Ditegur Koster di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Malang
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus ♦ Kereta Gajayana yang saya tumpangi dari Jakarta tiba dengan sempurna pukul 09:05 WIB di Stasiun Malang. Sambil menunggu teman yang sedang asyik menikmati keindahan Gunung Batok dan mendengarkan cerita dari Pasir Berbisik, saya pun melangkah gontai keluar dari stasiun dengan belum menetapkan tujuan.
Kondisi Malang pagi itu yang tak sepanas Jakarta membuat saya akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki menuju Alun-alun Kota Malang. Saya ingat, tidak jauh dari alun-alun, ada sebuah gereja tua yang menjadi salah satu simbol kerukunan umat beragama karena letaknya berada persis di sebelah Masjid Agung Jami’ Kota Malang. Gereja tersebut adalah GPIB Immanuel, yang artinya Tuhan beserta kita. Kedua bangunan tersebut seolah ingin berbicara kalau perbedaan boleh ada tanpa perlu ada permusuhan.
Ditemani hawa Malang yang sejuk pagi itu, saya berjalan pelan melewati Alun-alun Tugu dan berbelok ke arah kiri. Setelah 5 menit berjalan dari belokan tersebut, tidak jauh dari Monumen Chairil Anwar, dengan gagahnya berdiri sebuah bangunan dengan dinding berwarna krem dan beratap oranye, yang memiliki 2 menara yang tinggi menjulang di bagian depan. Dilihat dari fasadnya yang bergaya Neo Gothic, sudah dapat dipastikan kalau bangunan tersebut adalah gereja.
Saya pun mempercepat langkah saya menuju bangunan tersebut. Sedari dulu, saya memang tertarik dengan bangunan gereja-gereja (tua) ketika sedang traveling. Jadi kalau ada kesempatan, saya pasti mampir ke gereja-gereja dimana saya sedang berkunjung.
Tiba di depan pagar gereja, saya melihat sebuah plang bertuliskan Gereja Kayutangan (Hati Kudus Yesus). Rupanya ini bukanlah gereja GPIB Immanuel yang ingin saya tuju. Ini adalah. Gereja Katolik Hati Kudus Yesus atau yang lebih dikenal dengan nama Gereja Kayutangan. Pantas saja saya tidak melihat adanya bangunan Masjid di sebelahnya, yang ada justru mall legendaris, Sarinah.
“Tapi kok bentuk bangunannya bagus, ya? Sayang banget kalau melewatkan kunjungan ke gereja ini. Gereja Immanuel bisa lah saya kunjungi nanti.” Ucap saya dalam hati sambil kemudian berjalan menuju pos satpam yang ada di sisi kanan dari arah gereja.
“Permisi, Pak. Boleh saya masuk ke area gereja untuk foto-foto bangunan luar gereja?” Tanya saya. Setelah mendapatkan izin, saya pun mulai masuk area parkir gereja dan meneruskannya ke bagian depan pintu masuk gereja. Tepat di depan pintu masuk gereja, saya mulai mengeluarkan drone dan mendokumentasikan gereja ini.
Sedikit Sejarah Gereja
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus yang berlokasi di Jalan Monseigneur Sugiyopranoto No. 2 Kelurahan Kidul Dalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, ini merupakan gereja tertua yang ada di Malang. Gereja ini dibangun pada tahun 1905, pada masa penggembalaan Romo Godefriedus Daniel Augustinus Jonckbloet, dengan gaya Neo Gothic oleh seorang arsitek bernama Marius J. Hulswit, yang sebelumnya merancang Gereja Katedral Jakarta pada tahun 1901. Bangunan ini kini masih berdiri gagah di ujung jalan dan menjadi saksi sejarah pendudukan Belanda atas Indonesia di Malang pada masa kolonial.
Gaya arsitektur Neo Gothic yang melekat pada bangunan ini bisa terlihat dari bentuknya. Penggunaan tracery (elemen batu yang mendukung penggunaan Lancet), rose windows (jendela berbentuk bundar), 2 menara yang tinggi menjulang di bagian depan dan jarak antara bagian dasar bangunan dengan atap yang cukup jauh.
