Mengenal dan Mempelajari Kebudayaan Alor di Museum 1000 Moko
“Kepulauan Alor terdiri atas 20 pulau dan 17 kecamatan. Di antara pulau-pulau tersebut, hanya 9 pulau saja yang berpenghuni yaitu Pulau Alor, Pantar, Pura, Terewang, Ternate (bukan Pulau Ternate yang ada di Maluku ya), Kepa, Buaya, Kangge dan Pura. Sedangkan 11 pulau lainnya yaitu Sikka, Kapas, Batang, Lapang, Rusa, Kambing, Watu Manu, Batu Bawa, Batu Ille, Ikan Ruing dan Nubung adalah pulau-pulau yang tidak dihuni oleh manusia.” Itulah perkenalan awal saya dengan Pulau Alor yang disampaikan dengan sangat baik oleh Kakak Yanti, ketika saya dan beberapa orang teman masuk ke dalam Museum 1000 Moko.
Sembari mengajak kami masuk, ia menunjuk ke arah sebuah peta keluaran tahun 90an yang menurut saya jauh lebih detil bila dibandingkan dengan google maps. Kak Yanti pun kembali melanjutkan ceritanya mengenai Alor. “Di Alor ini dulunya terdiri atas banyak kerajaan. Ada kerajaan Bungabali, Kerajaan Pandai, Kerajaan Pureman, dan beberapa kerajaan lain. Namun sejak Belanda masuk ke Alor, Belanda memangkasnya dan menjadikan Alor hanya terdiri atas 4 kerajaan yaitu Kerajaan Alor Pantar, Kerajaan Kolana, Kerajaan Kui dan Kerajaan Batu Lolong.” Tuturnya.
Agar komunikasi terjalin secara 2 arah, Kak Yanti pun mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami untuk menguji pengetahuan kami akan Alor.
“Kalian tahu tidak sebelum pindah ke Kalabahi, dimanakah lokasi Pemerintahan Alor?” Tanya Kak Yanti kepada saya, Billy, Chris dan Monik.
Melihat tidak ada yang bisa menjawab, Kak Yanti secara otomatis langsung menjawab pertanyaannya sendiri. “Sebelum pindah ke Kalabahi, lokasi pemerintahan berada di Alor Kecil. Namun tahun 1911, Belanda memindahkannya ke Kalabahi. Alasannya karena daerah Alor Kecil terlalu terbuka, sedangkan Kalabahi lebih tertutup. Pemindahan pemerintahan membuat pelabuhan dan lain-lain lebih mudah dikontrol. Di Kalabahi juga terdapat sungai besar yang mengaliri kota tersebut, jadi sumber air di sana tidak akan sulit.” Jelas Kak yanti.
“Baru masuk pintu dan menunjuk ke arah sebuah peta lama saja saya sudah mendapatkan pengetahuan yang sebanyak ini.” Ucap saya dalam hati yang merasa begitu beruntung menjadikan Museum 1000 Moko menjadi salah satu destinasi pada Trip Alor kali ini.
Tak ingin terlalu lama di satu titik, kami pun beranjak ke titik yang lain. Beberapa foto hitam putih orang-orang Alor tempo dulu terpajang pada sebuah dinding kayu yang berada di sebelah peta tadi. Foto-foto tersebut memberikan gambaran kepada pengunjung bagaimana cara orang Alor yang sukunya berbeda-beda berpakaian.
“Nama, agama dan cara berpakaian orang Alor itu dipengaruhi juga dari daerah dimana mereka tinggal.” Kata Kak Yanti.
“Jadi, masyarakat pesisir itu umumnya beragama Islam dan orang-orangnya (nama, pakaian, adat istiadatnya) dipengaruhi oleh unsur-unsur Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Hal tersebut dikarenakan pengaruh perdagangan. Sedangkan di daerah yang agak ke gunung (seperti Batu Lolong dan Kolana), pengaruh Kristennya begitu kuat dan cara berpakaiannya pun berbeda.” Lanjut Kak Yanti sambil menunjuk beberapa foto yang menguatkan penjelasannya.
