Belajar Menulis Cerita Perjalanan Bersama Agustinus Wibowo (1)
Mari mengawali cerita ini dengan perjumpaan awal saya bersama Agustinus Wibowo yang menurut saya cukup unik. Di era teknologi yang sudah luar biasa maju ini, pertemuan tidak lagi diartikan bertemu secara fisik. Secara non fisik pun bisa dan itulah yang terjadi antara saya dan Agustinus Wibowo. Tepat tanggal 24 Mei 2020, di feed Instagram milik Patjarmerah, itulah pertama kali saya melihat wajah Agustinus Wibowo dan membaca namanya secara jelas. Melalui postingan di feed saat itu, Patjarmerah mengajak para followers-nya untuk mengikuti kelas menulis cerita perjalanan (dasar 1) yang berjudul “Menemukan Makna dan Menuliskannya”, dengan Agustinus Wibowo sebagai narasumbernya.
Sampai titik itu saya belum tahu siapa Agustinus Wibowo, karena mendengar namanya pun baru pertama kali. Saya tidak tahu kalau ternyata dia sudah berkeliling sebagian kecil asia, saya tidak memiliki informasi kalau dia sudah menerbitkan 3 buku yang menceritakan perjalanannya ke negara-negara di asia tersebut dan ternyata sangat laris, dan yang terakhir saya tidak tahu apakah ia memiliki hubungan darah dengan Ari dan Ira Wibowo atau tidak. Semua tentangnya masih tanda tanya besar. Minat membaca yang baru tumbuh dalam beberapa tahun terakhir membuat saya minim informasi mengenai penulis-penulis hebat di luar sana.
Namun entah mengapa manusia ini terlihat begitu menarik. Hanya dari melihat foto kecilnya di feed Instagram itu, dalam hati saya berkata, “dia ini cerdas”, padahal saya belum memiliki informasi apapun tentangnya. Secara otomatis, tangan ini langsung mendaftar ke tautan yang tertera di postingan Instagram Patjarmerah untuk mengikuti kelasnya.
Kekaguman saya yang tak berdasar pada dirinya tidak berhenti sampai di situ. Usai sukses mendaftar kelas menulis kisah perjalanan yang dilakukan secara online itu, tanpa mencari terlebih dulu siapa itu Agustinus Wibowo secara lebih rinci, saya pun langsung membeli ketiga bukunya: Titik Nol, Selimut Debu, dan Garis Batas. Silakan sebut saya aneh karena langsung mendaftar kelas menulis dan membeli 3 buku dari seseorang yang saya tidak pernah pernah tahu sebelumnya (Ya, langsung 3 buku. Bukan 1). But I know what I did and I felt something good about him.
Yang Ditunggu Itu Tiba
Berselang 1 minggu, kelas online yang ditunggu pun datang. Akhirnya saya bisa melihat tampilan bergerak dari Agustinus Wibowo (meskipun hanya melalui layar laptop). Tidak hanya itu, saya pun dapat mendengar suaranya langsung, setelah selama beberapa hari sebelumnya hanya membayangkan ia bersuara lewat barisan aksara yang tertulis tegas di bukunya.
Saya tahu kelas yang akan berlangsung selama 2 jam ini pasti berjalan menarik dan memang seperti itulah adanya. Agustinus Wibowo memiliki personality yang menyenangkan, bahasanya mudah dimengerti, suaranya jelas, menghormati setiap partisipan, dan senyum & pujian selalu keluar dari mulutnya setiap kali merespon pertanyaan dari penanya.
Di awal kelasnya, Agustinus menjelaskan kalau tulisan perjalanan yang ia lakukan beraliran Non Fiksi Kreatif. Kenapa ada kata kreatif di belakang non fiksi? Sebab tanpa kreatifitas, tulisan non fiksi itu akan jadi membosankan. Contoh saja koran. Bahasanya membosankan, kan? Nah, dengan adanya ‘kreatif’, diharapkan tulisan tersebut akan lebih menarik untuk dibaca dan mengena.
Kreatif yang dimaksud Agustinus di sini adalah penggunaan bahasanya, seperti layaknya cerita-cerita fiksi yang membuat pembacanya bisa berimajinasi secara liar, bukan pada ceritanya. Ingat, prinsip dasar Non Fiksi adalah tidak menciptakan fakta, melainkan fakta itu sudah ada. Jadi ketika kalian menulis sebuah cerita perjalanan, pastikan kalian tidak menciptakan fakta di dalamnya. Bila kalian berbohong demi terlihat bagus dan menyentuh, itu tandanya tulisan kalian tidak layak lagi disebut cerita Non Fiksi. Kejujuran memiliki posisi penting dalam penulisan cerita non fiksi. Gunakanlah cerita sebagai alat untuk menyampaikan fakta dan pesan.
