Desa Adat Takpala: Desa yang Membuat Saya Jatuh Cinta dengan Alor
Ada banyak alasan yang membuat seseorang jatuh cinta pada sesuatu dan alasan tersebut bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya. Kurang lebih seperti itulah yang saya rasakan ketika saya jatuh cinta dengan Alor. Kalau umumnya orang lain jatuh cinta dengan Alor karena keindahan bawah laut dan pantainya, tidak dengan saya. Hal pertama yang mebuat saya terpikat dengan Alor adalah keindahan salah satu desanya, Desa Adat Takpala.
Suatu siang yang tenang, ketika saya sedang asik menikmati linimasa Instagram, tiba-tiba saja saya dikejutkan oleh sebuah postingan dari seorang teman asal Brazil . Dalam postingannya itu, ia bersama beberapa orang temannya terlihat asyik mengenakan pakaian adat berwarna hitam dengan kombinasi ungu yang Indonesia banget sambil memegang busur panah. Saya yang kaget sekaligus kagum dengan postingan itu pun langsung mengirim DM kepadanya yang isinya kurang lebih, “Ini dimana? Kamu terlihat gagah dan Indonesia sekali dengan pakaian adat itu.”
Dengan cepat, teman saya itu pun langsung membalas DM saya, jawabnya, “Terima kasih. Ini di Indonesia, di Alor. Desa Takpala namanya.” Itulah titik awal yang membuat saya jatuh cinta dengan Alor. Dari hanya melihat, hati langsung terambat dan saya pun berjanji suatu saat akan pergi ke sana. Saya tak ingin hanya sekadar melihat, tapi saya juga ingin merasakan keindahan dan keunikan desa tersebut.
Tiba di Alor
Setibanya di Alor, Nusa Tenggara Timur, usai merencanakan perjalanan ini bersama beberapa orang sahabat saya, Monik, Billy, dan Chris, sejak 6 bulan sebelumnya, kami pun langsung bertolak ke Desa Adat Takpala, tentunya setelah mengisi perut ini dengan makan siang di restoran yang paling terkenal di Alor, Resto Mama. Ikan Kuah Asam adalah makanan yang wajib kalian coba saat menginjakkan kaki di Alor.
Dengan menggunakan mobil, kami menyusuri pesisir Alor dengan pemandangan alamnya yang luar biasa. Deretan pantai berbaris rapi dengan pesonanya masing-masing. Ada yang berpasir putih, ada yang berpasir hitam, ada yang berbatu, namun semuanya tetap cantik dan semua pantai itu seolah manyapa kami dan menerima kehadiran kami.
- Baca Juga: Travel Itinerary Jelajah Alor 7 Hari 7 Malam
Usai berkendara selama 20 menit dari Pantai Mali dengan kecepatan yang cenderung santai, melewati daerah pesisir dan dilanjutkan dengan menanjak ke arah perbukitan, akhirnya kami tiba di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor. Di sinilah letak Desa Adat Takpala berada. Jalanan menuju Desa Takpala ini sudah mulus, meskipun tak semulus perjalanan cinta kau dan dia, jadi bisa dibilang tak perlu perjuangan yang terlalu keras untuk mencapai desa ini.
Dari lokasi parkir, kami masih harus berjalan sedikit menanjak melewati jalan berbatu hingga menemukan papan putih bertuliskan “Desa Takpala” yang berwarna hitam. Sah sudah saya menginjakkan kaki di salah satu desa adat tertua yang ada di Alor.
Sambutan
Dari kejauhan, sesosok pria berbadan tegap dengan pundak besar dan kulitnya yang hitam manis berjalan ke arah kami. Begitu tiba di depan kami, pria yang bertelanjang dada dan hanya menggunakan kain adat untuk membungkus tubuh bagian bawahnya itu tersenyum dan mengucapkan selamat datang di Desa Adat Takpala. Giginya yang berwarna merah, yang terlihat kala ia tersenyum, mengindikasikan kalau dia baru saja selesai mengunyah sirih pinang.
Tak ada sambutan istimewa ketika kami datang. Warga Desa Adat Takpala yang lain terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, namun hawa penerimaan tetap bisa kami rasakan dan tak ada kekecewaan dari kami. Tidak adanya penyambutan yang spesial disebabkan karena kami datang dengan tidak memberi tahu terlebih dahulu. Kalau saja kami memberi kabar, mungkin akan ada tari Lego-lego untuk kami, sebuah tarian yang memang biasa dipersembahkan warga Desa Adat Takapala untuk menyambut tamu yang datang ke kampung mereka.
