Sekali berlari, 5 Curug di Bogor Terlampaui (Bagian 2)
Tidak enaknya berlari melalui jalur yang pernah dilewati adalah kita sudah memiliki gambaran mengenai jalur tersebut. Jalur mana saja yang berat, ada berapa tanjakan yang akan menyiksa betis, berapa banyak turunan yang siap menggoyangkan lutut, semua itu sudah terekam cukup baik di dalam ingatan dan siap untuk membuat mental jatuh. Kira-kira itulah yang dirasakan rombongan pemuda dari Alam Sutera yang harus kembali ke check point setelah menikmati kesegaran Curug Mariuk. (Kisah sebelumnya bisa dibaca DI SINI)
Terlalu lama menghabiskan waktu di Curug Mariuk, saking keenakannya, membuat rombongan pemuda ini tidak punya lagi waktu untuk beristirahat agak lama. Bahkan mereka harus rela tidak mampir ke Curug Romantis (yang masih 1 jalur lari dengan Curug Mariuk) guna mengejar target waktu dan jarak lari 15 km hari itu.
Setelah sampai di check point (mereka sudah berlari sejauh 6,6 KM), para pemuda ini pun langsung menuju ke jalur berikutnya dengan berbelok ke arah kiri dari pos pendaftaran menuju Curug Mariuk atau berlari terus melewati pondok sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu.
Tidak seperti lari di jalur lari yang pertama, di jalur lari yang kedua ini ada 3 Curug yang akan dikunjungi yaitu Curug Hordeng, Kembar dan Ciburial. Namun sebelum menyambangi satu per satu curug tersebut, para pemuda ini harus berlari menuju pos pendaftaran yang kedua.
Menuju Pos Pendaftaran
Semakin siang, matahari sudah tak bersembunyi lagi di balik horison. Ia dengan gagahnya duduk di singgasananya dan mengawasi para pemuda ini dari atas sana. Pepohononan hijau yang yang tertanam di perkebunan warga, padi yang mulai menguning di atas sawah dan sungai kecil dengan airnya yang jernih menjadi teman perjalanan yang memesona menuju pos pendaftaran kedua. Dengan badan yang staminanya sudah semakin menurun, para pemuda itu tetap memacu diri mereka, “memaksa” diri untuk tetap berlari dan mencapai target mereka.
Sebenarnya letak jalur lari menuju Curug Hordeng ini bersisian dengan jalur lari menuju Curug Mariuk. Hanya saja jalur lari menuju Curug Mariuk ini lebih di atas sedikit dari jalur lari menuju Curug Hordeng. Sayangnya ada hutan lebat dan jurang pemisah yang cukup besar antara kedua jalur lari ini, sehingga rombongan pemuda ini harus berlari memutar untuk bisa mengunjungi Curug Hordeng dari Curug Mariuk.
Perjalanan awal menuju pos pendaftaran kedua kali ini sedikit lebih mudah. Ya, untuk mengunjungi Curug Hordeng, Curug Kembar dan Ciburial ini ada pos pendaftarannya lagi, yang artinya harus bayar lagi. Jika jalur lari dari tempat parkir mobil menuju check point dan jalur lari dari pos pendaftaran pertama menuju Curug Mariuk itu jalurnya dimulai dengan menanjak, tidak dengan jalur menuju pos pendaftaran kedua ini. Rombongan pemuda ini bisa agak lebih santai sebab jalurnya menurun dengan kondisi semen yang sudah agak gompal.
Usai melewati area persawahan dan perkebunan, para pemuda ini tiba di sebuah desa dengan rumah-rumah sederhananya, desa yang berbeda dengan tempat mereka memarkirkan mobil. Di desa inilah letak pos pendaftaran kedua ini berada. Dengan sebuah gapura sederhana berwarna biru, dimana di sebelah kirinya terdapat warung kecil, para pemuda itu membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000/orang dan tak lupa mengisi ulang persediaan air mereka di warung tersebut. Jalan menuju Curug Hordeng pun masih cukup jauh.