- Baca Juga: Belajar menulis bersama Beradadisini
Agustinus pun menjelaskan kalau tulisan perjalanan ini tidak bisa dianggap sepele. Sudah ada yang membuktikan kalau tulisan perjalanan pun bisa mendapatkan nobel sastra. Adalah seorang V.S. Naipaul, sastrawan asal Inggris, yang sudah membuktikan hal tersebut. Tahun 2001, ia mendapatkan nobel sastra atas karya-karya yang diterbitkannya. Jadi buat kalian yang suka menulis cerita perjalanan, semangat terus ya menulisnya. Siapa tahu nanti akan ada peraih nobel sastra asal Indonesia 🙂
Materi-materi yang diberikan pun semakin lama semakin menarik. Melalui pengalamannya berkeliling sebagian kecil Asia dan menuliskannya, pria asal Jawa Timur itu berbagi cara bagaimana menemukan makna dari sebuah perjalanan.
“Tulisan yang baik itu berasal dari perjalanan yang baik pula. Lakukanlah sebuah perjalanan dengan tujuan. Cari sebuah sudut pandang baru dan jadikan perjalanan tersebut lebih dari sekadar destinasi.” Ucapnya tegas. “Jika sedang melakukan perjalanan, buang jauh-jauh kebiasaan update di sosial media. Nikmatilah perjalanan itu.”
Apa yang diucapkannya memang benar. Saya pun tipe orang yang tidak suka mengupdate kegiatan saya secara live ketika sedang melakukan perjalanan. Saya merasa beruntung jika daerah yang saya kunjungi ternyata susah sinyal. Bagaimana mau menikmati sebuah momen kalau ternyata kita sibuk sendiri dengan gadget? Yang ada justru kita akan kehilangan momen.
Dan bicara “lebih dari sekadar destinasi” pun benar sekali. Jika hanya datang ke suatu tempat untuk berfoto dengan hal yang ikonik di sana lalu pulang, makna apakah yang didapat dari perjalanan tersebut? Kalau Agustinus Wibowo bilangnya “mengalami, bukan hanya melihat”. Coba tanya diri kalian, “Saya ke sini mau ngapain sih?”
Tantangan menulis cerita perjalanan sekarang adalah memberikan sudut pandang baru dari suatu destinasi. Tentang desa adat Waerebo misalnya. Jika hanya menulis bagaimana cara pergi ke sana, seperti apa sejarah Waerebo, bagaimana keindahan di sana, mungkin sudah ada ratusan tulisan yang membahas hal tersebut, bahkan wikipedia lebih jelas. Harus ada hal lain yang diceritakan, seperti misalnya tentang kehidupan anak-anak di sana atau pengaruh banyaknya kunjungan wisatawan ke Waerebo terhadap kehidupan masyarakat di sana. Dan untuk mendapatkan hal tersebut, perlu ada pengamatan yang mendalam.
“Kok berat banget ya ada pengamatan yang mendalam”, mungkin ada yang bertanya seperti itu. Sebenarnya tidak susah kok. Pengamatan dan riset ini diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik atau hal yang tidak mengenakkan. Mengetahui do’s and dont’s di suatu daerah dapat mempermudah interaksi.
Melalui interaksi, kita bisa menggali banyak hal, bahkan mungkin yang tidak terpikirkan sebelumnya. Untuk bisa lebih berbaur dengan orang-orang di suatu daerah, jangan ragu juga untuk mempelajari sedikit kosakata mereka. Bacalah buku-buku mereka dan kalau perlu temuilah orang-orang yang dianggap “guru” di daerah tersebut.
Dalam sebuah perjalanan, cobalah untuk menghirup udara lebih dalam di tempat yang kalian tuju, amati orang-orang di sana secara diam-diam sambil berkeliling, selanjutnya kalian bisa mulai untuk ngobrol-ngobrol dan sesuaikanlah diri kalian dengan ritme orang di sana. Jangan karena keterbatasan waktu yang kalian miliki, lantas kalian meminta mereka untuk bertindak cepat, padahal mereka memiliki ritme mereka sendiri.
Setiap malam, saat melakukan perjalanan, Agustinus Wibowo selalu meluangkan waktu untuk membuat jurnal harian dari perjalanan yang ia lakukan hari itu. Ia akan menulis ulang hal mengesankan apa saja yang ia dapat. Mungkin ada kutipan menarik atau kesan mendalam. Ia juga menceritakan kembali bagaimana perasaannya saat melakukan perjalanan.
