Belut Raksasa Morea di Negeri Larike
Ambon Manise tidak hanya kaya akan pantainya tetapi juga kaya akan flora dan faunanya. Salah satu kekayaan fauna milik Tanah Maluku adalah Belut Morea. Belut Morea adalah belut raksasa yang merupakan hewan endemik dari Tanah Maluku. Kalian tidak akan menemukan hewan ini di tempat lain kecuali di Maluku ini. Hewan ini diberi gelar “Raksasa” karena ukurannya yang tidak seperti belut-belut pada umumnya. Belut ini bisa tumbuh hingga panjang 1-1,5 meter dan beratnya bisa mencapai 10-30 Kg.
Ciri khasny adalah warnanya yang hitam dengan sedikit corak berwarna abu-abu pada badannya. Selain itu, Belut ini juga memiliki sirip kecil di bagian kepalanya. Terdapat 2 tempat di Ambon dimana voyagers bisa melihatnya, yang pertama adalah di Waai (Kolam Waiselaka) dan yang kedua adalah di Larike (Sungai Wailela).
Morea Larike VS Morea Waai
Persamaan dari Morea di kedua tempat ini adalah mereka sama-sama hidup di sungai yang ada di perkampungan, dimana sungai tersebut juga digunakan warga setempat untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti mencuci pakaian, mencuci alat-alat dapur, mandi dan mencuci bahan makanan. Hebatnya adalah mereka tidak terganggu dengan aktivitas tersebut dan dapat hidup berdampingan dengan warga.
Perbedaan antara Morea Waai dan Larike terletak pada umpan yang digunakan untuk memanggilnya. Mereka umumnya bersembunyi di bawah batu atau goa-goa kecil yang terdapat di pinggiran sungai, sehingga diperlukan umpan untuk menarik mereka keluar.
Kalau di Waai, umpan yang digunakan adalah telur ayam kampung mentah. Telur akan dilubangi sedikit sebelum diletakkan di dalam kolam. Setelah diletakkan, perlahan-lahan Morea akan keluar dan menghisap isi telur tersebut. Sedangkan di Larike, umpan yang digunakan adalah dengan menggunakan ikan mentah. Morea memang suka dengan yang berbau amis. Ikan mentah tersebut akan dikebas-kebas dalam air guna memanggil mereka keluar.
Morea di Waai memang lebih dahulu ada bila dibandingkan dengan di Negeri Larike. Morea di Larike ini baru ditemukan sekitar tahun 2002. Waktu itu hanya ada beberapa ekor saja. Warga Desa Larike kala itu mencoba memberi makan mereka dengan menggunakan telur mentah seperti yang ada di Waai, namun tidak berhasil.
Salah Seorang warga kemudian mencoba dengan ikan mentah dan ternyata Morea tersebut menyambar ikan mentah tersebut. Sejak saat itulah belut ini berkembang biak dan bertahan di Desa Larike ini.
Morea Larike
Untuk bertemu dengan mahluk ini, Voyagers harus berkendara kurang lebih selama 1 jam ke Desa Larike dari Bandara Pattimura. Ketika sampai, Voyagers nanti harus berhenti di depan masjid Nurul Ikhlas untuk memarkirkan kendaraan yang dibawa. Saat turun dari kendaraan maka voyagers dapat melihat papan bertuliskan “Anda Memasuki Wisata Kolam Morea Larike” dan juga gerbang masuk Desa Larike yang didominasi warna hijau dan putih.
Saat kaki mulai memasuki gerbang, maka akan ada warga yang menuntun kita ke “Kotak Pengunjung”. Di kotak inilah kita akan memasukkan sejumlah uang secara sukarela sebagai biaya retribusi masuk daerah wisata ini. Setelah uang dimasukkan, kemudian kita juga diharuskan mengisi buku tamu.
Setelah kedua proses tadi selesai, voyagers akan dituntun ke tempat penjualan ikan. Ikan inilah yang akan kita gunakan untuk memancing belut raksasa itu keluar dari sarangnya. Seusai dari tempat penjualan ikan inilah kita akan langsung cus ke sungai tempat mereka berada.
Sungai yang berada di Desa Larike ini masih betul-betul alami, berbatu dan bertingkat, tidak seperti yang berada di Waai dimana sungainya sudah dibentuk menyerupai sebuah kolam. Tak butuh waktu lama untuk memanggil belut-belut ini keluar dari persembunyiannya, bau ikan yang kami beli tadi rupanya sudah langsung tercium oleh mereka.