Kaki ini pun perlahan berjalan ke arah salah satu rumah adat di desa ini sesuai dengan instruksi Pak Martin, pria berbadan tegap yang menyambut kami, yang ternyata salah satu penjaga desa ini. Nuansa Desa Takpala ini begitu tenang dan sangat tradisional. Desa ini masih begitu menjaga keasliannya sejak dahulu. Deretan rumah dari kayu dan beratapkan ilalang menghiasi desa ini. Rumah-rumah adat tersebut dibangun diatas tanah berbatu yang memberi kesan kalau memang desa ini sudah ada sejak dulu. Dan serunya lagi, di desa ini tidak ada listrik sama sekali. Di rumah adat inilah perbincangan seru kemudian terjadi.
Mengenal Sedikit Rumah Adat Desa Takpala
Pak Martin bercerita kalau Desa Takpala ini sudah ada sejak lama. Desa ini dihuni oleh suku terbesar yang ada di Alor, yaitu Suku Abui, yang artinya orang gunung. Namun barulah sekitar tahun 1940an mereka pindah ke lokasi dimana mereka berada sekarang ini. Dulunya, mereka berada di atas gunung dan di dalam hutan, sama seperti nama suku mereka. Namun karena salah satu raja di Alor kesulitan mengambil pajak dari mereka (jaman dulu), maka mereka diminta untuk pindah ke sini, masih di daerah tinggi (perbukitan), tapi tak jauh dari pantai.
Rumah adat tempat kami duduk sekarang ini, yang dibangun sejak tahun 1939, pun terbilang istimewa. Namanya Fala. Bentuknya seperti rumah panggung namun dengan atap besar dari ilalang yang berbentuk seperti piramida. Kayu yang digunakan untuk fondasi dan tiang-tiang di rumah ini berbahan dasar Kayu Merah. Pak Martin bercerita kalau rumah ini mampu menampung hingga belasan keluarga untuk tinggal bersama lho. “Asal kalian tahu ya, rumah ini fondasinya begitu kuat. Gempa pun tak akan mampu kasih roboh ini rumah.” Jelas Pak Martin.
Rumah adat dimana kami duduk dan mengobrol. Terlihat ada beberapa deret Fala di Desa Takpala ini
Ada 4 tingkatan di dalam rumah adat ini. Tingkat pertama atau yang biasa disebut Liktaha adalah tempat kami duduk. Memang tingkat pertama ini fungsinya sebagai tempat untuk berkumpul dan juga menyambut tamu. Tingkat kedua atau biasa juga disebut Fala Homi, mulai masuk ke bagian atap ilalang, merupakan ruang tidur dan ruang untuk masak. Tingkat ketiga alias Akui Foka adalah tempat untuk menyimpan barang-barang yang mudah kena asap, yaitu bahan makanan ,seperti jagung dan ubi kayu. Lalu tingkatan paling atas atau Akui Kiding adalah tempat untuk menyimpan mahar dan barang berharga seperti Moko.
Salah satu tujuan diletakkannya Moko di tingkatan paling atas adalah agar Moko tidak mudah dicuri. Moko merupakan barang berharga di Alor yang biasanya digunakan sebagai belis. Harga Moko ini bisa mencapai puluhan juta rupiah. Itulah kenapa Moko disimpan di tingkatan paling atas dan diletakkannya pun agak tersembunyi, biasanya diletakkan dibalik tumpukan bahan makanan juga (agar tersamarkan).
Masih dengan penuh semangat, dari tempat saya duduk, Pak Martin menunjuk 2 rumah yang posisinya berlawanan dengan rumah tempat kami duduk. 2 rumah itu letaknya persis di depan bebatuan yang disusun melingkar bak sebuah mesbah, dekat dengan sebuah pohon besar. Kedua rumah adat tersebut adalah Kolwat dan Kanuruat.
Kedua rumah yang sepertinya “disucikan” ini memiliki aturan yang berbeda. Kalau Kolwat boleh dimasuki oleh setiap anggota masyarakat kampung, termasuk perempuan dan anak-anak. Sedangkan Kanuruat hanya boleh dimasuki oleh orang tertetu saja. Bentuknya pun sedikit berbeda dari Fala. Kolwat dan Kanuruat ini memiliki dinding dari anyaman bambu dan bagian atap rumahnya memiliki bagian seperti mahkota. Cukup mudah membedakan Kolwat dan Kanuruat ini. Kolwat didominasi warna hitam, sedangkan Kanuruat didominasi warna putih pada bagian temboknya.
“Minimal 1 tahun 1 kali pintu rumah Kanuruat ini dibuka dan yang membukanya hanyalah tetua adat. Kalau kalian mau masuk rumah Kanuruat itu, bisa saja. Tapi resikonya tanggung sendiri.” Ucap Pak Martin. Mendengar jawaban itu, kami yang tadinya senang mendengar kabar kalau bisa masuk pun langsung mengurungkan niat. Niat kami ke Alor ini untuk liburan, kan nggak lucu kalau nanti kenapa-kenapa.