- Baca juga: Moko, Belis untuk Menikahi Wanita Alor
Desain interior Museum 1000 Moko ini layaknya seperti museum pada umumnya dimana sebagian barang ditampilkan di dinding-dindingnya dan dibuat melingkar, lalu sebagian lainnya diletakkan dibagian tengah. Jadi rute dari Museum 1000 Moko ini adalah ke arah kiri dari pintu masuk, lalu memutar dan kembal lagi ke titik awal (pintu masuk dan keluarnya sama).
Di sisi satunya lagi dari dinding kayu itu, terpampang wajah-wajah Bupati Alor dari masa ke masa. “Bupati Alor yang pertama itu orang Ambon. Setelah kemerdekaan NTT masih bergabung dengan NTB dan Bali. Sekitar tahun 1956, barulah NTT berpisah dan berdiri sendiri dan Kabupaten Alor pun muncul. Bupati pertama adalah hasil penunjukkan langsung. Jekcobo adalah nama putra Alor pertama yang menjadi Bupati Alor, lagi-lagi masih lewat penunjukan langsung.” Terang Kak Yanti.
Berjalan terus menjauhi pintu masuk, kami melihat ada beberapa peninggalan Belanda dan Portugis seperti meriam dan juga souvenir berbentuk perahu naga. Namun ada 2 buah benda yang menarik perhatian saya yaitu Kopiah dan Alkitab. Alkitab ini merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Melayu (1927). Di bagian depannya bukan tertulis Alkitab melainkan Kitab Koedoes. Sedangkan untuk kopiah, bahannya berasal dari rotan dan berlapiskan sutera.
Bisa dibilang Museum ini cukup rapi. Beberapa alat tradisional dari masa ke masa seperti alat tenun, senjata tradisional, alat masak tradisional, alat musik, perhiasan, semuanya tersimpan rapi di dalam lemari kaca. Memandang benda-benda tersebut membuat saya seperti kembali ke masa lalu dan membayangkan kehidupan masyarakat Alor jaman dahulu.
Saya pun semakin terhanyut akan kehidupan masyarakat Alor kala memandang 2 buah manekin yang dipasangkan kain Alor. Satu manekin untuk perempuan, satunya lagi untuk laki-laki. “NTT ini memang terkenal akan kain tenunnya dan Alor pun memiliki kain tenunnya sendiri. Ada 2 jenis tenun di Alor yaitu tenun ikat dan tenun songket. Harganya pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan.” Jelas Kak Yanti yang melihat kami asyik memandangi manekin dengan kain tenun itu.
“Wanita Alor memangnya pakai tusuk konde juga ya?” Tanya Monik yang terlihat asyik memperhatikan manekin wanita.
“Oh itu namanya waringkas. Hanya dipakai oleh wanita Pantar. Kalau waringkas yang dipakai hanya 1, itu tandanya dia masih nona. Kalau 2, artinya wanita tersebut sudah berumah tangga. Kalau yang digunakan itu 3, tandanya wanita itu adalah keturunan raja.” Jawab Kak yanti.
“Oh iya, Jangan heran ya kalau melihat bulu ayam yang dipakai di kepala layaknya Suku Abui di Desa Takpala. Itu merupakan simbol kegagahan atau keperkasaan dari seorang pria.” Tambahnya.
Tak terasa, ternyata kami sudah mengelilingi setengah bagian dari Museum 1000 Moko. Setiap penjelasan yang begitu rapi dari Kak Yanti membuat saya betah berlama-lama di Museum ini. Di bagian tengah Museum, terdapat Moko dengan berbagai ukuran. Moko merupakan sebuah gendang yang menjadi identitas dari Alor. Nama museum ini juga merupakan julukan bagi Alor, Negeri 1000 Moko. Tulisan lengkap mengenai apa itu Moko dan apa fungsinya bisa kalian baca DI SINI ya.