Dengan bantuan warga sekitar kami pun bisa bermain dengan Morea-morea ini dengan bebas. Warga sekitar bertugas untuk meremas-remas ikan mentah tadi menjadi serpihan-serpihan kecil untuk dimakan oleh morea dan kami pun sibuk memegang, mengejar dan mengamati pergerakan belut-belut ini.
Sungai Wailela tempat Morea berada ini bermuara di laut. Jadi menurut salah seorang warga, ternyata beberapa dari belut ini juga suka main ke laut di malam hari. Ketika hari sudah mulai pagi, mereka akan kembali lagi ke sungai ini karena sudah tau kalau akan ada pengunjung yang datang dan memberi mereka makan.
Kami diperkenankan untuk memegang bahkan mengangkat hewan ini kalau kami bisa. Namun jangan harap kalian bisa mengangkat mereka dengan mudah. Badannya sangat licin, untuk dipegang saja masih sering terlepas apalagi untuk diangkat. Voyagers tidak perlu berebut untuk memegang Morea ini karena jumlahnya ada puluhan di desa ini. Voyagers juga tidak perlu takut tergigit karena mereka “jinak”, mereka sudah terbiasa dengan sentuhan tangan-tangan manusia.
https://www.instagram.com/p/BSi8YJ_hnAH/?taken-by=dgoreinnamah
Ada pengalaman lucu yang kami dapat kala berusaha untuk mengangkat belut raksasa ini. Saat itu ada morea yang kabur mengikuti aliran air sungai menuju ke tingkat yang ada di bawahnya. Tentu sudah biasa melihat hewan yang berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Namun tiba-tiba, ada Morea lain yang naik dari tingkat bawah tersebut menuju ke arah kami yang berada 1 tingkat diatasnya. kami pun bingung karena mereka ini kok bisa “memanjat” batu, namun warga sekitar bilang kalau hal itu sudah biasa.
“Morea di sini selalu lapar”, ucap salah seorang warga. Jadi kapanpun pengunjung datang dan membawa ikan mentah pastilah mereka keluar untuk menyambut dan menyantapnya. Waktu itu Daily Voyagers berkunjung sekitar pukul 17.30 WIT. Di Ambon ini, langit baru akan benar-benar gelap sekitar pukul 19.00 WIT, jadi beruntungkah kami saat itu masih bisa bertemu dan bermain dengan belut-belut menggemaskan ini.
Hukuman
Warga desa Larike sudah sadar betul kalau mahluk ini merupakan salah satu khazanah Maluku. Meskipun bisa dimakan, tetapi mereka tidak mau memburu atau memakannya. Mereka lebih memilih untuk melestarikannya. Karena dengan adanya Morea ini, desa ini mendapat penghasilan tambahan dari kunjungan wisata. Bisa dibilang kehadiran hewan ini membawa berkat.
Dinas pariwisata juga sudah mensosialisasikan kepada warga kalau hewan ini wajib dilindungi. Terdapat papan yang bertuliskan “Dilarang melakukan aktivitas yang dapat mengganggu kelestarian Morea” sesaat sebelum mencapai sungai Wailela.
Terdapat hukum adat yang berlaku di Negeri Larike ini apabila peraturan tersebut dilanggar. Kalau seseorang kedapatan mengambil Morea dari tempat ini maka orang tersebut akan dicambuk dan diminta untuk mengembalikannya. Kalau Belut tersebut sudah terlanjur mati, maka orang tersebut akan dicambuk dan harus menggantinya dengan belut Morea juga. Entah bagaimana caranya orang tersebut harus mendapatkan Morea hidup sebagai gantinya.
Itu tadi salah satu kekayaan Maluku berupa Morea yang berada di Desa Larike, Kecamatan Leihitu barat, Kabupaten Maluku Tengah. Jangan lupa mampir ke tempat ini ya kalau berkunjung ke Ambon karena kalian tidak akan bisa menemukan hewan ini di luar Maluku.
Happy Traveling 🙂
Tambahan
- Harga satu ekor ikan untuk makanan Morea ini adalah Rp 20.000/ekor.
- Morea-morea di sini berkembang biak secara alami (tidak diternakkan).
- Biaya Masuknya sukarela (Tidak ada tarif khusus).
- Menurut warga desa Larike, Morea di larike lebih besar dibandingkan dengan yang ada di Waai.
The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated.
— Mahatma Gandhi