Berpanas-panasan di Sumber Mata Air Panas Tuti Adagae
Tengah hari yang panas di Alor, sekitar pukul 12:00 WITA, sekelompok pemuda kurang kerjaan memutuskan untuk bertolak ke Tuti Adagae dari Pantai Mali, usai bertemu dengan seekor Dugong bernama Mawar yang merupakan “hewan peliharaan” dan teman bermain Pak One. Untuk yang belum tahu Tuti Adagae, itu merupakan nama sebuah sungai yang di atasnya terdapat sumber mata air panas. Jadi di tengah hari yang panas, sekelompok pemuda itu memutuskan untuk mencari yang panas pula. Entah apa yang ada di dalam pikiran sekelompok anak muda itu saat memutuskan untuk ke sana.
Daratan dimana sumber mata air panas Tuti Adagae berada tepat di seberang lautan Pantai Mali. Namun untuk bisa ke sana, sekelompak pemuda tadi harus berkendara lewat jalur darat sejauh 40 km atau kurang lebih 1 jam 15 menit menyusuri daerah pesisir Alor bagian utara. Dengan menggunakan mobil sewaan, sekelompok pemuda yang terdiri dari Billy, Chris dan saya sendiri, pun berangkat menuju Tuti Adagae yang lokasi tepatnya berada di Desa Adagae, Kecamatan Lembur, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Meskipun jauh, namun perjalanan di jalan utama menuju sumber mata air panas Tuti Adagae dengan menggunakan mobil sangatlah menyenangkan. Menengok ke sebelah kiri, laut biru nan cantik dengan deburan ombaknya yang lembut begitu setia menemani perjalanan kami. Sedangkan saat kami menoleh ke arah kanan, pepohonan yang hijau serta tebing-tebing yang megah secara bergantian menyegarkan mata kami. Cuaca yang cerah semakin melengkapi sukacita kami siang itu.
Lokasi sumber mata air panas Tuti Adagae ini letaknya agak ke dalam dari jalan utama. Jadi dari jalan besar, mobil yang kami gunakan masih harus menanjak melewati jalan kecil yang agak berbatu sampai ke lokasi parkir kendaraan. Pemandangan pun berubah dari yang tadinya pantai menjadi rumah-rumah warga khas pedesaan. Kalau saya tidak salah menduga, rumah-rumah warga yang kami lewati itulah Desa Adagae.
Ada satu hal unik yang saya lewati saat hendak menuju ke lokasi parkir kendaraan sumber mata air panas Tuti Adagae, hal unik tersebut sekaligus sebagai penanda kalau kami sudah berada di jalan yang benar. Adalah sebuah pohon besar yang tumbuh di depan sebuah lapangan luas yang menjadi penanda buat kami. Yang membuat pohon ini unik adalah terdapat 3 jenis tanaman berbeda yang tumbuh pada satu tubuh. Saya tidak ingat semua jenis tanaman tersebut, tapi salah satunya adalah kayu putih. Jadi jika suatu saat kalian ingin mengunjungi sumber mata air panas Tuti Adagae ini, ingat pohon ini ya 🙂
Treking Menuju Sumber Mata Air Panas Tuti Adagae
Dari lokasi parkir, kami harus berjalan kaki untuk menuju sumber mata air panas Tuti Adagae. Panasnya matahari di Alor siang itu membuat perjalanan di atas jalan berbatu menjadi cukup berat. Untung saja beberapa pohon kenari dan pohon lainnya di jalur yang kami lewati sedikit bisa membuat suasana menjadi teduh. Namun saat hendak mencapai sumber mata air panas yang pertama, di kiri dan kanan kami lebih didominasi oleh rerumputan dan ilalang berwarna keemasan, jadi panasnya matahari tak terbendung dan langsung menghujam tubuh ini.
Total ada 3 sumber mata air panas di Sungai Tuti Adagae ini. Dan untuk menemukan yang pertama, kami hanya perlu mendengarkan suara semburan airnya yang sudah terdengar dari kejauhan dan mengikuti suara air tersebut. Suasana langsung berubah kala kami tiba di aliran sungai tempat sumber mata air panas yang pertama.
- Baca Juga: Itinerary Keliling Alor 7 Hari 7 Malam
Saya merasa seperti memasuki dunia lain atau mungkin seperti berada di Planet Mars. Jalan yang tadinya rerumputan berubah menjadi bebatuan putih yang dialiri air berwarna kecoklatan. Di atas aliran air itu, keluarlah air panas dengan derasnya melewati bebatuan yang berbentuk seperti corong terbalik. Kalau dilihat lebih dekat, bebatuan tempat keluarnya air panas itu terlihat seperti sarang semut raksasa.
Bebatuan yang berbentuk seperti corong ini bukanlah terbentuk secara alami, melainkan buatan. Dulu, warga atau pengunjung yang datang meletakkan batu satu per satu secara bertumpuk membentuk corong di atas sumber mata air panas ini. Oleh karena proses kimiawi yang terjadi antara batu dan air panas ini, bebatuan yang disusun secara stacking ini menjadi menempel dan air pun keluar melalui celah antar batu tersebut hingga menembus ke bagian atas dan menyembur.
Sumber mata air panas Tuti Adagae ini mengandung belerang. Meskipun begitu, bau belerang tidak terlalu menyengat seperti di beberapa sumber mata air panas yang ada di Pulau Jawa. Hal inilah yang membuat saya betah berlama-lama di tempat ini. Masyarakat di sini percaya bahwa barangsiapa yang mandi atau membasuh bagian tubuhnya di sumber mata air panas ini maka sakit kulit atau sakit penyakit yang ada di bagian tubuh itu akan hilang.
