Tersentuh oleh Senandung di Stasiun Bandung
Pukul 13:05 WIB, itulah waktu keberangkatan kereta menuju Jakarta dari Stasiun Bandung yang tertera pada tiket online yang ada di telepon genggam saya. Tak ingin terlambat karena terjebak macet di Bandung (maklum, saat itu adalah akhir pekan), saya pun memutuskan untuk berangkat 1 jam 30 menit sebelum waktu keberangkatan kereta dari hotel saya yang berada di bilangan Gatot Subroto.
Rupanya benar dugaan saya, saya pun terjebak macet di jalan. Adalah sebuah kemustahilan Bandung lancara di akhir pekan. Harusnya saya bisa sampai dalam waktu 30 menit dengan menggunakan taksi online, tapi karena macet, saya harus tiba setengah jam lebih lama. Saya pun hanya memiliki waktu kurang lebih 30 menit sebelum kereta berangkat.
Dengan sedikit berlari, saya masuk ke stasiun untuk mencetak tiket dan masuk ke ruang tunggu. Usai identitas saya dicocokkan dengan tiket oleh petugas, saya pun diizinkan untuk masuk ke ruang tunggu. Dari tempat pemeriksaan tiket, saya berjalan ke arah kanan untuk memilih kursi sebagai tempat dimana saya akan menunggu. Dari sekian banyak kursi yang tersedia, dimana beberapa diantaranya sudah terisi oleh penumpang lain, saya memutuskan untuk duduk di kursi kosong yang lokasinya tidak jauh dari tempat dimana sebuah band akan tampil. Ya, ada sebuah band yang dipersilakan oleh KAI untuk menghibur para pelanggan yang sedang menunggu giliran naik kereta.
Jujur, saya tidak terlalu peduli dengan band yang beranggotakan 5 orang itu saat mereka sedang persiapan. Saya pun sibuk dengan telepon genggam milik saya, sibuk membalas DM dari para penggemar saya *kemudian dihujat netizen yang mahabenar*.
Namun tiba-tiba saya dikejutkan oleh band tersebut saat sang vokalis mulai bernyanyi Stand Up For Love dari Destiny’s Child. Suara sang vokalis (wanita) di nada pertama langsung membuat saya merinding. Tarikannya kuat dan nadanya tepat. Perhatian saya pun terdistraksi, dari yang tadinya megarah ke handphone, kini berubah ke arah band tersebut. Kamera yang sudah terbungkus rapi dalam tas pun segera saya keluarkan kembali. Rasanya terlalu sayang kalau memori ini tidak diabadikan.
Lagu Pertama, Saya Masih Kuat
Saat kamera sudah ada dalam genggaman, saya lantas berdiri dan berjalan ke arah depan dari band tersebut. Saya berdiri sekitar 6 meter dari tempat dimana mereka menampilkan kebolehan yang mereka miliki, tepat 2 langkah di belakang kotak yang menjadi tempat untuk memberikan uang sebagai tanda apresiasi atas usaha untuk menghibur yang dilakukan oleh band tersebut.
Kamera pun langsung saya arahkan ke arah mereka yang sedang asyik perform. Dengan tenang, saya mencoba merekam penampilan mereka. Suara sang vokalis benar-benar lembut dan menyentuh hati ini. Aksi merekam yang saya lakukan lantas diikuti oleh beberapa pelanggan KAI lainnya.
Besar di lingkungan gereja, dimana papa dan mama adalah anggota paduan suara gereja, membuat saya terbiasa mendengar alunan musik. Meskipun tidak terlalu bisa menyanyi atau bermain alat musik, tapi kuping ini tahu mana lagu yang dimainkan dengan enak dan yang tidak. Tahu apakah nada yang dinyanyikan melenceng atau tidak. Dan nada-nada yang dilantunkan oleh sang vokalis ini bagus banget, meskipun tidak sempurna. Personil lainnya pun memainkan instrumen yang mereka pegang masing-masing dengan benar dan harmonis.
Lagu Stand Up For Love ini bukan lagu yang mudah, tapi sang vokalis bisa menyanyikan dengan indah. Tangan ini mulai bergetar saat sang vokalis memasuki refrein dan mata ini mulai berair melihat penampilan dari semua personil. Tahu apa yang membuat saya terpukau sampai seperti itu? Tuhan memberkati dan mengizinkan kelima personil band tersebut untuk tidak bisa melihat alias tuna netra. Saya tidak tahu apakah mereka buta total atau parsial, tapi yang pasti, mereka punya masalah dengan pengelihatan mereka.
Dengan tidak mempedulikan kondisi di Stasiun Bandung saat itu, mereka terus memainkan tugas mereka masing-masing dengan baik. Tangan ini pun masih kuat untuk merekam mereka. Dan ketika lagu pertama selesai dinyanyikan, pengunjung pun memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi.
Lagu Kedua dan yang Tak Terduga pun Terjadi
Lagu pertama selesai, band tersebut pun lantas masuk ke lagu kedua, yaitu Hero dari Mariah Carey. Kenapa sih lagunya yang agak sedih-sedih terus? Kembali sang vokalis mengambil nada pertama dengan baik. Nada pertama dalam sebuah lagu itu begitu krusial. Kalau sampai sumbang di nada pertama, ada kemungkinan ke belakangnya lagu tersebut akan tidak bagus.
- Baca Juga: Warmer, Warung Nasi Murah Meriah di Bandung
Memasuki refrein di lagu kedua, tangan saya tak mampu lagi merekam. Getarannya sudah terlalu hebat. Kamera pun saya turunkan, matikan dan langsung saya masukkan ke dalam kantong. Saya memutuskan untuk melanjutkan menikmati penampilan mereka dengan tanpa merekam.
