Membunuh Hari dan Menggapai Mentari di Bukit Hulnani
Bukit Hulnani – Dari Alor Besar, mobil yang kami tumpangi melaju kencang menuju Kota Kalabahi. Sore itu, sekitar pukul 16:45 WITA, kami baru saja selesai berbelanja tenun ikat dan mendapatkan banyak sekali cerita berharga dari Mama Syariat, sang pengrajin tenun ikat sekaligus pengelola Rumah Tenun Ikat Alor di Kampung Hula, Alor Besar.
Perjalanan kembali ke kota ini terbilang menyenangkan karena kami melewati daerah pesisir, dimana hari sudah tak begitu panas dan kami ditemani oleh pemandangan dari beberapa pantai di Alor yang memesona. Meskipun sama-sama biru seperti pantai di Indonesia lainnya, tapi entah kenapa pantai di Alor ini birunya sedikit berbeda, seperti ada sedikit tambahan daya magis yang membuat hati ini begitu tenang kala melihat kecantikannya.
Saya pun sudah berniat untuk tidur kala pemandangan pantai di sisi kanan sudah mulai tertutupi oleh rumah-rumah warga. Namun saat mata ini nyaris tertutup sempurna, tiba-tiba saja Nick, driver kami selama di Alor dan merupakan putra asli Alor, membelokkan kendaraan ke arah kiri dan melewati jalan yang sangat menanjak, dimana seharusnya kendaraan kami terus melaju lurus ke arah depan.
“Kami mau kamu bawa kemana? Bukankah Kampung Hula tadi adalah destinasi terakhir kita hari ini?” Tanya saya pada Nick dengan mata yang kembali terbuka lebar.
“Terlalu sayang kalau sore begini langsung kembali ke penginapan. Saya mau bawa kalian menikmati keindahan Alor dari ketinggian. Kalian percaya saja pada saya. Saya jamin, kalian pasti akan suka pada tempat ini.” Jawab Nick dengan yakin.
- Baca Juga: Moko, Belis untuk Menikahi Wanita Alor
Kami pun memercayakan semuanya pada Nick dan membiarkan diri kami dibawanya kemana pun ia mau. Dengan cekatan, ia mengendarai mobil berpenggerak 2 roda itu. Jalan yang mendaki itu tidak semulus jalan raya utama. Jalurnya sudah teraspal, tapi masih ada sedikit kerikil dan beberapa lubang yang menghiasinya.
Dibuat berayun oleh jalanan yang berliku dan terus menanjak selama 30 menit, akhirnya mobil berhenti di sisi jalan, tepat di bawah sebuah pohon besar. Setelah dirasa posisinya tepat, mesin mobil pun dimatikan dan satu per satu kami turun.
Tiba di Bukit Hulnani
Turun dari kendaraan, keindahan yang dijanjikan Nick belum terlihat. Di depan mata kami yang terlihat hanyalah perkebunan warga dengan tanaman-tanamannya yang baru saja mulai bertumbuh.
“Mana, Nick? Kamu bilan akan membawa kami melihat keindahan Alor dari ketinggian. Ini sudah tinggi memang, tapi keindahannya belum nampak.” Tanyaku sambil menagih janji Nick.
“Sabar sedikit. Kita masih perlu berjalan sedikit lagi. Tidak sampai 5 menit dan kita akan sampai.” Jawab Nick mencoba menenangkanku.
Nick pun lantas memimpin kami dengan berjalan di depan. Terlihat ia mulai membuka pagar sebuah kebun dan masuk ke dalamnya. Kami pun lantas mengikutinya. Dengan penuh kehati-hatian, kami melangkahkan kaki kami di kebun tersebut agar tak menginjak tanaman singkong yang baru beberapa minggu ditanam.
Sampai di titik ini, keindahan yang dijanjikan Nick sudah mulai terlihat. Laut Alor dengan langit biru dan sedikit sentuhan warna oranye dari sang mentari mulai terlihat. Namun Nick masih terus berjalan. Dibukanya satu lagi pagar dengan rantai yang menggantung di pegangannya.
