Pengalaman Pertama Menginap di Museum
Ketika sedang melihat-lihat lini masa Facebook yang baru saja saya bersihkan dari (mantan) teman-teman yang sok tahu dan ribut-ribut soal politik, mata ini melihat sebuah gambar yang begitu menarik. Pada gambar dengan latar biru itu tertulis dengan jelas kalimat “Menginap di Museum” berwarna oranye dengan tambahan tulisan kecil di bawahnya “Sensasi bermalam di Gudang Rempah-rempah VOC” berwarna putih.
Melihat gambar tersebut, saya pun langsung tertarik. “Kapan lagi bisa menginap di museum,” pikir saya. Kalau hanya sekadar mampir dan berkunjung ke museum pada siang hari lalu pulang ketika sore hari datang, itu sih sudah biasa. Ini menginap, yang artinya tidur dan bermalam di dalam museum.
Pikiran saya dengan liar langsung membayangkan keseruan film yang dimainkan oleh Ben Stiller, Night At The Museum. Siapa tahu saja ketika nanti saya mengikuti acara menginap di museum ini, koleksi-koleksi yang ada di sana bisa hidup dan bergerak-gerak. Tak ingin gagal mengikuti acara ini, dengan cepat saya pun menghubungi nomor yang tertera pada gambar tersebut dan menyelamatkan 2 spot untuk saya dan Helena.
Tak lama berselang, Helena yang melakukan pendaftaran via WA pun mendapat konfirmasi kalau kami mendapatkan slot. Barang bawaan apa saja yang harus kami bawa dan rincian acara pun sudah diinfokan lewat WA tersebut.
Sedikit Sejarah
Seminggu setelah mendapatkan konfirmasi kalau saya dan Helena bisa mengikuti acara “Menginap di Museum”, kami pun berangkat menuju ke museum yang telah ditentukan. Kami senangnya bukan main. Selain karena kami bisa menghabiskan akhir pekan dengan kegiatan yang positif, ini merupakan event “aneh” yang pertama kali kami ikuti.
Museum yang kami tuju kali ini adalah Museum Bahari Jakarta yang terletak di Jl. Ps. Ikan No.1, RT.11, Penjaringan, Kec. Penjaringan, Kota Jkt Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau berlokasi di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa. Museum Bahari merupakan museum yang menyimpan koleksi yang berhubungan dengan kebaharian (mengenai laut) dan kenelayanan bangsa Indonesia mulai dari Sabang sampai ke Merauke.
Terletak di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan yang pernah mendapatkan predikat pelabuhan paling sibuk di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, membuat tempat ini dulunya digunakan Belanda sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah. Komoditi seperti kopi, cengkeh, Pala, dan rempah-rempah lainnya dulu disimpan oleh Belanda di sini.
Pada masa pendudukan Jepang, setelah Belanda sempat diusir dari Batavia, tempat ini sedikit berubah fungsi. Dari gudang rempah-rempah, tempat ini diubah menjadi tempat penyimpanan logistik oleh tentara Jepang.
Satu hal yang saya kagumi dari Belanda adalah kekokohan arsitekturnya. Seperti Meuseum Bahari ini contohnya. Dibangun pertama kali tahun 1652 oleh Gubernur Jendral Christoffel van Swoll, bangunan ini masih berdiri dengan gagah hingga sekarang. Hebat banget, kan?
Tiba di Museum
Setibanya di Museum Bahari, pihak panitia “Menginap di Museum” pun menyambut kami. Usai melakukan registrasi ulang, saya dan Helena diberikan masing-masing sebuah pin dan juga pita berwarna hijau (fungsi pita akan saya jelaskan nanti), lalu kami dipersilakan masuk ke dalam aula Museum Bahari.
Oh iya, acara menginap di museum ini bisa terselenggara berkat kerjasama antara pihak Museum Bahari Jakarta dan Komunitas Historia Indonesia. Sudah pernah dengar tentang Komunitas Historia Indonesia belum? Komunitas Historia Indonesia (KHI) ini merupakan sebuah komunitas yang dibentuk tahun 2003 oleh Asep Kambali karena keprihatinannya dan beberapa mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta dan Jurusan Sejarah Universitas Indonesia akan kondisi masyarakat Indonesia yang “malas” untuk peduli dan mempelajari soal sejarah dan budaya. (Sejarah lengkap KHI bisa kalian baca DI SINI).
Kembali ke museum. Di dalam aula, kami dipersilakan untuk duduk secara lesehan dimana pun yang kami mau. Beberapa orang sudah terlihat datang lebih dulu dari kami. Tak ingin kehilangan keseruan acara ini, saya dan Helena pun duduk di depan bersama dengan Deta dan pacaranya, teman saya waktu jalan-jalan ke Derawan. Acara ini pun saya jadikan sebagai ajang untuk berkenalan dengan pserta lainnya, yaitu mereka yang cinta terhadap sejarah dan museum.