Sumpah, sang vokalis ini menyanyi dengan menggunakan hati banget. Dia menyanyi seolah lagu itu ya lagunya dia. Falsetto-nya pas, pitch-nya oke, artikulasi dalam bahasa Inggrisnya jelas dan emosinya dapet banget. Saya sampai geleng-geleng sendiri melihatnya.
https://www.instagram.com/p/B4tRb8BndW0/
Mungkin tidak banyak teknik yang ia gunakan, tapi dia benar-benar menaruh RASA di dalamnya. Percuma punya teknik bagus tapi tidak bisa menempatkannya dengan tepat. Percuma bernyanyi kalau tidak bisa menjiwainya. Karena menyanyi tidak melulu soal teknik, ada faktor lainnya yang membuat menyanyi itu terdengar indah. Saya yakin kalau Mas Anang ada di situ, ia pasti akan berkata, “Aku sih yes (sambil memberikan golden ticket)”
Aksi sang vokalis tentunya tidak bisa sehebat itu tanpa didukung personil lainnya. Saat melihat mereka memainkan alat musik, saya merasa mereka itu tidak buta. Yang saya rasakan adalah Tuhan hanya memindahkan indera pengelihatan mereka ke tempat lain, ke jari jemari yang mereka miliki.
Main piano itu susah, memainkan alat musik tersebut dengan tidak melihat pastinya susah banget, tapi sang pianis mampu melakukannya. Tuts piano itu ditekan dengan pas oleh jari jemarinya. Begitu pula dengan sang bassis dan gitaris, senar-senar itu mereka petik dengan lembut dan nggak ada yang terlewat. Harmonisasi mereka keren banget. Pemain Kajon pun memainkan Kajon-nya dengan asyik. Mereka semua terlihat bersukacita dalam bermusik.
- Baca Juga: One Day Trip Ke Padalarang
Tak lama setelah itu, air mata ini tak mampu lagi terbendung. Volume air di kantung mata ini sudah terlalu penuh. Air mata itu pun keluar begitu saja dan mengucur dengan cukup deras. Saya tidak tahu apakah pengunjung yang lain dan teman-teman saya melihatnya atau tidak. Peristiwa itu berlangsung secara spontan, tanpa uhuy.
Bayangkan saja, badan sebesar ini menangis di tengah-tengah keramaian (Menangnisnya bukan seperti habis putus cinta ya). Habis bagaimana dong, penampilan teman-teman tuna netra ini bagus banget sih. Melihat mereka tampil itu seperti melihat mereka tanpa kekurangan sama sekali. Kalimat “Kekurangan adalah sebuah kelebihan” mampu mereka buktikan dengan baik. Saya ini bukan orang yang mudah tersentuh, tapi mereka sukses menemukan spot itu dan membuat saya tersentuh. Boleh kan ya laki-laki menangis? Menangis itu bukan artinya lemah, kan?
Selesai menyanyi lagu kedua ini, gemuruh tepuk tangan terdengar jauh lebih keras. Beberapa pengunjung pun saya lihat melakukannya sambil berdiri. Tak lama setelah itu, para pengunjung mulai terlihat mengantri untuk memasukkan uang ke dalam kotak apresiasi tersebut. Ya, sampai mengantri. Gila, kan?
Seni itu karya yang tidak ada nilai pastinya. Namun ketika seni itu dikerjakan dengan baik, dengan hati, orang lain akan mampu menilainya dan akan ada harga yang tepat mengikutinya. Saya melihat tidak ada uang pecahan Rp 2.000- Rp 5.000 yang dimasukkan pengunjung ke dalam kotak. Rata-rata pecahan Rp 10.000 – Rp 20.000, bahkan ada beberapa yang memasukkan pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000
Kembali ke Jakarta
Sayang sekali kebersamaan saya dengan kelima personil yang saya tidak tahu namanya ini harus berakhir. Kereta yang akan membawa saya dari Stasiun Bandung ke Jakarta sudah bersandar di peron dimana ia memang seharusnya berada. Dengan memainkan lagu Armada yang saya tidak tahu apa judulnya, band tersebut mengiringi langkah saya memasuki gerbong 4.
Melihat mereka perform tadi membuat saya malu sendiri kalau mengeluh ketika menghadapi sebuah kesulitan. Kesulitan yang saya hadapi mungkin tak seberapa dengan yang mereka hadap, tapi sering sekali saya membesar-besarkannya dan mencari alasan untuk berkelit dari persoalan itu. Mereka itu nggak bisa melihat lho, mungkin dari kecil kondisi mereka seperti itu, tapi mereka nggak menyerah dan nggak menjadikan kondisi mereka itu sebuah pembenaran untuk mereka menyerah. Mereka bahkan melakukan pekerjaan yang juga dilakukan oleh mereka yang bisa melihat. Keren, kan?
Tuhan itu lucu dan unik, ya? Lewat hal seperti ini Dia mencoba menyentil saya. Halus memang caraNya, tapi kena. Seandainya saya punya waktu 1 hari lagi di Bandung, berdiri 8 jam untuk melihat mereka tampil pun saya sanggup. Tapi namanya perjumpaan, pasti ada yang namanya perpisahan. Semoga ada kesempatan lagi untuk berjumpa dengan orang-orang penuh talenta ini.
Dengan mata yang agak sembab, saya memasuki gerbong. Bahkan sampai kereta berjalan dan meninggalkan Stasiun Bandung, saya masih merinding membayangkan penampilan mereka tadi.
Sayonara, Bandung. Terima kasih sudah memberikan pelajaran yang keren banget pada business trip kali ini.
Music is a moral law. It gives soul to the universe, wings to the mind, flight to the imagination, and charm and gaiety to life and to everything.
–Plato