Di Museum 1000 Moko ini terdapat juga peninggalan-peninggalan dari Cina berupa piring porselen. Yang menarik adalah ada 1 piring porselen yang bisa membuat makanan tidak basi. “Kita sudah melakukan uji coba beberapa kali terhadap piring ini dan ketika makanan kita letakkan di atasnya selama beberapa hari, makanan itu tidak basi.” kata Kak Yanti.
Mendapat penjelasan yang unik itu Billy pun sontak berkata, “Wah, piring idaman anak kos dong ini. Nggak perlu capek-capek beli kulkas. Cukup dengan piring ini makanan bisa awet.”
Mendengar jawaban Billy itu kami semua pun langsung tertawa. Di sebelah porselen, masih satu deret, terdapat beberapa peti dengan berbagai ukuran. Bukan peti mati yang saya maksud di sini, melainkan peti untuk menyimpan pakaian dan juga makanan. Jadi jaman dahulu itu di Alor belum ada yang namanya lemari, pakaian dan makanan disimpan di dalam peti. Nah, dulu itu, perempuan Alor yang mau menikah dan akan dilepas ke rumah sang lelaki akan diantar beserta barang-barangnya. Di dalam peti inilah barang-barang tersebut diletakkan.
Tidak begitu jauh dari porselen, tersimpan pula koleksi uang logam dan kertas dari jaman dulu. Koleksi ini kalau saya bilang merupakan sebuah jebakan umur. Ketika seseorang berkata, “Wah, saya pernah menggunakan uang yang ini nih.” Kalian bisa memperkirakan tahun berapa orang tersebut lahir.
Di museum ini terdapat pula sarung tinju milik Isack Junior, salah satu petinju indonesia. “Ini sarung tinju asli milik Isack Junior. Sengaja kami letakkan di sini agar ketika anak-anak sekolah berkunjung, mereka bisa melihat salah satu pahlawan dari Alor dan memotivasi mereka untuk bisa bermimpi serta menjadi besar ketika dewasa nanti. ” Jelas Kak Yanti. “Kami pun sekarang masih meminta sepatu bola milik Yabes Roni, salah satu putra Alor, untuk kami letakkan di sini.” Tambahnya.
Tak terasa ternyata kami sudah berjalan mengitari seluruh bagian dari Museum 1000 Moko dan kini kami tiba kembali di pintu dimana pertama kali masuk. Terima kasih Kakak Yanti sudah menemani kami “berkeliling Alor”
*****
Itu tadi sedikit cerita ketika saya dan beberapa orang teman kala berkunjung ke Museum 1000 Moko. Sebenarnya masih ada beberapa barang lagi yang tidak bisa saya ceritakan secara detil satu per satu seperti pakaian suku Kabola yang terbuat dari kulit kayu, topeng dengan gigi asli, tempat sirih dan tembakau, dan banyak lagi. Datanglah ke sana bila kalian berkunjung ke Alor dan rasakan sensasi berkeliling Alor yang dirangkum dalam satu tempat. Rasakan serunya menambah pengetahuan di tempat yang tidak terlampau besar ini. Kak Yanti atau petugas lainnya dengan senang hati akan menceritakan kekayaan Alor pada kalian.
Tidak sulit untuk bisa mengunjungi museum ini sebab letaknya di tengah kota dan Museum 1000 Moko ini merupakan satu-satunya museum yang ada di Alor.
Tambahan
- Di gedung lain yang terpisah namun masih dalam satu kawasan, terdapat museum kain tenun Alor.
- Museum ini diresmikan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Piet A. Tallo, SH. di Kalabah pada tanggal 4 Mei 2004.
A museum is a spiritual place. People lower their voices when they get close to art.
–Mario Botta