Bolehkah Non-Kristen Masuk ke Katedral Atambua?
Kurang lebih seperti itulah pertanyaan yang dilontarkan Billy, rekan saya dan Chris selama menjelajah Belu, daerah Indonesia terujung di pulau Timor, NTT, saat diajak untuk masuk ke dalam Katedral Atambua. Billy adalah seorang muslim, sedangkan saya dan Chris merupakan penganut Kristen, jadi wajar saja kalau pertanyaan seperti itu terlontar darinya. Cukup lama perdebatan di depan gereja itu terjadi, apakah kami bertiga masuk ke dalam gereja atau tidak.
Di Indonesia, masuk ke dalam rumah ibadah umat beragama lain memang masih sedikit tabu bagi beberapa orang, apalagi kalau tidak tertulis secara eksplisit rumah ibadah tersebut juga dibuat sebagai salah satu tempat untuk kunjungan wisata. Ketidaktahuan apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak, membuat beberapa orang lebih memilih untuk tidak masuk, padahal mungkin sebenarnya mau.
Sejauh yang saya tahu, tidak ada aturan khusus yang menyebutkan kalau hanya umat beragama Kristen saja yang boleh masuk ke dalam gereja. Umat dari agama lain pun boleh. Bahkan kalau umat beragama lain itu mau berdoa di dalam gereja pun boleh. Selama tujuannya bukan untuk mengganggu, bukan untuk merusak, bukan untuk membubarkan ibadah yang sedang berlangsung, bukan untuk mencuri, maka siapapun boleh masuk ke dalam gereja. Lagi pula bagaimana mau mengenalkan kekristenan kepada umat lain kalau masuk gereja saja dilarang, kan?
Ada kalanya memang kita tidak bisa masuk begitu saja ke dalam gereja alias perlu membuat janji dulu dengan pihak gereja. Takutnya sedang ada event yang berlangsung di dalam gereja dan kedatangan kita bisa mengganggu event tersebut, atau akan lebih enak ketika masuk ke dalam gereja dengan didampingi petugas gereja yang bisa menjelaskan sejarah atau seluk beluk gereja. Tapi kalau tidak ada event khusus, maka pintu gereja terbuka untuk siapa saja.
Setelah saya dan Chris yakinkan kalau memang boleh untuk masuk, akhirnya Billy pun mau untuk masuk ke dalam gereja. Karena kalau tidak boleh, pasti akan ada orang di dalam yang melarang atau paling tidak kami akan diusir keluar setelah sempat masuk beberapa saat.
Dari tampak luar, bangunan gereja Katedral Atambua ini memang sudah tampak kontras dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Besar dan gagah. Kami masuk dari pintu gerbang yang dijaga oleh dua patung malaikat yang sedang meniup sangkakala. Tak ada penjaga manusia sama sekali yang menyambut kami di gerbang depan.
Sosok yang menyambut kami setelah melewati gerbang justru adalah Bunda Maria yang tampil dalam wujud patung berpakaian putih biru. Kehadiran dan posisi tangannya yang terbuka seolah menjadi tanda kalau siapapun diterima di tempat ini. Salib besar yang terpasang di puncak bangunan gereja dan menjadi latar belakang patung Bunda Maria semakin menambah keindahan fasad fereja ini. Secara perlahan, dengan terlebih dahulu mengetuk, kami masuk melalui pintu utama yang terletak di sisi kiri tangan patung Bunda Maria.
Sedikit Tentang Gereja Katedral Atambua
Gereja Katedral Santa Maria Imakulata Atambua, itulah nama lengkap dari gereja Katedral Atambua ini. Berdiri sejak tahun 1936, rumah ibadah ini menjadi salah satu bangunan tertua dan menjadi ‘rumah utama’ bagi 90% umat Katolik yang ada di Belu. Rasanya tidak mungkin ada orang Belu yang tidak tahu soal katedral ini.
Beberapa orang non-Katolik sering menyangka katedral adalah bangunan gereja yang besar. Hal tersebut tidaklah salah, tapi tidak sepenuhnya benar juga. Tidak semua bangunan gereja yang besar adalah katedral, tapi umumnya gereja Katedral ukurannya memang sangat besar dan megah. Sebut saja salah satu yang ada di Indonesia dan juga menjadi ikon perdamaian antar umat beragama, yaitu Katedral Jakarta.
Terminologi Katedral ini memang biasa digunakan oleh umat dari Kristen katolik, Anglikan, Ortodoks, dan beberapa gereja Anglikan. Secara mudah, Katedral dalam terminologi umat katolik merupakan sebuah gereja pusat dari suatu keuskupan. Sedangkan keuskupan sendiri merupakan istilah atau wilayah gerejawi bagi beberapa denominasi Kristen yang diatur oleh seorang uskup.