Awal abad 19 memang bangunan bergaya Neo Gothic sedang menjamur di Eropa. Gaya arsitektur pada gereja ini diperkenalkan salah satunya oleh Petrus Joshepus Hubertus Cuypers, yang merupakan kepala dari Kunstniverheidschool Quellinus, tempat dimana Hulswit menamatkan pendidikannya di Belanda. Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa bangunan ini bergaya Neo Gothic.
Pada awal pembangunannya, Gereja Katolik Hati Kudus Yesus ini tidaklah memiliki menara. Hanya bagunan tinggi dengan sebuah salib di bagian depan atas gedungnya. Namun pada tahun 1930, tepatnya pada tanggal 17 Desember, dengan pemberkatan oleh Monseignur Clemens van der Pas, maka dibangunlah 2 menara dengan tinggi 33 meter pada bagian depan gereja, dengan tetap mempertahankan bentuk pintu masuk gereja dan jendela-jendela pada bagian samping.
Dalam perjalanannya, sejak dipercantik pada tahun 1930 tersebut, menara pada Gereja Katolik Hati Kudus Yesus ini 2 kali mengalami keruntuhan. Yang pertama pada 10 Desember 1957, ketika salib di ujung menara jatuh dan menimpa atap gereja. Sedangkan yang kedua terjadi 10 tahun berselang, tepatnya pada 27 November 1967, ketika ditabrak pesawat milik AURI.
Sebagai sebuah peninggalan dan bukti sejarah, di dalam bangunan gereja terdapat sebuah prasasti dalam bahasa Belanda yang kurang lebih dalam Bahasa Indonesia berbunyi, “Gereja ini dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus, didirikan berkat kemurahan hati Moseigneur Edmundus Sybrandus Luypen, S.J. Dirancang oleh Marius J. Hulswit, dan semasa penggembalaan Romo Godefriedus Daniel Augustinus Jonckbloet dan FB Meurs pada tahun 1905, dilaksanakan pemborong YM. Monseigneur ES Luypen, Uskup Tituler dari Eropa, Vikaris Apostolik dari Batavia”
Ditegur Koster
Kembali lagi ke kondisi ketika saya menerbangkan drone. Saat sedang asyik mengendalikan drone itu, seorang koster bersama salah satu anggota jemaat keluar dari dalam gereja. Melihat saya sedang memegang remote control, sang koster pun menghampiri saya dan kami pun terlibat percakapan:
*Koster: petugas yang bertanggung jawab untuk mengurus bangunan gereja dan isinya.
“Lagi bikin apa kamu? Siapa kasih izin kamu menerbangkan drone di sini?” Tanya Koster.
“Saya sedang mengambil gambar gereja ini. Tadi sudah izin dengan satpam di depan dan ia bilang boleh.” Jawab saya.
“Untuk apa kamu ambil-ambil gambar gereja ini?” Lanjutnya.
“Saya memang suka dengan bangunan-bangunan tua, khususnya gereja. Jadi mengambil gambar ini hanya karena saya suka saja, tidak ada motif lain.” Jawab saya jujur.
“Kalau mau ambil gambar seperti ini izin dulu dong dengan romo. Gereja ini kan ada romo yang memimpin, minta izin ke dia. Satpam itu tidak tahu apa-apa. Kamu masuk rumah orang kok tidak permisi dengan orangnya.” Omel sang koster kepada saya.
- Baca Juga: Pesona AIr Terjun Tumpak Sewu
“Lagi pula kalau mengambil gambar dengan menggunakan drone, kadang yang tidak suka adalah pihak lain yang bangunannya ikut tertangkap kamera kamu. Kalau mereka menghubungi pihak gereja dan kami bilang tidak tahu itu drone siapa sebab tak ada izin kepada kami, maka drone kamu bisa ditembak jatuh. Kamu juga kan yang rugi.” Tambahnya
Koster ini paham betul sepertinya soal peraturan menerbangkan drone. Saya hanya diam dan mendengarkannya bicara. Sambil menerima omelan tersebut, saya pun menurunkan drone saya dan kemudian melipatnya dan memasukkannya ke dalam tas. Memang benar apa yang dia katakan, kalau masuk rumah orang ya harus izin. Saya memang sudah izin kepada satpam kalau saya mau mengambil gambar luar gereja dan diperbolehkan. Namun saya memang tidak bilang apa media yang saya gunakan untuk mengambil gambar tersebut.