Dalam menulis jurnal harian seperti itu, kalian tidak perlu menulis dengan bahasa yang indah. Tulis saja poin per poin dengan bahasa yang simple. Jangan lupa juga untuk menuliskan tanggal kejadiannya dan lokasinya juga. Baru nanti ketika sampai di rumah, kalian hubungkan kembali poin-poin tersebut dan rangkai menjadi sebuah cerita. Itu tadi sedikit tips dari Agustinus Wibowo dalam membuat catatan perjalanan harian.
Mulai Menulis
Dari Mbak Hanny (beradadisini), saya pernah mendapat kalimat yang bagus. Ia bilang, “Tulisan yang bagus adalah tulisan yang selesai.”
Namun bagaimana mau selesai kalau untuk memulainya saja susah. Kalian pasti pernah kesulitan untuk membuka atau mengawali sebuah tulisan, kan? Saya pun begitu.
Usai memberi tahu bagaimana cara mendapatkan makna dari sebuah perjalanan, Agustinus Wibowo pun bercerita mengenai cara ia menuliskannya. Ada 7 elemen penting dalam sebuah cerita: tema dan premis, karakter, latar, konflik, plot, dan resolusi. Untuk tahap awal ini, kita bisa mencobanya dari tema & premis dan konflik.
Tema merupakan gambaran besar dari suatu cerita. Jadi sebelum menulis, pikirkan terlebih dahulu tema yang ingin kalian buat. Tema haruslah 1 kata benda abstrak seperti: kebahagiaan, keadilan, kedamaian, dll. Ingat, 1 kata saja.
Berhasil mendapatkan tema, tahap berikutnya adalah premis. Premis sendiri merupakan satu kalimat yang menggambarkan keseluruhan cerita. Jika tema itu 1 kata, premis ini 1 kalimat. Mungkin bisa dikatakan premis itu pernyataan sikap atau pesan yang ingin kalian sampaikan melalui cerita itu (MESSAGE(S)). Premis ini dibuat untuk merampingkan cerita kalian, dari tema yang gambarannya terlalu besar menjadi sedikit lebih mengerucut dengan adanya premis ini.
Sebagai contoh, misalkan kalian pergi ke pedalaman Papua. Di pedalaman Papua itu, kalian menemukan keindahan alam yang luar biasa. Namun untuk menuju ke sana, jalur yang dilalui sangatlah susah, harus ditempuh dengan mobil 4wd dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekian kilometer jauhnya. Selain itu, kalian juga melihat kalau penduduk di sana hidupnya masih miskin.
Dari cerita mengenai keindahan alam Papua itu, mungkin kalian bisa mengambil tema KEADILAN. Kalian bisa membandingkan ketimpangan saat jalan-jalan di Jawa yang infrastruktur jalannya bagus dan penduduknya lebih sejahtera, dengan Papua yang infrastrukturnya belum cukup baik dan penduduk di sana yang kehidupannya jauh lebih sulit.
Melalui tema keadilan itu, kalian mungkin bisa membuat premis: Hidup memang tidak melulu adil, bahkan di negara yang katanya berkeadilan sosial sekalipun. Jadi alih-alih membahas keindahan alamnya, kalian lebih membahas ke isu lainnya. Ingat, cerita itu soal perspektif. Sudah banyak orang yang membahas keindahan alam di Papua. Begitu kalian bisa melihat keindahan itu dari sudut pandang lainnya, kemungkinan cerita kalian akan menjadi SESUATU.
Dari tema dan premis yang sudah dibuat tadi, sudah keliatan konfliknya, kan? Konflik tidak harus selalu berarti keributan. Dalam cerita, konflik adalah 2 hal yang saling bertentangan. Ingat, tema, premis, dan konflik ini tidak harus kalian tulis secara eksplisit di dalam tulisan kalian. Biarkanlah pembaca yang menentukan sendiri kira-kira apa konflik yang ada di dalam cerita tersebut, apa tema dan premisnya.
*****
Ingin rasanya mendengarkan ia bercerita sampai tengah malam mengenai cara menulis cerita perjalanan ini. Materinya simple, tapi mendalam. Penyampaiannya yang ringan benar-benar membuka pikiran saya tentang dunia menulis cerita perjalanan yang begitu menarik ini. Namun kembali lagi, waktu juga yang harus memisahkan kami. 2 jam rasanya benar-benar kurang.
Orang dulu pernah bilang, “Jangan berani menjumpai sebuah pertemuan, kalau tidak berani menghadapi yang namanya perpisahan.”
Pertemuan kali ini dengan Agustinus Wibowo mungkin harus berakhir, tapi masih ada pertemuan berikutnya yang pastinya tak kalah menarik. Dari kelas menulis cerita perjalanan bersama Agustinus Wibowo ini, saya sudah mendapatkan 3 kawan baru: konflik, tema, dan premis. Sekarang mereka sudah menjadi sahabat imajiner saya 🙂