Mengenal Siwaluh Jabu, Rumah Adat Orang Karo
Usai merayakan Natal di Kampung Cingkes, kurang lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi Siwaluh Jabu. Dalam bahasa Karo, Waluh artinya 8 dan Jabu artinya rumah. Jadi Siwaluh Jabu merupakan rumah adat Karo yang memiliki 8 ruangan dan (dapat) dihuni oleh 8 keluarga.
Sayangnya, Siwaluh Jabu di Kampung Cingkes tinggal sebuah cerita. Semua Siwaluh Jabu yang ada di kampung ini sudah hancur. Padahal dulu di Kampung ini terdapat 30 Siwaluh Jabu dan menjadi salah satu daerah tujuan wisata favorit turis asing. Namun karena satu per satu keluarga keluar dan mendirikan rumah sendiri, lama-kelamaan Siwaluh Jabu menjadi kosong dan rusak dengan sendirinya akibat tidak ada lagi yg merawat.
Untuk melihat Siwaluh Jabu terdekat, saya pun harus berangkat ke Kampung Dokan. Bersama kedua sepupu saya, Nacha & Gio, serta Naomi adikku dan Mama Danlas (mama merupakan panggilan untuk paman dalam bahasa Karo), saya berangkat menuju Kampung Dokan dengan menggunakan motor (sebutan untuk mobil bagi masyarakat Sumatera Utara).
Perjalanan dari Kampung Cingkes menuju Kampung Dokan ternyata hanya sebentar saja, kurang lebih 30 menit lamanya. Kampung Dokan berada di kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Ternyata kampung ini memang sudah mendapatkan predikat sebagai desa wisata karena merupakan salah satu kampung yang mewakili sejarah peradaban Karo.
Setibanya di Kampung Dokan, kami langsung keluar dari motor. Suhu udara yang tadinya dingin dengan cepat berubah menjadi panas. Matahari memang sedang berada pada titik tertingginya. Di tengah teriknya sinar matahari yang menyerang kami, terlihat di salah satu pintu Siwaluh Jabu seorang nini (sebutan untuk nenek dalam bahasa karo) sedang duduk sambil menatap kami.
“Mari Kubasken”, katanya dalam bahasa Karo yang artinya mari masuk. Segera setelah undangan untuk masuk itu datang, saya dan saudara-saudara menaiki tangga yang mengarah ke pintu masuk yang ukurannya cukup kecil. Terlihat nini sudah duduk di atas kursi kayu kecil.
Tanpa berlama-lama saya segera memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan kedatangan saya ke Kampung Dokan ini yaitu untuk mengetahui sejarah Siwaluh Jabu. Masalah pertama langsung muncul setelah perkenalan ini, ternyata nini tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya yang tidak bisa berbahasa Karo pun bingung, kemampuan berbahasa karo saya hanya sebatas minta makan dan minta uang. Untung saja saya membawa Nacha dan Gio yang bisa berbahasa karo dengan sangat baik. Mereka menjadi penerjemah saya saat itu.
Nini memperkenalkan dirinya dengan logat dan bahasa karonya yang kental dan dengan cepat Nacha langsung mengartikannya. Sosok tua itu bernama Rahai br. Sembiring, anak kesekian (saya lupa) dari 6 bersaudara. Semua saudaranya sudah meninggal dan hanya tinggal dia yang hidup. Usia Nini sudah tak muda lagi, tahun depan ia menginjak 87 tahun.
Sebenarnya Nini bukanlah orang Karo melainkan orang Toba, marganya adalah Silalahi. Lahir dan besar di Tanah Karo membuatnya tidak bisa berbahasa Toba. Marga Silalahi dalam Batak Toba itu setara dengan Marga Sembiring dalam Karo, itulah mengapa nini ini mendapatkan marga Sembiring. Bagaimana? Bingung? Sama, saya juga. Berkali-kali dijelaskan silsilah Karo dan Toba ya hasilnya tetap sama, BINGUNG.
Tahapan Pembangunan Siwaluh Jabu
Kembali lagi ke Siwaluh Jabu. Menurut cerita nini, Siwaluh Jabu yang ditempatinya ini sudah ada sejak ia lahir dan bahkan sejak orang tuanya lahir. Itu berarti usia bangunan ini kira-kira sudah 100 tahun lebih.