Running dan Tracking
Proses bayar membayar sudah selesai, air di water tank sudah terisi semua, para pemuda itu lantas kembali berlari. Jalur awal menuju Curug Hordeng kali ini sangat berbatu dengan rute yang menanjak pelan. Melewati jalur berbatu ini, mereka lantas dihadapkan dengan jalur yang full tanah dengan view kebun singkong, bukit batu dan tanah lapang di sebelah kiri jalan. Jalur lari ini sebenarnya terlihat dari menara pandang saat di Pos 1 menuju Curug Mariuk tadi. Seperti saya sudah bilang, jalur lari menuju Curug Hordeng ini memang sedikit lebih rendah.
Ketika sudah berhasil melalui tanah lapang tersebut, terdapat sebuah warung kecil di sebelah kiri jalan. Namun karena masih dirasa cukup dekat dengan pos pendaftaran, rombongan pemuda ini pun berlalu begitu saja tanpa mampir ke warung tersebut. Tanpa disadari, sebenarnya warung ini menjadi penanda kalau setelah melewatinya, jalur akan terus menanjak dengan sudut kemiringan yang bukan kaleng-kaleng.
Berlari selama 15 menit, akhirnya pemuda ini dihadapkan dengan pos pemberhentian yang pertama di rute yang kedua ini. Terdapat sebuah pohon dengan area untuk berfoto seperti layaknya di Kalibiru, Yogyakarta, dengan pemandangan perbukitan yang berbaris rapi. Bagus sekali view-nya. Namun sayangnya, kayu tempat berpijak di pohon yang berdiri lantang itu sudah lapuk, sehingga para pemuda itu tidak bisa menaikinya.
Untungnya, tidak jauh dari pohon tersebut, terdapat sebuah tanah kosong yang cukup besar untuk mereka berdiri bersama dan mengabadikan momen lari di pos tersebut. Tak menyia-nyiakan waktu, rombongan pemuda ini pun bergegas mengambil posisi dan gambar di pos tersebut.
Selesai mengisi tenaga dengan beberapa kali wefie dan selfie, rombongan pemuda ini kembali melanjutkan perjalanan mereka. Lebatnya rerumputan dan rimbunnya pepohonan yang berada di kiri dan kanan jalur, mereka lewati dengan sesekali sambil bergurau. Ya, trail run memang tak melulu lari, ada kalanya jalan kaki dan saling dukung agar semua tetap semangat. Ketika lelah, ya istirahat. Ada momen dimana memang tubuh perlu dipaksa, tapi ada waktunya juga untuk mengistirahatkannya agar “mesinnya” tidak jebol.
Saat asyik berlari, tiba-tiba rombongan ini dikejutkan dengan 2 papan penunjuk jalan yang terletak persis sebelum sebuah warung semi permanen. Papan yang pertama bertuliskan “Curug Hordeng” ke arah depan dan papan kedua bertuliskan “Kembar & Ciburial” dengan anak panah ke arah kanan. Ya, pada titik ini mereka harus memilih, mau ke Curug Hordeng dulu yang lebih jauh atau Curug Ciburial dan Curug Kembar dulu yang lebih dekat. Setelah berembuk, akhirnya diputuskan yang lebih jauh lebih dahulu.
Setelah berlari pelan selama 10 menit, akhirnya mereka pun tiba di Curug pertama di jalur yang kedua ini yaitu Curug Hordeng.
Curug Hordeng
Untuk bisa sampai ke Curug Hordeng, rombongan pemuda ini harus menuruni tangga buatan dari tanah yang curam dengan rangkaian bilah bambu sebagai pegangannya. Ketika menuruni tangga itulah kalian akan melihat sebuah jembatan bambu dimana sebelum dan sesudahnya terdapat warung sederhana yang bisa digunakan untuk berisitrahat pasca menikmati Curug Hordeng. Tepat di depan jembatan bambu itulah Curug Hordeng berada.
