Legenda Di Balik Terciptanya Mata Air Sumber Jenon
Tempat yang indah nan alami di Indonesia tentunya tidak bisa lepas dari sebuah cerita atau legenda yang membentuknya. Meskipun cerita-cerita tersebut seringkali tidak masuk akal atau berada di luar logika manusia, namun cerita tersebut selalu menarik untuk diketahui dan tak jarang mengundang decak kagum saat kita mendengarnya. Begitu pula yang terjadi dengan mata air Sumber Jenon, sebuah sumber air yang begitu jernih, menyegarkan, dan menjadi tempat wisata di Desa Gunungronggo, Kecamatan Tajinan, Malang, Jawa Timur, sekitar 31 Km ke arah timur dari Alun-alun Kota Malang.
Begitu mendengar cerita terbentuknya tempat ini, saya pun hanya bisa terdiam seribu bahasa. Berikut ini adalah legenda seru yang dipercaya menjadi cerita dibalik terciptanya mata air Sumber Jenon:
Sejarah Mata Air Sumber Jenon
Diperkirakan pada tahun 1818 terdapat pinisepuh dari Kerajaan Mataram bernama Mbah Wirogati (Mbah Wiro), dengan istrinya yang bernama Mbah Iro. Pada suatu hari, kedua sepuh tersebut masuk ke dalam hutan di sebelah barat wilayah Gunungronggo (dulu namanya belum Gunungronggo). Di hutan tersebut mereka menjumpai sebuah mata air yang bernama Sumber Salam.
Melihat ada sumber mata air, kedua sepuh ini pun lantas membangun gubuk kecil di dekat sumber air itu sebagai tempat untuk mereka tinggal. Mbah Wiro pun kemudian secara perlahan membuka lahan di hutan tersebut untuk bercocok tanam. Namun sayangnya, Mbah Wiro hanya dapat bercocok tanam di musim hujan karena ternyata mata air Sumber Salam tidaklah terlalu melimpah, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti masak, mandi dan juga minum.
Lalu bagaimana saat musim kemarau? Beliau tidak dapat bercocok tanam dan harus menyimpan hasil padi (yang ia panen saat musim hujan) di dalam lumbung sebagai cadangan makanan. Sampai akhirnya tiba suatu masa dimana persediaan makanan di lumbung mulai habis dan hujan pun tak kunjung turun. Tak bisa terus menunggu, Mbah Wiro pun pamit kepada sang istri untuk mencari air.
Diperlukan waktu yang tidak sebentar bagi Mbah Wiro untuk mencari air. Hutan yang lebat membuat ia harus membuka jalan dengan cara membabat rerumputan dan pepohonan yang ada. Hingga suatu ketika, dalam perjalanannya membuka jalan itu, ia menemukan sebuah pohon tua yang disebut sebagai Pohon Jenu. Mbah Wiro pun kemudian bertapa di bawah pohon tersebut.
- Baca Juga: Asal Mula Nama Majalengka
Waktu ia sedang bertapa, tiba-tiba saja angin besar datang dan membuat Pohon Jenu itu roboh. Mbah Wiro selamat dari persitiwa tersebut , tapi anehnya keluar mata air di tempat jatuhnya pohon itu. Semakin lama air tersebut semakin menggenang dan Mbah Wiro pun membuat sungai sepanjang 4 Km untuk mengaliri air tersebut ke gubuknya.
Proses pembuatan sungai yang cukup panjang itu hanya memakan waktu 1 malam saja. Hal itu dapat dilakukan karena Mbah Wiro memiliki sebuah ilmu dan ia menggunakannya untuk membuat sungai dalam waktu yang sesingkat itu.
Melihat ada air yang mengalir ke gubuknya, Mbah Iro sangat bahagia dan berpikir kalau suaminya akan segera pulang. Namun bukan suaminya yang kembali ke gubuknya, melainkan seekor singa putih. Singa putih tersebut dipercaya sebagai jelmaan Mbah Wiro dan desa ini pun disebut dengan danyangan singa putih.
Melalui singa putih itu, Mbah Wiro berpesan, “Jika jaman semakin maju, sumber air ini akan diberi nama Sumber Jenu (dikarenakan terbentuk akibat robohnya Pohon Jenu).” Namun karena modernisasi, masyarakat sekarang menyebutnya dengan Sumber Jenon.
*****
Itu tadi sekelumit kisah mengenai mata air Sumber Jenon. Percaya atau tidak, Pohon Jenu yang sangat besar itu, yang jatuh sekitar tahun 1818 dan sudah berusia ratusan tahun, masih ada di dalam kolam hingga sekarang. Posisinya melintang dari arah barat ke arah timur dan berdampingan dengan pohon beringin yang terjatuh di dalam kolam tersebut pada tahun 1977.
Bagi kalian yang ingin membuktikan keberadaan Pohon Jenu ini, silakan datang ke Sumber Jenon. Tak perlu menyelam untuk bisa melihat Pohon Jenu raksasa itu. Jernihnya air membuat kita bisa melihatnya dari pinggir kolam.
God’s love is like a spring. It renews, refreshes, and gives life
–Phil Mitchell