Bukan perkara mudah untuk membuat Siwaluh Jabu ini. Ada beberapa tahap yang harus dilewati dan harus dilaksanakan secara berurutan. Tahap pertama disebut dengan Padi-padiken Tapak Rumah. Pihak keluarga akan mencari letak dan menetukan arah rumah untuk dibangun. Hampir sama seperti fengsui pada masyarakat tionghoa, orang Karo jaman dulu pun percaya akan letak dan arah yang baik dalam penentuan rumah. Dibutuhkan bantuan dukun untuk menentukan poin yang satu ini.
Tahapan kedua namanya Ngempak. Setelah mendapat letak dan arah yang baik, sekarang waktunya untuk menentukan tanggal yang baik untuk mencari kayu di hutan. Lagi-lagi dukun akan dilibatkan dalam tahapan ini. Salah satu cara untuk melihat apakah itu tanggal baik atau tidak, dilihat dari cara jatuhnya kayu saat ditebang. Dukunlah yang dapat melihat hal ini baik atau tidak.
Tahapan ketiga disebut dengan Ngerintak Kayu. Sebagai sebuah permohonan untuk membantu membawa kayu-kayu yang sudah ditebang dari hutan, pihak keluarga yang membangun Siwaluh Jabu akan membagikan sirih kepada warga desa. Usai kayu-kayu tersebut dibawa ke tempat yang telah ditentukan, acara makan bersama akan digelar.
Tahapan keempat disebut dengan Pebelit-belitken. Para pekerja yang akan membangun Siwaluh Jabu akan berkumpul di rumah si pemilik rumah. Di sini akan dibicarakan mengenai lama pekerjaan dan berapa upah yang akan dibayarkan kepada para pekerja.
Tahapan kelima disebut dengan Mahat. Bisa dikatakan tahap pembangunan baru benar-benar dimulai pada tahap ini. Kayu-kayu yang sudah dibawa tadi akan dipahat dan dipotong sesuai dengan peruntukannya.
Tahapan keenam dikenal dengan istilah Ngampeken Tekang. Setelah fondasi berhasil didirikan, keluarga dan warga desa diminta untuk membantu proses pemasangan balok kayu di atas fondasi-fondasi tersebut. Karena kayu-kayunya cukup besar dan berat, diperlukan banyak tenaga dan kerja sama untuk memasangnya.
Selain kayu, material lain yang diperlukan untuk membangun Siwaluh Jabu adalah Bambu dan juga Ijuk. Bambu diperlukan untuk membuat kerangka atap dan juga Ture (semacam teras), sedangkan Ijuk digunakan sebagai atap. Alasan dipilihnya ijuk karena bahan ini tidak membuat panas ruangan saat siang dan cukup kuat saat hujan menerjang.
Tahapan ketujuh disebut Ngampeken Ayo. Kalau kalian lihat ada anyaman bambu pada bagian atap Siwaluh Jabu, itulah yang dinamakan Ayo. Pada tahap inilah anyaman bambu tersebut akan dipasang.
Dan yang terakhir Pemasangan Tanduk Kerbau. Bisa dibilang tahapan ini adalah tahapan finishing. Pemasangan tanduk kerbau harus dilakukan di malam hari dan untuk mengikatkannya di bagian atas digunakanlah tali ijuk. Tanduk kerbau ini dipercaya sebagai penolak bala. Orang yang memiliki keinginan buruk tidak akan bisa memasuki rumah ini karena sudah ditangkal oleh si tanduk kerbau.
Proses pembangunan Siwaluh Jabu ini bisa memakan waktu yang cukup lama. Seperti Siwaluh Jabu yang ditempati nini Rahai ini contohnya, proses pembangunannya memakan waktu 2 tahun. Selain karena arsitekturnya yang rumit, banyak juga upacara-upacara yang perlu dilakukan, bahkan setelah jadi dan untuk memasukinya pun diperlukan upacara agar keluarga yang menempati bisa terhindar dari hal-hal buruk. Kembali dukun akan diikutsertakan dalam ritual masuknya penghuni rumah ke dalam Siwaluh Jabu baru atau dikenal dengan istilah “Mbengketi Jambu Simbaru”.