Kenapa diberi nama Curug Hordeng? Karena bentuknya menyerupai hordeng atau biasa dikenal juga dengan istilah gorden alias tirai. Ketika debit air sedang besar, maka air yang jatuh dari atas akan membentuk gorden alami. Sayangnya, ketika para pemuda ini datang ke sana, debit airnya sedang berkurang, sehingga bentuk tirainya tidak terlihat.
Namun hal tersebut tidak mengurangi sukacita dari para pemuda yang sudah berlari sejauh ±9 KM itu. Beberapa dari mereka ada yang langsung menuju warung dan sebagian lainnya segera membuka sepatu dan juga baju untuk segera main air di Curug Hordeng yang sudah memanggil dengan bisikan lembut dari tadi.
Terdapat 2 kolam dengan 2 tingkatan di Curug Hordeng ini. Para pemuda ini tentunya langsung menghampiri tingkat yang paling atas, yang paling dekat dengan curahan air yang paling deras. Dengan berpijak pada bebatuan besar yang menjadi dinding kolam, para pemuda itu naik secara perlahan.
Sama seperti di Curug Mariuk, air di sini pun tidak kalah dingin. Namun karena sudah agak siang, mungkin hal tersebut yang membuat airnya sedikit lebih hangat. Di kolam air dengan kedalaman ±1 meter inilah para lelaki berendam sebentar dan sedikit membahas rute lari yang dilalui tadi.
Di kolam bagian bawah, dengan kedalaman yang lebih cetek, pengunjung lainnya yang terdiri dari beberapa pemuda dan orang tua yang membawa balita terlihat asyik juga bermain air. Beberapa teman mereka terlihat naik ke atas jembatan bambu untuk mengabadikan momen-momen seru dengan ponsel mereka.
Tak kuat terlalu lama berendam di Curug Hordeng, secara bergantian para lelaki yang sudah berendam berganti posisi dengan mereka yang sudah selesai makan di warung. Berendam dalam keadaan perut yang sudah kenyang setelah tenaga terkuras rasanya memang lebih “benar”. Masalahnya hanya maukah mereka bergerak setelah kenyang?
- Baca Juga: Sisi Lain Kolam Pemandian Evu
Pemuda yang sudah berendam pun segera memesan makanan favorit orang Indonesia dan penyelamat anak kosan di akhir bulan, apalagi kalau bukan mie instan dengan telur. Terserah bagaimana cara masaknya, mau dimasak atau digoreng, semua tak ada masalah. Entah kenapa mie instan itu enak sekali di tempat seperti ini, apalagi ketika badan sudah capek.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, rombongan pemuda ini tak ingin terlalu lama di satu curug, sebab masih ada 2 curug lagi yang harus disambangi. Puas bermain air dan yang lainnya pun sudah kenyang, mereka bergegas pamit dan meluncur ke Curug selanjutnya yaitu Curug Kembar.
Curug Kembar
Letak Curug Kembar ini ada di belakang warung yang digunakan para pemuda ini untuk beristirahat dan mengisi tenaga, letaknya agak sedikit ke bawah. Perut yang masih agak penuh menjadi sedikit halangan bagi para pemuda ini untuk berlari cepat menuju Curug Kembar. Untungnya jarak Curug Kembar ini dekat saja, hanya sekitar 5 menit berjalan kaki.
Curug Kembar ini posisinya agak sedikit bersembunyi dan diselimuti pepohonan, berbeda dengan Curug Hordeng yang lebih terbuka. Seperti yang sudah bisa kalian duga, Curug kembar ini memiliki sepasang curahan air dengan tinggi masing-masing sekitar 2,5 meter dan debit air yang cukup deras. Air yang jatuh tak langsung mengalir begitu saja, tapi tertampung sebentar di kolam kecil dengan kedalaman sekitar 30 cm, baru kemudian dibiarkan mengalir membelah bebatuan besar.