Namun yang perlu diperhatikan adalah suhu air di sini bisa mencapai 90°C, jadi hati-hati ya kalau mau membasuh badan di sini. Kalau saya sih hanya merendam kaki saja di spot pertama ini, sembari membasuh muka dan menikmati pemandangan batu yang mengkristal akibat dialiri oleh air panas ini. Usai membasuh muka, saya merasa muka saya lebih glowing. Sepertinya air di sini kasiatnya lebih mantap daripada skincare kekinian 🙂
Merebus Telur
Tidak adanya Lopo atau pepohonan di sekitar spot yang pertama membuat kami tidak bisa terlalu lama di spot ini. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot yang kedua. Cukup berjalan kaki selama 5 menit dengan jalur yang sedikit menanjak, kami pun tiba di spot kedua. Spot ini letaknya memang sedikit lebih ke atas dari spot yang pertama.
Tidak seperti di spot pertama dimana airnya menyembur dari bebatuan yang menyerupai cerobong asap setinggi 2 meter, air panas di sini keluar dari celah batu yang ada di atas aliran sungai. Gelembung-gelembung terlihat dengan sagat jelas yang didampingi dengan busa dan uap panas. Itulah sumber mata air panas yang kedua.
Aktivitas yang sedikit berbeda kami lakukan di spot kedua ini. Sebelum berangkat menuju sumber mata air panas Tuti Adagae ini, kami sudah membeli telur mentah terlebih dahulu. Di spot kedua inilah lantas kami merebus telur mentah tersebut.
Cara kami merebus pun cukup unik. Telur-telur tersebut kami simpan di dalam plastik. Lalu plastik itu kami gantungkan di atas kayu yang sengaja kami pasang melintang di atas bebatuan dengan posisi plastik terendam di dalam air panas. Tujuan kami menggunakan kayu tersebut adalah agar mudah diangkat ketika matang. Jadi kami tidak mengangkat plastiknya yang panas, melainkan batang kayunya.
Sambil menunggu telur matang, kami pun duduk di lopo-lopo yang tersedia di spot ini. Di sinilah letak asyiknya spot dua, kami sedikit bisa berlindung dari teriknya sinar mentari siang itu.
Setelah 10 menit, saya pun mengangkat telur yang kami rebus itu dan beneran matang lho. Di tengah posisi matahari yang seolah berada hanya 1 jengkal di atas kepala kami, kami mengupas dan menyantap telur rebus ini. Meskipun dimakan tanpa kecap, tapi kenikmatannya luar biasa. Saya merasa tidak pernah menyantap telur rebus seenak ini *lebay*
Di Bawah Jembatan
Setelah selesai menyantap telur, kami pun lanjut menuju ke spot yang ketiga. Letak spot yang ketiga ini berada di bawah jembatan kayu yang mengarah kembali ke jalan masuk. Cukup berjalan kurang lebih 5 menit, kami sudah tiba di spot ketiga. Jadi sebenarnya jalurnya memang memutar. Kalian bisa memilih mau ke spot pertama, baru ke spot kedua lalu ke spot ketiga, atau ke spot ketiga terlebih dahulu, baru ke spot kedua dan ditutup dengan spot pertama.
Spot ketiga ini mirip seperti spot pertama, hanya saja “cerobong asap”-nya tidak sebesar dan setinggi di spot pertama. Semburannya dan suara gemuruhnya pun tidak sekuat spot yang pertama. Namun yang membuat spot ketiga ini berbeda adalah semburan airnya yang sesekali keluar seperti gunung meletus. Kami pun dengan sabar menunggu momen-momen meletus itu datang untuk diabadikan ke dalam kamera yang kami bawa.
Puas bermain di spot ketiga, kami pun kembali ke mobil dan bertolak kembali ke Kalabahi untuk menyeberang ke Belu dengan menggunakan kapal feri. Tak terasa, ternyata kami sudah menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam di sumber mata air panas Tuti Adagae ini. Dan tak terasa pula, kulit kami sudah semakin menghitam.
*****
Kalau ingin masuk tempat ini secara gratis, cobalah datang pada sore hari. Kenapa bisa begitu? Karena ketika kami datang, pada siang hari, ada 2 orang pemuda yang meminta uang masuk sebesar Rp 5.000/orang di depan gerbang masuknya. Namun ketika kami kembali ke mobil dan saat yang bersamaan ada pengunjung lainnya yang baru mau masuk, kedua pemuda itu sudah tidak ada, jadi pengunjung yang baru akan masuk itu bisa melenggang masuk dengan gratis.
Namun kenikmatan yang tak bisa tegantikan ketika datang siang hari adalah tidak adanya pengunjung lain yang “merecoki”. Spot wisata Tuti Adagae ini seperti milik kami sendiri. Kami bisa merendam kaki, berfoto atau merebus telur dan berfoto-foto tanpa ada gangguan dari orang lain.
Secara keseluruhan, sumber mata air panas Tuti Adagae ini sangat bagus karena masih alami. Saya sungguh menikmati waktu liburan saya di tempat ini. Terima kasih Alor karena memiliki tempat sedahsyat ini. Mungkin yang bisa menjadi masukan adalah perlunya ditambahkan beberapa Lopo untuk tempat pengunjung berteduh di setiap spotnya.
Dan untuk kalian yang mau berkunjung ke sini, jangan lupa bawa air minum yang banyak dan gunakanlah krim tabir surya untuk melindungi kulit kalian dari panasnya Alor yang menyengat. Satu tambahan lagi, saya menganjurkan kalian untuk menggunakan sandal gunung kalau mau berkunjung ke sini.
https://www.instagram.com/p/Bz4mIctnvaW/
It seems very safe to me to be surrounded by green growing things and water.
–Barbara Kingsolver