Keistimewaan lainnya dari Siwaluh Jabu adalah tidak dipergunakannya paku untuk mengikatkan kayu yang satu dengan kayu yang lainnya. Sama seperti Rumah Bolon di Toba, Mbaru Niang di Flores dan Tongkonan di Toraja, kayu-kayu di Siwaluh Jabu dibuat saling mengunci atau saling direkatkan dengan diikat menggunakan tali ijuk. Saking dianggap hebat karena dibangun tanpa menggunakan paku, banyak mahasiswa, baik dalam ataupun luar negeri yang datang untuk meneliti Siwaluh Jabu.
Bagian Rumah
Dari proses pembangunan rumah, nini beranjak menceritakan bagian-bagian dari setiap rumah. Dari penjelasan nini, saya membagi Siwaluh Jabu ke dalam 4 bagian yaitu bagian atas, bagian tengah, bagian bawah dan bagian luar.
Bagian Bawah
Karena rumah ini merupakan rumah panggung (rumah yang memiliki kolong), Jaman dahulu bagian bawah rumah biasa digunakan sebagai tempat untuk menyimpan ternak seperti babi, sapi atau kambing. Seiring dengan kemajuan jaman dan banyaknya penyuluhan yang dilakukan baik oleh pemerintah atau LSM, ternak-ternak tidak lagi diletakkan di sini untuk alasan kesehatan. Mereka dipindahkan sekian ratus meter dari rumah guna menjaga jarak aman.
Kini bagian bawah rumah lebih sering dibiarkan kosong atau digunakan sebagai tempat untuk menyimpan gerobak atau kayu.
Bagian Tengah
Bagian tengah ini merupakan bagian utama atau bagian inti dimana para penghuni Siwaluh Jabu beraktivitas. Mereka makan, tidur, masak, bersenda gurau di bagian tengah ini. Seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya, terdapat 8 jabu yang saling berhadapan dengan urutan yang tidak sembarangan. Tiap jabu dibatasi dengan sekat untuk memisahkan satu keluarga dengan keluarga yang lainnya dan untuk menutupi tiap Jabu digunakanlah sebuah kain.
Terdapat 4 dapur yang terletak di depan jabu. 1 dapur bisa digunakan oleh 2 keluarga secara bersamaan. Memasak di sini masih cukup tradisional, belum menggunakan gas melainkan masih menggunakan kayu bakar. Bahkan untuk menyetrika pun masih digunakan setrika yang menggunakan bara untuk menghasilkan panasnya.
Di atas tempat memasak terdapat sebuah rak kayu menggantung. Dulu rak ini digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan padi sebelum ditumbuk di lesung. Namun tempat ini sekarang kebih sering difungsikan sebagai tempat untuk meletakkan gelas, piring atau perkakas untuk kerja seperti pacul, kapak dan pisau.
Terdapat 2 pintu di bagian depan dan belakang serta 2 jendela di masing-masing sisi Siwaluh Jabu. Pintu sengaja dibuat kecil/pendek agar siapapun yang mau masuk ke dalam harus menunduk. Hal ini menunjukkan suatu bentuk kesopanan dalam adat istiadat orang Karo.
Bagian Atas
Bagian atas digunakan sebagai tempat untuk menyimpan kayu bakar. Menurut nini, banyak sekali orang asing yang mengira kalau di bagian atas inilah tempat penghuni jabu tidur. Mungkin mereka menganggap kalau bagian tengah rumah ini terlalu kecil untuk dihuni banyak orang.
Untuk meletakkan kayu bakar di bagian atas, terdapat 2 buah tangga yang bisa digunakan. Tangga tersebut dapat dipindahkan untuk mempermudah peletakkan atau pengambilan kayu-kayu tersebut.
Bagian Luar
Ada 2 tempat di bagian luar yang kerap menjadi tempat munculnya benih-benih cinta di kalangan muda-mudi Karo. Letaknya ada di bagian depan dan dibelakang Siwaluh Jabu, namanya Ture. Terbuat dari bambu yang disusun secara mendatar lengkap dengan tangga untuk menaikinya, Ture alias teras ini biasa dijadikan tempat untuk menganyam tikar oleh kaum wanita. Saat sedang menganyam inilah biasanya pria Karo akan datang mengampiri untuk menemani si wanita.