- Baca Juga: Menelisik Keindahan Setiap Sudut Bromo
Saya tahu kalau saya bilang mau menerbangkan drone di dalam area gereja pasti tidak diperbolehkan. Memang perlu ada izin khusus (dan umumnya prosesnya lama). Makanya saya hanya bilang “Izin mau foto”. Dalam hal ini memang kesalahan mutlak ada di saya dan saya mengakuinya.
Saya mendapatkan izin?
Saya kemudian dibawa ke sebuah area semacam ruang tunggu di gereja itu, tepat di sebelah gereja lokasinya. Saya pun diminta duduk dan menunggu sebentar, lalu sang koster pergi begitu saja dan memberi tahu saya kapan ia akan kembali dan apakah saya sudah boleh pulang setelah mengakui kesalahan saya.
Sembari menunggu, saya berkeliling ruangan yang tidak terlalu besar itu. Saya melihat beberapa foto mengenai sejarah gereja, seperti foto-foto romo kepala yang pernah memimpin gereja ini, foto ketika gereja ini dibangun, dan foto perbedaan saat gereja belum memiliki menara dan sesudah memiliki menara.
Ketika hendak duduk, sang koster tiba-tiba kembali ke ruangan itu. Kepada saya dia mengatakan, “Kamu boleh menerbangkan drone kamu kembali. Tadi saya sudah tanyakan ke romo dan romo bilang boleh. Ingat, terbang jangan terlalu tinggi dan hanya ambil area bangunan gereja ini saja ya. Ambil yang bagus.” Ucapnya.
Mendengar jawaban itu, saya pun senang sekali. Saya tidak menyangka kalau sang koster ini baik banget. Dia pergi untuk menanyakan izini tersebut kepada sang romo, dalam hal ini adalah yang punya rumah. Dia tidak hanya menegur atau melarang saya, tapi dia juga mencari solusi untuk saya. Wah, keren banget sih koster ini. Mungkin dia tahu kali ya kalau saya sudah jauh-jauh dari Jakarta dan kasihan rasanya kalau tidak mendapatkan izin.
Dengan wajah sumringah, saya kembali mengambil drone saya dan menerbangkannya di area luar guna mendokumentasikan gedung yang bersejarah bagi arema ini.
Terima kasih romo untuk kemurahan hatinya meskipun kita tak berjumpa secara langsung dan terima kasih juga untuk sang koster yang saya pun tidak sempat menanyakan namanya. Tuhan berkati kalian.
Catatan
Setelah pulang dari Malang, saya baru tahu kalau Gereja Katolik Hati Kudus Yesus ini merupakan salah satu dari 32 cagar budaya yang ada di Kota Malang. Penetapan gereja ini sebagai cagar budaya tertuang dalam surat keputusan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Malang yaitu Nomor SK 185.45/361/35.73.112/2018 (Tanggal 12 Desember 2018)
Untuk memotret area cagar budaya dengan menggunakan drone, memang diperlukan izin dan tiap daerah ini prosesnya bisa berbeda-beda. Salah satu proses perizinan yang agak panjang adalah menerbangkan drone di area candi. Saya pun sebenarnya orang yang agak malas menerbangkan drone di area perkotaan. Selain karena banyak intervensi signal, ada beberapa aturan umum lainnya yang memang harus dipatuhi seperti tidak terbang di area No Fly Zones, tidak menerbangkan di daerah yang ramai akan manusia dan tidak menerbangkan di ketinggian yang melebihi 120 meter.
Saat menulis ini pun saya masih merasa kurang pas sebenarnya kalau hanya mendapatkan izin dari romo. Namun kiranya itu bisa menjadi pelajaran buat saya. Saya pun terbuka terhadap kritikan dan masukan dari kalian, para pembaca, apabila memang ada yang ingin kalian sampaikan terkait hal yang saya lakukan ini.
Dari peristiwa ini ada satu hal penting yang saya dapat, yaitu hal baik bila disampaikan dengan cara yang salah, hasilnya ya salah. Hal baik yang dilakukan dengan cara yang benar saja kadang masih ada yang menganggapnya salah, apalagi kalau caranya salah. Semoga pengalaman ini bisa jadi pelajaran juga untuk para pilot drone di luar sana 🙂
A church is a hospital for sinners, not a museum for saints
–Pauline Phillips