Tidak banyak yang dilakukan para pemuda ini di sini. Mereka pun hanya mengeluarkan sebuah bendera dan kemudian berdiri rapi di depan curug untuk foto bersama. Beberapa orang terlihat masih belum rela kalau langsung pergi begitu saja. Akhirnya satu per satu dari mereka berfoto sendiri dengan latar curug yang cantik ini. Setelah itu, mereka bergegas melanjutkan perjalanan menuju Curug yang terakhir yaitu Curug Ciburial.
Curug Ciburial
Berjalan sedikit agak menanjak, sebelum akhirnya kembali menuruni jalur tanah berbatu yang sedikit terjal, akhirnya rombongan pemuda ini tiba di curug yang terakhir yaitu Curug Ciburial. Ya, letaknya lagi-lagi tidak terlalu jauh dari curug sebelumnya. Namun ada sesuatu yang seru sebelum mereka tiba di Curug CIburial.
Rombongan pemuda yang terakhir tiba-tiba saja bertemu dengan beberapa warga lokal yang sedang asyik mengupas nangka. Salah satu dari rombongan pemuda itu bertanya, “Boleh gabung, Kang?”
Warga lokal itu pun menjawab, “Sok atuh. Silakan bergabung.” Sambil mengupas nangka untuk diberikan kepada rombongan itu.
- Baca Juga: Kisah Dibalik Terbentuknya Kolam Evu
Membiarkan rombongan di baris depan sampai di Curug Ciburial terlebih dahulu, rombongan yang terakhir ini malah asyik makan nangka bersama para warga. Satu kupasan habis, diberikan lagi kupasan berikutnya oleh warga lokal tersebut. Begitu terus. Sepertinya memang sedang musim nangka di desa ini.
“Sudah dulu ya, Kang. Sudah cukup puas. Nangkanya enak banget. Kami nggak boleh terlalu kenyang karena masih mau lari.” Ucap salah satu pemuda. “Berapa semuanya ini, Kang.” Tambahnya.
“Aduh, tidak usah. Gratis atuh ini buat kalian.” Ucap si akang.
“Wah, serius kang. Hatur nuhun kalau begitu. Kami pergi dulu.” Pamit rombongan pemuda itu.
“Eh, tunggu dulu. Ini bawa sedikit untuk teman-temannya di depan. Kasian atuh mereka belum kebagian nangka.” Ucap si akang sambil memberikan potongan nangka yang harus dibawa.
Tak kuasa untuk menolak, rombongan pemuda itu pun membawa potongan nangka tersebut sambil kembali mengucapkan terima kasih. Kurang enak bagaimana coba, menikmati indahnya curug sambil makan nangka gratisan 🙂
Curug Ciburial ini tak kalah cantik dibandingkan Curug Hordeng dan Curug Kembar. Curug ini merupakan yang tertinggi di jalur kedua ini. Air di Curug Ciburial ini jatuh dari ketinggian sekitar 10 meter. Tak seperti Curug Hordeng dan Curug Kembar, Curug Ciburial airnya cenderung kecil dan jatuh dengan kerap menempel di dinding tebing batu.
Yang menarik justru kolam yang berada di depan curug. Airnya sangat jernih dan berwarna kebiruan. Jika tidak sedang dikejar waktu, mungkin rombongan pemuda ini akan kembali berenang di dalam kolam yang berdampingan dengan beberapa batu besar ini.
Sebelum menyudahi kunjungan ke curug kali ini, satu per satu berfoto di atas batu besar yang terletak di depan curug dan kolam alami. Pemandangannya memesona namun seperti menyimpan misteri. Dengan berakhirnya sesi foto di Curug Ciburial, genap sudah 4 dari 5 curug yang dikunjungi.
Target para pemuda ini memang bukan curug, melainkan jarak. Curug hanyalah bonus dari lari yang mereka lakukan. Sampai di Curug Ciburial ini, mereka telah berlari ±10 km. Namun mereka belum bisa puas dan beristirahat, sebab masih ada 5 KM lagi yang harus mereka tempuh untuk kembali ke parkiran mobil agar genap jarak 15 KM yang ingin dicapai hari itu.
It’s not down in any map. True places never are
–anonymous