Kekristenan, Batak, dan Tahun Baru
Lahir di sebuah keluarga Kristen yang taat, dari seorang Mama keturunan Batak Karo tulen dan seorang Papa yang merupakan pendeta asal Nusa Tenggara Timur (tulen banget juga), membuat saya memiliki cara yang tidak populer dalam merayakan tahun baru.
Tidak seperti kebanyakan orang yang menghabiskan waktu menunggu momen pergantian tahun dengan berkumpul bersama teman-teman di bar, pantai, club, atau hotel, sambil bemain kembang api, minum-minum, atau meniup terompet, saya dan keluarga kerap menghabiskannya di rumah. Ya, di rumah. Selama 30 tahun saya hidup, baru 1 kali saya tidak menghabiskan momen pergantian tahun bersama keluarga. Sisanya selalu bersama keluarga (inti).
“Di rumah kan bisa tiup terompet dan atau menyalakan kembang api juga, Us.” Mungkin ada yang berpikiran seperti itu. Memang bisa, tapi percayalah, hal tersebut berada di urutan terakhir dalam skala prioritas dan mungkin tenaga sudah habis ketika keinginan itu datang.
Lalu apa yang saya dan keluarga lakukan saat menyambut momen pergantian tahun? Berikut ini adalah urutan acara sakral menyambut pergantian tahun yang tidak populer itu:
Gereja Terakhir di Penghujung Tahun
Bila tanggal 31 Desember semua orang sudah pusing soal memilih menghabiskan momen pergantian tahun di mana, mau menghabiskan waktu bersama siapa, dan atau membeli kembang api dengan daya dan gaya ledak seperti apa, maka tidak dengan saya. Template kegiatan di tanggal 31 Desember selalu sama, yaitu pergi beribadah di gereja untuk yang terakhir kalinya di tahun tersebut pada pukul 19:00 WIB.
Satu-satunya hal spesial yang ada di akhir tahun bagi saya hanyalah Brenebon. Usai pulang bekerja, bila masih ada waktu, saya akan dengan lahap menyantap hidangan tersebut. Namun bila waktunya terlalu mepet, saya akan menyimpannya untuk disantap sepulang gereja.
Tepat jam 19:00 WIB, saya sudah pasti duduk manis di kursi gereja bersama mama, papa, dan juga adik saya. Keadaan akan bertambah ramai jika saudara-saudara dari pihak papa dan atau mama datang ke rumah untuk menghabiskan momen akhir tahun bersama kami. Maka dari itu saya tidak pernah relate dengan pertanyaan, “Duh, akhir tahun enaknya ditutup di mana ya?”. Satu masalah yang tak penting itu sudah berhasil ditengking oleh kebiasaan yang diajarkan keluarga saya ini.
Lalu apa yang kami lakukan setelah gereja yang berlangsung kurang lebih berlangsung 1,5 – 2 jam itu? Tentu saja langsung pulang ke rumah.
Doa Malam
Pulang gereja, sambil menunggu momen tahun baru itu datang, sebenarnya saya diizinkan oleh orang tua untuk melakukan kegiatan apa saja dan bersama siapa saja yang saya mau. Meskipun sudah dibebaskan, saya biasanya tetap memilih untuk di rumah saja. Kenapa? Karena tepat pukul 00:00 WIB, saya sudah harus berada di ruang keluarga untuk doa malam. Ya, kalian tidak salah membaca. Hal yang saya dan keluarga lakukan saat momen pergantian tahun adalah berdoa.
Tepat disaat teriakan “Happy New Year” dari tetangga di kiri, depan, belakang, dan kanan rumah itu datang, dengan diiringi ledakan kembang api yang bersahut-sahutan, saat itulah kami khusyuk berdoa. Terlihat sangat religius, bukan?
Menggunakan tata ibadah doa malam yang dikirimkan oleh pihak gereja, papa akan memimpin doa malam (ketika ia masih hidup). Momen doa malam ini dilakukan untuk mengucap syukur atas penyertaan Tuhan pada keluarga kami selama 1 tahun kemarin dan sekaligus memohon penyertaan-Nya di tahun baru. Durasi doa malam keluarga ini paling lama adalah 1 jam.
Jangan pernah sekalipun mencoba untuk berani tidak pulang atau datang telat ke rumah bila memutuskan untuk bermain terlebih dahulu bersama teman sebelum doa malam dilakukan atau omelan akan datang bertubi-tubi menghantammu. Momen doa malam besama keluarga adalah momen yang sangat sakral dan tidak boleh dilewatkan.