Pra-acara (pukul 19:00- 20:00 WIB) diawali dengan makan malam, sebuah kegiatan yang bagus banget menurut saya. Kalau lapar, pasti para peserta tidak bisa mengikuti acara dengan baik. Namun masalahnya, jika makannya kebanyakan, takutnya nyenyak ketika acara berlangsung. Maklum saja, acaranya ini diadakan malam hari. Tidur setelah makan itu kenikmatannya tiada tara, apalagi ditambah dengan terkena hembusan AC.
Susunan Acara
Memasuki waktu yang sudah ditentukan (pukul 20:00 WIB), acara pun dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yang membuat pembukaan ini keren banget menurut saya adalah kami tidak hanya menyanyikan 1 stanza, tapi 3 stanza. Kalian tahu kan kalau lagu Indonesia raya itu memiliki 3 stanza? *Jangan bilang kalau kalian tidak tahu*
Usai mengumandangkan lagu karangan W.R.Supratman itu, acara dilanjutkan dengan syukuran ultah KHI. Tak terasa ternyata usia KHI sudah 16 tahun, sudah ABG. Senang sekali rasanya bisa melihat komunitas yang bisa bertahan sampai sejauh ini. Tidak mudah lho bisa bertahan hingga usia 16 tahun. Semoga tahun-tahun berikutnyabisa ulang tahun lagi ya KHI-nya 🙂
Untuk “memanaskan” otak dan jari, sebelum memasuki diskusi dengan sejarawan, acara dilanjutkan dengan Quiz Kesejarahan. Karena pesertanya berasal dari generasi milenial, permainannya pun dilakukan secara milenial. Dengan menggunakan aplikasi kahoot, kami menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh pihak panitia melalui smartphone kami seputar sejarah Museum Bahari dan sedikit sejarah Indonesia. Yang benar dan tercepat akan mendapatkan poin paling besar. Di bagian akhir, 2 pemenang mendapatkan hadiah berupa buku sejarah yang bagus banget isinya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan presentasi dan diskusi. Acara ini dipimpin langsung oleh Kang Asep Kambali, founder Komunitas Historia Indonesia dan juga founder Paguyuban Asep Sedunia. Di bagian awal, Kang Asep bercerita tentang sejarah KHI dan juga Indonesia. Dari cara ia menyampaikan materi, saya tahu kalau dia ini adalah orang yang cerdas dan cinta sekali akan sejarah, khususnya sejarah Indonesia. (Kalian bisa kepoin IG-nya Kang Asep DI SINI)
Ia bercerita mengapa sejarah itu penting. Salah satu alasan mengapa perpecahan di Indonesia itu bisa dengan mudah terjadi adalah karena ketidaktahuan akan sejarah. Ketidaktahuan akan perbedaan membuat semua pihak merasa paling benar dan berusaha menghilangkan perbedaan yang ada. Padahal kalau mau belajar sedikit saja soal sejarah, kekuatan bangsa ini ada justru karena perbedaan, perbedaanlah yang saling menyatukan. Tapi sekarang ini, perbedaan justru saling menghancurkan.
Itulah alasan mengapa Soekarno pernah berkata dalam pidatonya “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau yang biasa dikenal dengan istilah JAS MERAH. Kenapa? Karena salah satu kekuatan suatu negara adalah pengetahuan akan sejarahnya. Kang Asep menambahkan bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa, cukup dengan menghapus sejarah pada generasi mudanya.
Acara berlangsung seru karena Kang Asep ini pembawaannya asyik banget. Acara presentasi dan diskusi jadi santai dan nggak kaku. Selain Kang Asep, ada lagi pemateri lainnya yaitu Nuralif Ramadhan, founder dari Dalang Pelo. Di panggung ini Nuralif bercerita bagaimana iya menuangkan idenya menjadi sebuah cerita bergambar pada platform Instagram dan bagaimana hal tersebut mengubah hidupnya. Inspiratif banget Nuralif Ramadan itu. Masih muda dan penuh prestasi.
Keliling Museum Tengah Malam
Memasuki pukul 23:00 WIB, acara diskusi dan presentasi pun diakhiri. Para peserta diminta untuk bersiap-siap dan berkumpul sesuai dengan warna pita yang diberikan sebelum memasuki aula tadi. Saya dan Helena pun segera bergerak untuk berkumpul bersama kaum pita hijau. Total ada 4 tim (pita merah, pita hijau dan 2 warna lagi saya lupa. Maaf ya)
Mau ngapain sih? Tepat tengah malam, tiap tim akan didampingi oleh pemandu untuk mengelilingi area Museum Bahari ini. Kurang seru gimana coba mengelilingi museum tengah malam dengan kondisi lampu yang tidak nyalakan. Para peserta hanya bisa mengandalkan penerangan lewat headlamp atau cahaya lampu dari handphone yang mereka bawa. Agar tidak bentrok, 4 tim tersebut dipecah ke 4 spot yang berbeda.
