Bikin Paspor Baru Dapat Teman Baru
Waktu menunjukkan pukul 12:15 WIB saat saya memasuki ruang tunggu Kanim (kantor imigrasi) Kelas 1 Non TPI Jakarta Selatan di daerah Pondok Pinang, kantor pemerintah yang memang saya pilih untuk membuat paspor baru melalui aplikasi M-Paspor. Suasana kantor itu begitu tenang saat saya datang. Tampak hanya 1 orang petugas keamanan berbadan tegap yang berjaga saat saya memasuki gedung yang baru saja selesai dipugar itu. Pelayanan baru akan kembali dibuka sekitar 45 menit lagi, setelah istirahat Sholat Jumat dan juga makan siang.
Tak ingin mati kutu selama proses menunggu itu, saya lantas duduk di kursi yang telah disediakan bersama para pemohon lainnya yang sudah terlebih dulu datang. Dari dalam tas hitam berlogo Freeletics yang saya bawa, saya mengeluarkan buku setebal nyaris 500 halaman karya Dee Lestari yang berjudul Rapijali 2: Menjadi.
Memang sudah jadi kebiasaan saya selama 5 tahun terakhir ini membawa minimal 1 buku bacaan di dalam tas dan membacanya saat menunggu untuk melakukan sesuatu. Dan hal itulah yang kembali saya lakukan ketika menunggu untuk mengambil paspor baru saya yang sudah jadi.
Tidak perlu waktu lama, saya pun langsung terhanyut dalam cerita yang saya baca itu dan tak mengindahkan keberadaan orang lain. Saya merasa berada di dunia yang berbeda meskipun fisik saya berada di tempat yang sama dengan mereka yang juga sedang menunggu giliran untuk mengambil atau membuat paspor baru.
Fokus saya terhadap buka yang saya baca tiba-tiba saja hilang saat seorang ibu tua yang tidak saya kenal jalan menghampiri saya dan bertanya, “Kamu baca buku apa?”
Saya yang tak sadar dan kaget dengan kehadiran wanita tua itu dengan sigap menutup halaman yang sedang saya baca dan lantas menunjukkan halaman depan buku itu sembari berkata, “Rapijali 2. Karya Dee Lestari.”
Usai bertanya, wanita tua itu lalu duduk persis di bangku sebelah saya yang memang sedang kosong. Lewat rambut putih yang mencuat keluar dari topi bundar yang dipakainya, serta kulit putihnya yang tak lagi kencang seperti kulit saya dan berkerut, saya taksir umur wanita ini sudah lebih dari 60 tahun.
Wajah cantiknya tak bisa saya lihat karena masker menutup sebagian wajahnya dengan rapi. Namun alisnya yang tak tertutup oleh masker terlihat begitu tebal dan sorot mata sipitnya menunjukkan ketegasan. Suaranya lembut, tapi tidak lemah.
“Itu buku Bahasa Indonesia atau bahasa asing?” Wanita tua melanjutkan pertanyaannya.
“Ini buku Bahasa Indonesia.” Jawab saya dengan santai sambil membetulkan posisi duduk saya.
“Saya sudah jarang melihat lho ada orang yang membawa dan membaca buku sambil menunggu seperti ini. Coba lihat sekitar, tidak ada sama sekali yang membuka buku bacaan.” Ucapnya sambil menunjuk para pemohon lainnya menggunakan sorot matanya yang tajam.
Mata saya pun lantas ikut bergerak ke seluruh penjuru ruangan untuk membuktikan ucapan wanita itu. Kalau saya tidak salah ingat, di antara sekian banyak orang yang menunggu di ruang tunggu kantor imigrasi teresebut, memang hanya saya yang asyik berkutat dengan buku bacaan. Sisanya hanya sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Bahkan ada seorang ibu, tepat duduk di belakang saya, yang menonton tiktok melalui ponselnya dengan volume yang bisa terdengar dengan jelas hingga jarak 20 meter.
Tak ada yang salah dengan mereka yang ‘bermain’ hape dan tak ada yang spesial juga dari apa yang saya lakukan. Paling tidak itulah anggapan saya. Namun tidak menurut wanita tua ini.
“Dari dulu sampai sekarang, saya masih suka membaca. Membaca membuat pikiran dan otak saya lebih segar.” Lanjutnya. “Namun jaman sekarang orang mulai malas membaca dan hanya sibuk dengan telepon genggamnya.”
Omongannya saya rasa bukanlah sekadar omong kosong. Dari tas hitam kecil yang ia pangku dan tak tertutup rapat, menyembul sebuah buku bacaan yang belum dimasukkan secara utuh. Saya duga buku itu baru saja ia baca dan masukkan sebelum ia tiba di kantor imigrasi.
“Kamu boleh baca buku apapun. Jangan dibatasi oleh genre, pengarang, jenis buku, atau apapun itu. Buat buku menjadi sahabatmu.” Ucapnya serius ambil menatap saya tanpa berkedip.
Saya yang tak tahu harus merespon apa hanya mengangguk sambil mengucap kata ‘iya’ dengan pelan.
Berawal dari buku, percakapan kami berlanjut ke hal-hal lain. Mulai dari rumah kami berada di mana, daerah asal saya dan dia, hingga bagaimana ia terlihat masih sangat bugar di usianya yang tak lagi muda. Selain membaca, rupanya wanita itu juga suka Tae Kwon Do (atau Karate saya lupa). Kupang, daerah asal saya, pun bukan daerah yang asing buatnya sebab teman akrab menantunya adalah orang Kupang.
Percakapan seru kami harus terhenti saat petugas lainnya mulai datang dan perlahan memanggil para pemohon yang ingin mengambil paspor untuk menyerahkan bukti pengambilan paspor. Bersama wanita tersebut saya mengambil paspor di lantai 2 yang prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan waktu kami menunggu jam isitrahat Sholat Jumat dan makan siang para petugas itu selesai.
Usai sama-sama mendapat paspor yang kami inginkan, kami lantas kembali ke lantai 1 sebelum akhirnya keluar dari kantor imigrasi. Ia kembali ke dalam mobil Mercy S Class yang terparkir tepat di depan pintu masuk kantor imigrasi dan saya kembali ke parkiran motor yang terletak di sayap kanan gedung kantor imigrasi untuk menjemput si hitam yang 4 tahun lalu terendam banjir.
Tanpa saling bertanya nama, kami berbincang dan berpisah bak teman yang sudah saling mengenal sejak lama. Siapa yang sangka kalau ‘Si Miskin’ ini bisa berbincang dengan ‘Si Kaya’ gara-gara sebuah buku. Terima kasih sudah menjadi teman selama 15 menit dari 45 menit yang saya habiskan untuk mengambil paspor baru. Tabik!
Books are the quietest and most constant of friends; they are the most accessible and wisest of counselors, and the most patient of teachers.
–Charles W. Eliot