Menemukan Kesejukan Alor di Pasar Tradisional Kadelang
Sepulangnya dari Museum 1000 Moko, usai mendapatkan pengetahuan dan pencerahan mengenai apa itu Moko dan apa artinya itu bagi masyarakat Alor dari kakak Yanti, saya dan beberapa orang teman (Chris, Monik & Billy) memutuskan untuk pergi ke Pasar Tradisional Kadelang di Kota Kalabahi.
“Sudah coba makanan khas Alor belum?” Tanya kak Yanti sebelum kami pamit kepadanya.
“Sudah kak. Ikan Kuah Asam di Resto Mama.” Jawab Billy mewakili kami.
“Makanan kecilnya sudah coba?” Tanya kak yanti kembali.
“Kalau yang itu kami belum coba. Memang apa makanan kecil khas Alor?” timpaku.
“Kalau begitu, coba mampir ke Pasar Tradisional Kadelang saja. Kemarin sudah makan di Resto Mama toh? Pasar Tradisional Kadelang letaknya tidak jauh dari sana. Nanti coba cari yang namanya Kue Rambut dan Jagung Titi.” Ucap Kak Yanti.
Usai mendapat saran itu, kami pun berangkat menuju ke pasar Tradisional Kadelang. Meskipun tempat tersebut tidak ada dalam itinerary kami selama menjelajah Alor, rasanya tidak salah bila menambahkan tempat baru dalam rencana perjalanan, toh itu justru akan membuat perjalanan semakin seru dan penuh cerita.
Suasana Pasar Tradisional Kadelang
Mesin mobil yang menderu keras perlahan-lahan mulai pelan hingga akhirnya berhenti berbunyi. Hal itu menjadi tanda kalau kami sudah tiba di Pasar Tradisional Kadelang, perjalanan hanya 10 menit lamanya dari Museum 1000 Moko. Satu per satu dari kami turun dari mobil dengan membawa uang dan peralatan seperlunya. Pasar Tradisional Kadelang begitu ramai, bahkan pukul 12:00 WITA ketika kami datang pun masih sangat ramai.
Terlihat jelas sekali kalau pasar ini merupakan salah satu jantung perekonomian di Alor. Bermacam orang dari berbagai daerah di Alor tumpah ruah di sini untuk memenuhi kebutuhannya. Ada para penjual yang datang untuk menjajakan barang dagangannya, ada para pembeli yang terlihat kebingungan mencari barang yang ingin dia beli, kuli-kuli panggul yang siap mengangkat barang bawaan yang cukup besar, tukang parkir yang mengatur kendaraan yang hendak parkir dan keluar, dan petugas kebersihan dengan sapu andalannya yang kerap terlihat membersihkan sampah-sampah yang ada di pasar.
Seperti layaknya pasar tradisional yang lain, di Pasar Tradisional Kadelang ini bukan cuma orang Alor lho yang berdagang. Para penjual makanan seperti soto dan bakso umumnya orang jawa. Ada juga orang Sulawesi yang tinggal di pesisir yang menjual ikan-ikan segar, mereka semua membaur bersama-sama di pasar ini. Rasanya tidak salah juga kalau pasar Tradisional Kadelang ini dikatakan sebagai simbol persatuan.
Saat kami mulai memasuki area pasar, suasana yang ramai pun mendadak seperti berhenti sekian detik. Semua mata tiba-tiba mengarah kepada kami sebentar sebelum akhirnya semua orang fokus kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Jelas sekali nampaknya kalau kami berempat bukan orang Alor atau orang yang tinggal di Alor. Namun tak masalah, kami menikmati sekali suasana itu. Suasana dimana kami menjadi pusat perhatian.
Suasana semakin berubah kala Billy mengeluarkan mirrorless-nya. Beberapa orang terlihat langsung merapikan tatanan rambut dan pakaiannya seolah mereka tahu kalau mereka akan masuk dalam bidikan kamera kami. Ada orang-orang yang bersemangat minta untuk difoto, ada yang sangat gesit bergaya ketika Billy mengarahkan kamera kepadanya, namun ada juga yang menunduk malu ketika kamera kami fokuskan pada wajahnya. Tapi yang paling penting, tidak ada yang melarang atau mengganggu kami selama kami foto-foto di sana.
Berburu Makanan Lokal
Jalanan yang sempit dan sedikit kumuh mulai kami lalui, satu per satu dari kami mulai mengamati kira-kira dimana lokasi penjual Kue Rambut dan Jagung Titi itu. Susah juga ya mencari apa yang kami inginkan tanpa tahu bentuknya seperti apa. Ya, saking semangatnya ingin mencari Kue Rambut dan Jagung Titi, kami lupa untuk bertanya bentuknya seperti apa. Ditambah lagi pasar ini cukup ramai dan sesak, makin pusinglah kami di sana. Pusing yang nikmat.