Kalau ada yang penasaran dimana para penghuni Siwaluh Jabu ini mandi atau mencuci, jawabannya tentu tidak di dalam rumah karena memang tidak ada kamar mandi di rumah tradisional ini. Semua hal tersebut dilakukan di luar rumah. Kalau jaman dahulu, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di sungai. Namun sekarang kehadiran sungai sudah digantikan oleh kamar mandi umum yang letaknya tidak jauh dari Siwaluh Jabu.
Penjaga Kampung Dokan
Orang Karo jaman dulu percaya akan adanya “penjaga kampung” dalam wujud bukan manusia. Sosok misterius yang menjaga kampung ini bersemayam dalam wujud garam (sira) yang diletakkan dalam sebuah wadah di bagian langit-langit Siwaluh Jabu Mbelin. Garam ini dipercaya dapat memberikan gambaran baik atau buruk bagi warga Kampung Dokan sebelum melakukan sesuatu.
Warga Kampung Dokan percaya ketika garam ini diturunkan dan ternyata garamnya dalam posisi berdiri maka sesuatu hal buruk akan terjadi. Namun ketika garam ini diturunkan dan menunjukkan posisi tidur, maka sesuatu hal yang baik akan terjadi. Kalau Jaman dulu, penurunan garam ini dilakukan ketika mau berperang dan memasuki musim bertanam. Dari hasil melihat garam ini bisa diketahui apakah bisa memenangkan perang atau tidak dan bisa juga diketahui apakah hasil bertani nanti akan bagus atau tidak.
Untuk menurunkan garam ini dari atas Siwaluh Jabu diperlukan adanya bermacam upacara atau ritual adat dan biaya yang tidak sedikit. Itulah mengapa ritual penurunan garam (Penusur Sira) ini jarang sekali dilakukan. Terakhir dilakukan adalah bulan Mei 2017 dan sebelumnya lagi adalah tahun 1992.
Kegiatan di dalam Siwaluh Jabu
Nini Rahai bisa dibilang orang yang cukup produktif. Di tengah usianya yang sudah tidak muda lagi, nini masih berkreasi bersama cucu-cucu dan anak-anaknya. Jika sedang tidak ada turis yang berkunjung, maka nini akan membuat miniatur Siwaluh Jabu.
Berbekal kesabaran dan sedikit keterampilan, nini rahai menyulap bambu, kayu dan kardus menjadi sebuah karya yang bernilai jual. Miniatur-miniatur ini bisa kalian beli saat mengunjungi Siwaluh Jabu yang ada di kampung Dokan ini.
*****
Siwaluh Jabu bukan hanya sekedar tempat untuk tinggal dan tempat berlindung dari panas serta hujan. Siwaluh Jabu merupakan wujud kebanggaan masyarakat Karo dan simbol dari gotong royong juga kebersamaan. Dari Siwaluh Jabu ini kita juga bisa melihat betapa eratnya persaudaraan dan hubungan kekerabatan antar masyarakat Karo.
Sekarang hanya tinggal 5 Siwaluh Jabu yang masih ada dan ditempati di Kampung Dokan. Kelima Siwaluh Jabu tersebut adalah Rumah Mbelin (rumah yang ditempati nini yang terdapat garam), Rumah Mbaru, Rumah Tengah, Rumah Sendi dan Rumah Ketek. Tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan terus menurun kalau kita dan masyarakat Kampung Dokan tidak menjaganya. (tahun 2011 ada 7 Siwaluh Jabu di Kampung Dokan)
Semoga Biring (panggilan untuk nini Rahai) terus sehat dan terus dapat menceritakan tentang rumah yang menjadi kebanggaan masyarakat Karo ini.
Mejuah-juah
Catatan
- Untuk datang ke Kampung ini, sebaiknya kamu membawa orang yang bisa berbahasa Karo karena Biring tidak bisa berbahasa Indonesia dan umumnya orang di Kampung Dokan lebih lancar bercerita dalam Bahasa Karo.
- Tidak ada biaya untuk masuk ke dalam Rumah Mbelin dan mendengarkan cerita dari Biring. Namun sebagai bentuk apresiasi dan hitung-hitung membantu menjaga keberadaan rumah ini, tidak ada salahnya kita memberikan uang seikhlasnya kepada Biring di akhir kunjungan kita.
- Selain di Kampung Dokan, lokasi rumah adat Siwaluh Jabu yang masih terawat berada di Lingga.
There is nothing new in the world except the history you do not know.
— Harry S. Truman