Bagian Dalam Gereja
Sebuah keunikan langsung nampak begitu kami memasuki pintu utama. Sebuah wadah air suci berbentuk kerang besar terpampang nyata di sebelah pintu masuk. Buat saya yang bersekolah selama 12 tahun di sekolah Katolik, bentuk wadah air suci ini dan ukurannya yang sebesar itu baru pertama kali saya lihat. Tubuh ini secara otomatis menggerakkan tangan, memasukkan ujung jari ke dalamnya, mengeluarkannya kembali, dan kemudian membuat tanda salib. Bagaimana dengan Billy? Ya dia cukup masuk saja tanpa perlu mengikuti gerakan yang saya lakukan.
Bangunan dalam gerejanya sederhana tapi indah. Kursi-kursi kayu tua namun kokoh, tempat umat duduk dan beribadah, sudah tersusun secara rapi dan berbaris. Lantainya bukan beralaskan dari keramik mewah ataupun marmer, melainkan semen. Langit-langitnya cukup tinggi dansepertinya memang didesain untuk mengalirkan suara secara baik sehingga gereja ini tidak perlu pengeras suara yang terlalu banyak. Cukup penempatan di beberapa titik dan suara akan terdistribusi dengan rapi dan merata.
Saat masuk, semua mata pasti terpukau dengan tembok bagian atas yang mengelilingi gereja. Kalau umumnya gereja Katolik akan dihiasi kaca mozaik berlukiskan tentang Yesus dan atau para muridnya, tidak dengan Katedral Atambua ini. Kaca-kaca berbentuk persegi kecil yang berwarna-warni dalam jumlah banyak dan tersusun rapi mengisi tembok bagian atas guna memberi warna pada gereja. Begitu cahaya matahari menghujam deretan kaca-kaca tersebut, maka bagian dalam gereja akan penuh warna oleh biasan cahaya warna-warni dari kaca-kaca tersebut.
Bila dilihat secara teliti, bagian dalam gereja ini bentuknya menyerupai Salib Yesus. Di Bagian depan atau kepala salib, terdapat altar dengan latar Salib Yesus yang tergantung dan diapit oleh beberapa lukisan yang besar. Sayap kiri dan kanan yang sama panjang terisi oleh kursi-kursi yang serupa dengan kursi di bagian ekor salib, saat seperti kami baru pertama kali masuk. Bagian ekor salib dibuat lebih panjang areanya dibandingkan bagian kepala salib tempat para petugas gereja. Di bagian tengah, tempat pertemuan antara kepala, sayap dan ekor salib, sengaja dibuat kosong.
Setiap kami lantas langsung mengeluarkan kamera kami masing-masing dan mengabadikan keindahan bagian dalam gereja Katedral Atambua, tak terkecuali Billy. Dengan hati-hati kami melangkah dan memandangi setiap bagian gereja, memfotonya dan membiarkan gambar-gambar itu tersimpan di dalam memori kamera.
Kami begitu beruntung karena ketika kami datang, paduan suara anak-anak sedang berlatih di bagian sayap kiri gereja. Pembagian suara yang apik dan lantunan suara mereka yang merdu membuat saya merasa tentram dan secara tidak langsung merasa disambut.
Tak terlalu lama kami berada di dalam gereja, mungkin hanya sekitar 15 menit. Puas melihat bagian dalam gereja dan melihat anak-anak berlatih paduan suara, kami pun keluar dari gereja. Sampai kami melangkahkan kaki keluar gerbang, tidak ada sama sekali yang mengomeli kami karena sudah masuk ke dalam gereja.
******
Sampai saat ini pun Billy tetap menjadi seorang muslim yang taat dan tidak ada upaya Kristenisasi setiap kali ada orang non-Kristen yang ingin masuk ke dalam gereja. Jadi buat kalian yang ingin masuk ke dalam gereja, masuklah dan lihatlah.
Lagi pula gereja yang dalam bentuk bangunan bukanlah gereja sebenarnya. Kalau kalian mau melihat gereja yang sebenarnya, merasakan kehangatannya, ya lihatlah orang-orangnya. Orang-orang yang masuk ke dalam gereja itulah cerminan dari gereja itu sendiri. Seperti dalam lagu sekolah minggu yang pernah saya dengar berbunyi, “Bukalah pintunya, lihat di dalamnya. Gereja adalah orangnya.”
Belu, 25 Agustus 2018