Seru, seram, asyik, takut, semua perasaan berkecamuk jadi satu. Dengan didampingi oleh seorang pemandu, tim saya, tim hijau, berjalan ke area luar dari area Museum Bahari menuju Menara Syahbandar. Menara ini dulunya merupakan menara pemantau bagi kapal-kapal yang masuk ke Batavia. Sayangnya menara ini sedang dalam perbaikan kala kegiatan ini dilakukan, jadi saya tidak bisa masuk dan naik ke lantai 3-nya.
Namun yang seru dan saya baru tahu adalah di area Menara Syahbandar inilah titik 0 Batavia. Hal tersebut dipertegas dengan tulisan Tionghoa pada lantai Menara Syahbandar yang artinya “Garis Bujur nol Batavia”. Di depan Menara Syahbandar terdapat gedung administrasi. Nah, yang keren buat saya justru adalah area di antara Menara Syahbandar dan Gedung Administrasi.
Terdapat prasasti di tugu yang diresmikan oleh mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, di bagian tengah antara kedua gedung ini. Tepat di belakang tugu, terdapat 7 meriam yang konon dulunya digunakan untuk bertahan dari serangan musuh. Selesai mengunjungi Menara Syahbandar, kami pun kembali ke Museum Bahari untuk berkeliling gedung 3 lantai itu.
Dengan penerangan yang minim, kami memasuki area-area yang cukup gelap dimana tersimpan banyak koleksi seperti peta Batavia, koleksi asli kapal tradisional, lukisan, koleksi miniatur TNI AL, alat navigasi, peralatan senjata kapal dan beberapa replika benda asli dan kapal laut nusantara. Sambil menerangi objek yang ingin kami lihat, kami juga harus membagi konsentrasi untuk mendengar penjelasan dari sang pemandu. Agak ribet sih memang, tapi seru.
Yang paling menarik perhatian saya adalah kapal tradisional dari Papua, dimana kapal ini dibuat dari satu pohon utuh yang besar banget dan didatangkan dari Papua langsung. Konon katanya, ada ritual khusus lho untuk membuat kapal ini dan menyerahkannya ke musum ini.
Kejadian yang agak spooky terjadi saat sedang mengunjungi area diorama para penjelajah nusantara. Di tempat ini terdapat patung-patung dari beberapa tokoh yang pernah mampir ke Nusantara seperti Marcopolo, Laksamana Cheng Ho, Ibnu Batutah, dan beberapa tokoh lainnya. Patung-patung ini seolah hidup saat kami berkunjung ke sini. Bahkan saya merasa speerti ada patung yang mencoba berbisik kepada saya.
Lalu ada kejadian dimana saat semua peserta sedang berdiri diam mendengarkan penjelasan dari pemandu, beberapa dari kami mendengar ada langkah kaki di atas kami, padahal di atas kami itu tidak ada siapa-siapa. Tim lainnya sedang berada di area yang jauh dari kami. Pokoknya serem tapi asyik deh 🙂
Setelah mengunjungi tiap sisi dari Museum Bahari Jakarta yang sudah berusai ratusan tahun ini, minus area yang masih sedang dalam pemulihan pasca terbakar, semua peserta kembali ke aula untuk tidur. Sebelumnya, para peserta sudah diminta untuk membawa sleeping bag atau peralatan yang membuat mereka bisa nyaman untuk tidur. Seperti ikan asin yang dijemur, kami tidur dengan berbaris rapi. Dengan memejamkan mata secara bersama-sama, kami menutup acara hari itu dan ketika kami bangun, acara “Menginap di Museum” resmi berakhir.
Menginap di Museum, Aneh?
Mungkin acara ini terkesan aneh dan tidak umum. Tapi percayalah, di luar negeri seperti di Amerika dan Eropa, acara menginap di museum ini sudah umum dan cukup digandrungi, bahkan acara menginap di museum sudah masuk ke dalam paket wisata. Dan percaya atau tidak, harga untuk menginap di museum yang ada di luar negeri sana itu tidak murah lho, kalau dirupiahkan mungkin bisa di atas 1 juta/orang. Makanya ketika ada tawaran menginap di museum dengan harga Rp 125.000/orang, saya langsung menyambar kesempatan tersebut.
Saya bersyukur banget bisa mengikuti event ini karena ini adalah pengalaman pertama dan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Sumpah, seru banget bisa menginap di museum. Semoga kedepannya, ada lagi museum yang bisa saya “tiduri”. Dan sebagai bocoran, Kang Asep katanya ingin mengadakan acara menginap di kuburan yang ada di Pulau Kelor. Kalau itu terwujud, kalian mau ikutan, nggak?
A people without the knowledge of their past history, origin and culture are like a tree without roots.
–Marcus Garvey