Pernah suatu kali, ketika masih SMP kalau tidak salah, saya datang ke rumah terlambat usai gereja. Saya terlalu asyik kumpul bersama teman-teman saya. Doa malam yang harusnya dilaksanakan pukul 00:00 WIB pun harus mundur 30 menit karena keterlambatan saya itu. Alhasil, saya dimarahi papa habis-habisan sebelum doa malam dimulai dan suasana doa pun menjadi ‘tidak asyik’. Berangkat dari peristiwa itu, saya tidak pernah lagi menghabiskan waktu di luar rumah sebelum doa malam.
Mberei Pedah-pedah
Apakah setelah doa malam selesai bisa dilanjutkan dengan bermain kembang api atau tidur? Tentu tidak, Ferguso. Acara inti alias acara puncak baru akan dimulai setelah doa malam ini. Dalam adat Karo, acara ini dikenal dengan nama Mberei Pedah-pedah.
Kata itu mungkin terdengar asing di telinga kalian. Istilah yang lebih populer atau lebih sering didengar orang adalah Mandok Hata. Jadi Mberei Pedah-pedah adalah Mandok Hata-nya orang Karo. Buat yang belum tahu, Mandok hata atau Mberei Pedah-pedah ini adalah acara dimana semua anggota keluarga, mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar (tanpa terkecuali), harus berbicara di momen tahun baru setelah doa malam.
Dengan posisi duduk yang melingkar, umumnya acara ‘berbicara’ ini akan dimulai dari orang yang paling kecil atau paling muda. Apa saja yang dibicarakan? Banyak hal. Bisa mengucap syukur atas berkat yang didapat selama tahun kemarin, harapan di tahun yang akan datang, kekesalan yang terpendam terhadap salah satu anggota keluarga, permintaan maaf terhadap anggota keluarga, memberikan nasehat, dan mungkin introspeksi diri. Intinya ya curhat. Tidak dibatasi apa yang harus dicurhatkan, semua boleh berbicara dan memang harus berbicara.
Waktu pun tidak dibatasi untuk acara Mberei Pedah-pedah ini. Acara baru akan selesai bila orang terakhir sudah selesai berbicara (biasanya orang yang paling tua) dan diakhiri kembali dengan doa. Kebayang dong kalau dalam acara Mberei Pedah-pedah ini ada 20 orang yang berkumpul dan harus berbicara, yang mana tiap orang berbicara selama kurang lebih 5-10 menit. Tak jarang acara ini juga dilengkapi tangis saat curhatan itu keluar.
Pernah suatu kali saya mengikuti acara Mberei Pedah-pedah yang harus selesai jam 4 pagi. Ketika itu memang anggota keluarga yang berkumpul luar biasa banyaknya. Tubuh ini sudah ingin tidur saja, tapi bibir harus dipaksa untuk berbicara, mata tetap harus terbuka, dan telinga harus tetap tajam mendengar. Meskipun sedikit kesal karena acaranya lama, tapi seru juga bisa ambil bagian di acara seperti ini.
Begitu doa penutup yang diakhiri dengan kata AMIN terucap, semua anggota keluarga langsung berdiri serta saling berpelukan satu sama lain. Setelahnya setiap orang dibebaskan untuk beraktivitas. Jika mau bermain kembang api ya silakan, kalau mau makan dan minum-minum juga monggo saja, atau melanjutkan dengan ngobrol-ngobrol juga boleh. Intinya diberi kebebasan untuk berhura-hura.
Namun jangan kalian kira kebebasan yang diberikan ini enak. Kenapa? Karena jam 09:00 WIB, kami sekeluarga sudah harus berada di gereja untuk beribadah awal tahun. Tidak peduli jam berapa Mberei Pedah-pedah ini selesai, tidak peduli kapan kalian tidur, tidak peduli berapa banyak makanan yang kalian makan dan minuman yang kalian minum, yang pasti jam 09:00 WIB sudah harus duduk di gereja dengan baju rapi dan mata yang menyala. Makanya saya lebih memilih untuk tidur begitu acara ‘Berbicara’ ini selesai.
Gereja Pagi di Tahun Baru
Ibadah tahun baru bukanlah ibadah yang favorit dan populer. Kebanyakan orang pasti kalah dengan rasa malas di awal tahun dan lebih memilih untuk rebah di atas kasurnya usai berpesta semalaman. Namun bagi saya dan keluarga yang berketurunan Batak Karo ini, tak ada alasan untuk tidak bergereja di tanggal 1 Januari. Bahasa kasarnya: Silakan kamu mabuk-mabukan malam hari, tapi jam 09:00 WIB WAJIB sudah ada di gereja.