Mengenal Warga Takpala dan Aktivitasnya
Bagi saya, perjalanan itu tak hanya sekadar foto-foto lalu pergi begitu saja guna memburu foto di tempat selanjutnya. Banyak nilai yang bisa didapat dari suatu tempat apabila kalian mau mendengarkan cerita tentang tempat tersebut dan berbaur dengan orang-orang di sekitarnya. Karena pelajaran tak hanya dari bangku sekolahan. Pelajaran tentang kehidupan itu bisa didapat dari mana saja, dari tempat yang mungkin tidak kalian bayangkan.
Saya pun terus menggali informasi dari Pak Martin. Kalau tadi tentang rumahnya, kini tentang orangnya. Menurut cerita Pak Martin, lelaki di Desa Adat Takpala ini umumnya berladang dan berburu. Mereka benar-benar memanfaatkan hasil hutan yang ada di sekitar mereka. Makanan utama mereka pun sama seperti di kampung saya di Kupang, yaitu jagung dan singkong. Bila ada hasil lebih dari ladang milik mereka atau hasil buruan mereka, hasil tersebut akan mereka jual di pasar.
Bila kaum pria berladang, maka kaum wanita akan menenun, memasak atau membuat beberapa kerajinan lainnya seperti tas dari bambu untuk membawa sirih pinang atau uang. Hasil-hasil kerajinan tersebut umumnya akan mereka jual langsung di desa ini, karena memang desa ini sudah ditetapkan menjadi salah satu jantung pariwisata Alor sejak tahun 1983.
Kerajinan mereka cantik-cantik banget deh. Kain tenunnya itu banyak sekali motifnya. Kalung-kalung serta gelang tradisionalnya pun cantik dan begitu menarik untuk dibeli. Buat yang beragama Katolik, warga Desa Adat Takpala ini pun menjual rosario yang terbuat dari biji kenari. Kalau kalian mampir ke sini, jangan lupa mampir untuk membelinya ya.
- Baca Juga: Moko, Belis Untuk Menikahi Wanita Alor
Saat kami mencoba membeli beberapa kerajinan yang mereka jual, terlihat beberapa anak di sini sedang bermain mainan tradisional seperti gundu dan engklek. ayo, kapan terakhir kali kalian main 2 permainan itu?
“Total ada 14 KK yang tinggal di desa ini. Ada 6 KK yang menetap, termasuk saya dengan Bapa Tua saya.” Ujar Pak Martin sembari asyik mengunyah sirih pinang. Tak ingin asyik sendiri, ia pun menawarkan kami untuk mencoba. Rasa sirih pinang ya begitu deh, pahit-pahit enak. Meskipun membuat gigi kemerahan, namun inilah kunci sukses dibalik gigi orang timur yang bisa kuat dan utuh sampai mereka tua.
*****
Tak terasa, kami sudah berbincang begitu lama. Bahkan sampai ada warga yang duduk gabung bersama kami. Penerimaan semacam inilah yang membuat saya semakin cinta dengan desa ini. Sumpah, selain suasana desa yang begitu adem karena letaknya di perbukitan dengan banyak pohon besar yang menaungi, orang-orangnya pun adem juga. Tentram hati ini selama berada di sana.
“Dari tadi ngobrol terus, kalian mau jadi orang Takpala atau tidak?” Tanya Pak Martin. Inilah yang sudah saya tunggu sejak tadi. Serentak kami pun menjawab, “Mauuu”.
Namun agar lebih seru, saya ceritakan di postingan terpisah ya soal menjadi orang Takpala. Terima kasih sudah mampir dan membaca tentang Desa Adat Takpala ini dengan segala aspek luar biasa yang mereka miliki seperti keindahan, keramahan, kesederhanaan, kearifan, dan banyak hal baik lainnya.
Tunggu postingan saya selanjutnya mengenai “Menjadi Orang Takpala” ya 🙂
Tambahan
- Kalau mampir ke desa ini, jangan lupa membeli kerajinan yang mereka jual ya. Hitung-hitung membantu perekonomian mereka juga 🙂
- Tidak ada biaya masuk desa ini, namun kami tetap memberikan sumbangan sukarela untuk desa ini.
- Kalau ingin disambut dengan tarian Lego-lego, kalian bisa menghubungi Disbudpar Alor. Biayanya mungkin sekitar 1,5 juta untuk sekali menari.
- Jangan lupa bawa air minum.
- Rincian Biaya yang saya habiskan di Desa Takpala bisa dilihat DI SINI
A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.
–Marcus Garvey