Kali ini di depan pagar tersebut terdapat lahan kosong dan terlihat ada pondok kosong yang sedang dibangun. Terlihat juga rombongan lain, yang semua anggotanya adalah wanita, sudah sampai lebih dulu dari kami. Di lahan kosong yang berada di pinggir tebing inilah kami berhenti.
“Yap, kita sudah sampai. Selamat datang di Bukit Hulnani.” Ucap Nick.
Menikmati Senja
Rupanya Nick memang tidak bohong, hanya saya saja yang tadi kurang sabar. Dari Bukit Hulnani ini, sebagian kecil Alor terlihat dengan jelas. Tak ada tembok dalam bentuk apapun yang menghalangi pandangan mata ini. Pulau Ternate, Pulau Buaya, Pulau Kepa, Pulau Pura dan Pulau Pantar terlihat sangat jelas dari atas sini. Tidak hanya itu, bahkan Pelabuhan Alor Kecil dan beberapa desa di bawah kami, termasuk Kampung Hula, bisa terlihat dari atas sini meskipun kecil.
Kali ini drone milik saya hanya terlipat manis di dalam tas. Kamera mirrorless-lah yang lebih banyak mengambil peran di Bukti Hulnani ini. Dengan maksimal, saya mengambil gambar di setiap sudut yang saya anggap bagus. Setelah merasa cukup, mirrorless itu pun lantas menemani si drone di dalam tas. Peran kamera lalu digantikan oleh kedua mata ini. Dengan “kamera” buatan sang Tuhan ini saya menikmati pemandangan yang Ia berikan, memprosesnya, lalu menyimpannya ke dalam SDCard yang terpisah. Visualnya saya simpan ke dalam otak, sedangkan rasanya saya masukkan ke dalam hati.
Alam benar-benar berpihak pada kami sore itu. Tak ada awan yang mendampingi sang mentari di singgasananya. Sang surya berdiri gagah sendiri di langit sana. Kami bisa menikmati kegagahannya dengan sagat jelas. Angin pun hanya hadir sebentar untuk menyapa kami, lalu ia pergi entah kemana dan tak kembali.
Langit biru pun perlahan berubah menjadi gelap. Sang mentari mulai berjalan turun dari singgasananya untuk beristirahat. Sambil berjalan turun itu, ia mencipatakan garis horizontal berwarna oranye yang tak berujung, yang seolah membagi langit menjadi 2 bagian, bagian atas dan bawah. Pulau-pulau yang saya ceritakan tadi pun tubuhnya seolah terbungkus oleh kain hitam, permukaannya tak lagi terlihat jelas, hanya bentuknya saja yang masih tetap sama.
Menjelang pukul 18:00, dari balik Pulau Pantar, sang surya pun pamit dan berjanji akan hadir kembali esok pagi. Terima kasih sudah menerangi kehidupan kami setiap hari. Bersamaan dengan kembalinya ia ke tempat istirahatnya, kami pun berjalan kembali ke mobil untuk kembali ke penginapan di Kota Kalabahi. Tak adanya penerangan sepanjang menuruni bukit membuat kami tak bisa kembali saat benar-benar gelap. Sebuah pengalaman menyenangkan bisa memburu senja di Bukit Hulnani.
Tambahan
- Menurut Nick, bukit ini awalnya ditemukan oleh bule yang datang ke sini. Sebenarnya sih tempat ini sudah ada sejak lama, hanya saja mungkin warga sekitar menganggapnya sebagai tempat yang biasa saja, bukan tempat yang spesial. Lalu sejak bule tersebut mulai memperkenalkan tempat ini, lama-kelamaan tepat ini pun jadi komersil.
- Biaya Masuk Bukit Hulnani ini Rp 5.000/orang. Kenapa bayar? Ya karena ini area perkebunan milik warga.
- Perjalanan untuk bisa sampai ke Bukit Hulnani ini tidak melelahkan sama sekali karena kendaraan bisa melaju hingga ke atas.
When I admire the wonders of a sunset or the beauty of the moon, my soul expands in the worship of the creator.
–Mahatma Gandhi