Layaknya seorang wanita yang pergi ke Mall untuk membeli barang di toko A namun mampir dulu ke Toko B baru membeli barang di Toko A, begitulah kami ketika di pasar Tradisional Kadelang. Belum melihat adanya tanda-tanda penjual Kue Rambut, kami pun mampir ke salah satu penjual yang menjual sayur dan buah. Di tempat pertama ini kami berbelanja tomat segar dan juga pisang untuk kami santap di penginapan.
Dari sana kami beralih ke pedagang lain di sebelahnya. Kami menemukan buah yang unik, namanya Mangga Kelapa. Berbeda dengan mangga harum manis, mangga kelapa ini ukurannya sebesar buah kelapa. Karena sedang bukan musimnya, kami mendapatkan ukuran Mangga Kelapa yang lebih kecil namun tetap lebih besar dari ukuran mangga lainnya.
Pada penjual mangga inilah kami tanyakan dimana kira-kira kami bisa mendapati Kue Rambut dan juga Jagung Titi. Dengan penuh guyonan, wanita penjual itu menunjukkan lokasi si penjual Jagung Titi dan Kue Rambut. Beruntungnya kami sebab lokasinya tidak begitu jauh. Berangkatlah kami ke sana usai membayar buah yang kami beli tadi, tak lupa saya mengabadikan gambar si penjual buah.
- Baca juga: Itinerary Keliling Alor 7 Hari 7 Malam
2 wanita tua terlihat sedang mengkibaskan kain di atas dagangannya untuk mengusir lalat yang hinggap. Ketika kami datang, wanita tersebut langsung mempersilakan kami untuk mencoba barang daganganya, Kue Rambut, dengan tetap mengibaskan kain untuk mengusir lalat. Kalau saya bisa gambarkan, Kue rambut ini seperti rambut *ya iyalah* dan umumnya dibentuk menyerupai segitiga. Warnanya yang oranye kecoklatan mengingatkan saya akan wajik dan rasanya cukup manis buat saya.
Buat yang penasaran akan bahan baku dari Kue Rambut, kue ini dibuat dari campuran tepung beras, gula aren, santan (bukan mantan), air nira, garam dan minyak. Bentuknya yang keriting-keriting seperti rambut didapat dari cetakan kaleng yang sudah dilubangi, katanya sih begitu (Proses lengkapnya saya kurang paham).
Tepat di sebelah ember dimana Kue Rambut diletakkan, terdapat plastik yang sudah tersusun rapi berisi makanan berwarna putih. Itulah Jagung Titi. Titi sendiri artinya adalah pipih. Ya, Jagung Titi adalah jagung yang sudah dipipihkan. Di NTT, jagung memang menjadi panganan favorit. Rasa Jagung Titi sendiri gurih dan cukup enak. Ada persamaan antara Kue Rambut dan Jagung Titi, yaitu sama-sama enak bila disandingkan dengan kopi.
Usai tawar menawar, kami pun membeli beberapa Kue Rambut dan juga Jagung Titi untuk kami bawa ke penginapan. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk berkeliling-keliling Pasar Tradisional Kadelang untuk sekedar melihat-lihat dan mengakrabkan diri dengan warga di sana.
Arti Pasar Tradisional
Buat saya, pasar tradisional bukan hanya sekedar tempat terjadinya proses jual beli. Ada hal yang lebih penting di dalamnya yaitu interaksi. Berkali-kali saya pernah bilang, jika kalian ingin melihat wajah sesungguhnya dari suatu daerah, pergilah ke pasar tradisionalnya. Di sana kalian bisa melihat wajah-wajah tanpa topeng, wajah dengan senyumnya yang paling jujur beserta keramahannya.
Di Pasar Tradisional, kita tidak salaing mengenal tapi seolah sudah lama kenal. Kita bisa saling bercanda dengan bahasa yang berbeda. Tidak ada jarak antara satu manusia dengan manusia yang lain. Tidak peduli kamu raja dan aku penguasa di luar sana, namun di dalam pasar tradisional kita sama-sama manusia, manusia yang harus saling memanusiakan manusia. Tawarlah seperlunya dan biarkan para penjual itu hidup dan menghidupi keluarganya.
Itulah mengapa saya tidak menolak untuk menambahkan Pasar Tradisional Kadelang ke dalam itinerary saya, karena saya tahu pasti saya akan mendapat banyak pelajaran di sana. Buat kalian yang belum pernah ke pasar tradisional, cobalah untuk mampir dan temukan sukacita di dalamnya. Jangan lupa membeli satu atau dua dagangan di sana ya.
Terima kasih Pasar Tradisional Kadelang.
Salam sayang dari kami dengan bibir yang kemerahan akibat sirih pinang 🙂
Love is when the other person’s happiness is more important than your own.
–H. Jackson Brown Junior