Meskipun ajaran ini adalah ajaran yang cukup ‘keras’ dan gereja tahun baru ini tidak masuk ke dalam kalender gerejawi (bukan suatu hal yang mutlak harus dilakukan), bagi saya adalah sebuah keistimewaan tersendiri bisa beribadah pertama kali di tahun yang baru dengan saudara seiman di gereja. Bukan merupakan suatu kesalahan mengawali tahun baru dengan bergereja, bukan?
Dalam momen awal tahun baru ini, pendeta yang berkhotbah harus bisa menyampaikan khotbahnya secara menarik, syukur-syukur kalau ada unsur humornya. Sebab bila tidak, sudah bisa dijamin jemaatnya akan terlelap. Momen doa syafaat menjadi momen paling menentukan dalam ibadah tahun baru ini, sebab ini merupakan tahap di mana rangkaian doa paling panjang dalam ibadah hadir. Begitu pendeta bilang AMIN setelah mengucap Doa Bapa Kami, kita bisa melihat siapa yang khusyuk berdoa dan siapa yang khusyuk terlelap.
Di akhir ibadah, Rasa kantuk itu akan hilang, semua wajah riang akan terlihat dan pelukan hangat sambil mengucapkan selamat tahun baru pun akan terucap dari satu orang ke orang lain.
Pendapat
Jujur, ketika mulai memasuki SMP sampai kuliah, saya cukup kesal dengan budaya yang seperti ini. Ketika memasuki tahun baru, hati ini pasti sudah kesal karena harus ikut Mberei Pedah-pedah dan tidak bisa menghabiskan tahun baru bersama teman-teman. Namun semakin ke sini, saya mulai senang dengan budaya yang satu ini dan lumayan menunggu-nunggu momen ini.
Bagi saya, ini merupakan salah satu budaya yang perlu dipertahankan dan saya bersyukur karena orang tua saya memperkenalkan saya dengan budaya yang satu ini. Dari Mberei Pedah-pedah ini saya belajar banyak hal.
Pertama, keluarga itu sangat penting. Organisasi terkecil yang pertama kali saya lihat dan bergabung adalah keluarga. Keluarga, terlebih khusus orang tua, adalah tempat yang selalu mau menerima kita bagaimanapun kondisi kita. Entah itu sedang senang, susah, bahkan sedang hancur sekalipun. Bila di luar sana tidak ada yang mau menerima diri ini, keluarga akan selalu hadir dengan tangan yang terbuka.
Dari sekian ratus hari yang diberikan, masa iya saya tidak bisa menyisihkan 2 hari secara khusus (31 Desember dan 1 Januari) untuk keluarga? Egois sekali saya ini kalau memang seperti itu.
Kedua adalah saya belajar untuk berbicara. Mungkin bukan hal yang aneh kalau orang Batak itu pandai berbicara di depan umum sejak kecil. Dari mana kemampuan itu didapatkan? Ya dari Mberei Pedah-pedah atau Mandok Hata ini. Sedari kecil kami diajarkan untuk mengutarakan isi hati di depan orang banyak. Awalnya mungkin malu dan hanya sedikit yang bisa terucap, tapi lama kelamaan, tanpa disadari, kami menjadi terlatih untuk berbicara.
Ketiga, saya belajar untuk mendoakan orang lain. Terkadang mungkin kita lupa kalau kita punya saudara yang begitu dekat dan jarang sekali kita doakan, Nah, di malam pergantian tahun ini saya diajarkan untuk mendoakan satu sama lain, ya paling tidak mendoakan mereka yang hadir di tengah-tengah saya dan keluarga. Di momen ini pula biasanya saya bisa menangis. Kenapa? Karena mendengar doa mama.
Tidak ada hal yang lebih nikmat di awal tahun dari mendengar langsung doa mama untuk diri ini. Kalau biasanya orang tua hanya berdoa dalam sepinya di dalam kamar, nah di momen Mberei Pedah-pedah ini saya bisa mendengar langsung doa mama untuk saya. Momen itu saya gambarkan seperti Petani yang sedang menyirami padinya. Mama adalah petaninya, saya adalah padinya, dan air itu adalah doanya.
*******
Itu tadi sedikit rangkaian cerita bagaimana saya menghabiskan pegantian tahun dengan cara yang tidak populer. Tentunya setiap kalian punya cara yang berbeda untuk memaknai dan merayakan tahun baru, dan tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah menurut saya adalah ketika kalian tidak menghormati cara orang lain dalam merayakan sesuatu.
Happy New year and have a wonderful year ahead
Mereka menertawakanku karena aku berbeda. Aku menertawakan mereka karena mereka semua sama.
–Kurt Cobain