yang dibayangkan. Cobalah sendiri agar kalian tahu rasanya.
Sesekali saya memalingkan wajah ke arah lengan untuk melihat bagaimana proses jarum-jarum itu menyisipkan tinta ke dalam kulit. Penuh keseriusan, Duff dan Shotonk mengikuti pola yang sudah ada dan terkadang berimprovisasi bila melihat ada area yang dianggap janggal. Ada area yang hanya digaris halus dan ada juga yang harus diarsir tebal.
Rasa sakit yang yang muncul dan darah yang keluar membuat saya lebih sering membuang wajah ke arah handphone yang berada di tangan kiri, atau sambil menggenggam tangan Helena bila bermain handphone sudah membosankan dan rasa sakit ditato sudah terlalu menyiksa.
Selama 2 jam, tanpa henti saya dirajah oleh kedua orang tersebut. Namun 3 jam 20 menit berikutnya, mereka secara bergantian beristirahat. Bila Duff sudah lelah, ia akan meminta timeout dan Shotonk akan menggantikan posisi Duff. Begitu pula sebaliknya jika Shotonk yang sudah merasa kelelahan.
Bagaimana dengan saya? Selama 5 jam 20 menit itulah saya diam terbaring dan hanya pasrah. Berharap semuanya cepat selesai. Saya tidak tahu sudah berapa cc darah yang keluar dan sudah berapa kali Shotonk & Duff mengusap darah itu dengan tisu. Yang saya tahu hanyalah diam dan menahan rasa sakit itu hingga prosesnya selesai.
Pasca Tato
Penderitaan itu akhirnya berakhir. Jarum dan alat tato sudah berhenti bekerja. Duff dan Shotonk sudah benar-benar bisa beristirahat. Saya pun diminta berdiri dan tato saya diusap beberapa kali dengan alkohol guna membersihkan darah segar yang masih keluar. Masih tidak percaya kalau saya dirajah oleh 2 orang hebat dan kini tatonya sudah selesai.
Beranjak dari ‘kursi pesakitan’, saya pun langsung pergi menuju ke depan cermin. Saya tak puas hanya melihat tato lewat tangkapan kamera handphone. Tak henti-hentinya saya mengarahkan lengan saya ke depan cermin dan memandanginya. “Akhirnya jadi terealisasi juga tato pertama ini dan itu adalah tato polinesia.” Batin saya sambil terus memandangi tato itu.
Usai darah sudah berhenti keluar, saya dipersilakan pulang oleh Duff. Saya diminta untuk tidak menggaruk, menyabuni tato, dan berolahraga selama 1 minggu ke depan. Hal tersebut guna menjaga proses recovery tato berjalan dengan baik dan warna yang keluar pun maksimal.
Sungguh sebuah pengalaman yang menyenangkan dan memorable. Dari proses tato saya belajar kalau tidak ada hal indah yang didapat tanpa rasa sakit. Semua hal, termasuk tato, pasti didapatkan dengan rasa sakit. Rasa sakit itulah yang mengingatkan kalau perjuangan yang dikeluarkan untuk mendapatkan hal tersebut tidaklah mudah.
Dan setiap simbol pada tato polinesia yang sudah terpatri di tubuh ini bukanlah simbol sembarangan. Semuanya memiliki artinya masing-masing.
Info Tambahan:
- Tato di Duff itu hitungannya per jam (bukan per cm).
- Rate Duff sampai tulisan ini dirilis adalah Rp 1,8 juta/jam.
- Untuk menyewa jasa Duff, silakan hubungi via DM instagram DI SINI atau nomornya di 0812-2222-5303
Some people hang art. I wear it
–Anonymous