#HHIRACE4 bersama Hitchhiker Indonesia (Bagian 1)
#HHIRACE4 bersama Hitchhiker Indonesia. Pic via ini
Hitchhiker Indonesia, salah satu komunitas hitchhiking di Indonesia, yang sudah tertidur selama kurang lebih 2 tahun akhirnya kembali bangkit. Sebagai awal dari kebangkitannya, mereka pun mengadakan sebuah kegiatan yang diberi nama #HHIRACE4 pada 15-17 Februari 2018 kemarin.
Apa sih #HHIRACE4 itu? #HHIRACE4 merupakan sebuah perlombaan hitchhiking yang keempat dengan konsep seperti Amazing Race, acara TV yang terkenal itu. Para peserta diminta untuk berlomba menuju ke titik-titik yang sudah ditentukan oleh pihak panitia dengan cara hitchhike. Di tengah perjalanan, para peserta #HHIRACE4 akan diberi clue dan harus memecahkan petunjuk tersebut. Petunjuk itulah yang akan mengarahkan para peserta untuk menuju petunjuk selanjutnya sebelum akhirnya tiba di titik akhir.
Terdapat kurang lebih 15 nama yang terkumpul untuk ikut #HHIRace4 (termasuk saya di dalamnya). Meeting point pun sudah ditentukan yaitu Arion Mall di daerah Rawamangun. Yang cukup seru dari #HHIRACE4 ini adalah para peserta belum tau akan melakukan hitchhiking kemana. Jadi kami, para peserta, hanya bisa meraba-raba kira-kira kemana kami akan berangkat. Tujuan baru diberitahu saat briefing diadakan di meeting point.
Persiapan
Kamis, 15 Februari 2018 pukul 20:00 WIB
Para peserta satu per satu mulai muncul. Namun sampai pukul 22:30 WIB, hanya 5 peserta yang menampakkan batang hidungnya. 10 orang lagi kemana? Entahlah, mungkin mereka punya alasan sendiri kenapa tidak jadi ikut dalam event #HHIRACE4 ini. Dugaan saya, banyak peserta yang tidak ikut karena belum jelas tujuannya hendak kemana. Rasa-rasanya mereka adalah tipe-tipe orang yang butuh kejelasan dan kepastian, layaknya dalam sebuah hubungan *ini apasih*.
Meskipun hanya 5 orang, namun pertunjukan harus tetap dijalankan. Kelima peserta tersebut pun dibagi ke dalam 3 tim dengan komposisi sebagai berikut:
- Tim #1 : Darius (gue) & Ayu
- Tim #2 : Ejie Belula (udah senior makanya sendirian)
- Tim #3 : Helena & Nugo
Sebelum dilepas oleh pihak panitia, kami terlebih dulu di-brief tentang beberapa hal. Diantaranya: Cara melakukan hitchhike yang benar, apa saja yang boleh & tidak boleh kita lakukan selama berada di dalam kendaraan dan beberapa info tambahan lainnya. Saat mendapatkan tumpangan, kami diminta untuk mencatat biodata si pengendara dan menceritakannya kepada pihak panitia melalui whatsapp.
Kami pun bersama-sama mempersiapkan media sign yang akan kami pergunakan selama kompetisi ini. Tak lupa kami mengganti baju dengan kaos merah bertuliskan HITCHHIKER INDONESIA agar kami seragam dan mudah untuk dikenali.
Tepat pukul 23:30 WIB, kami dilepas oleh panitia dengan hanya petunjuk untuk menuju GADOG.
*Selama berkompetisi ini, kami para peserta diawasi keberadaannya oleh panitia dengan menggunakan fitur live location yang ada pada aplikasi WhatsApp. Jadi kalau kami sudah terlalu jauh dari area yang sudah ditentukan, maka panitia akan menghubungi dan meminta kami untuk kembali ke jalan yang benar.
Tumpangan #1 (Rawamangun – UKI)
“Duluan yaaaaa…” teriakan Ejie dari atas motor tumpangannya mulai memanaskan persaingan. Dialah peserta pertama yang memecahkan telor. Hitchhiking seorang diri membuatnya bisa mencari tumpangan kendaran berupa sepeda motor. Untuk kami yang berdua, hmmm… Jangan harap. Kami harus mencari tumpangan roda 4.
Usai Ejie mendapatkan kendaraan pertamanya, tim #3 menyusulnya. Helena dan Nugo mendapatkan tumpangan lebih dulu dari saya & Ayu. Kedua tim tersebut pun mulai menghilang dari pandangan mata kami.
Ternyata untuk mendapatkan tumpangan pertama itu tidaklah mudah. Perasaan takut, malu dan bingung bercampur jadi satu. Maklum saja, ini adalah hitchhike pertama saya dan Ayu. “Apakah ada orang yang mau memberi tumpangan kepada saya?” pikiran jelek itu sempat terlintas dalam pikiran saya waktu itu namun saya mengabaikannya. Setelah berjalan sejauh 1,5 km dan menunggu selama ±30 menit, berhentilah sebuah taxi putih beberapa meter di depan tempat kami membentangkan spanduk “numpang dong” + “UKI”.
Ayu segera menghampiri kendaraan tersebut dan bernegosiasi dengan si Supir. Tugas negosiasi memang saya bebankan kepadanya. Usai mendapat tanda “OK” dari Ayu, kami pun segera naik ke atas kendaraan tersebut. Sumpah ya, pengalaman mendapatkan tumpangan pertama kali itu rasanya seneng banget. Jauh lebih seneng daripada nembak cewek lalu diterima. Tidak percaya aja rasanya kalau akan ada yang memberi tumpangan kepada kami.
Ialah Pak Machmud, seorang supir taxi yang memberi tumpangan kepada kami. Melihat kami yang berdiri meminta tumpangan, pria asal Tegal ini pun tergerak dan lantas mengangkut kami. Awalnya, ayah dari 3 anak ini mengaku tidak bisa mengantar kami sampai UKI karena harus segera kembali ke pool-nya yang berada jauh sebelum UKI. Kami yang saat itu begitu senang karena mendapat tumpangan pun tidak keberatan bila diturunkan di pool tempat Pak Mahmud bekerja, toh nanti kami bisa mencari tumpangan yang lain lagi.
Namun disinilah keajaiban terjadi. Ayu yang mengetahui Pak Mahmud berasal dari Tegal segera mengajak Pak Mahmud berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Bak gayung bersambut, Mereka berdua pun terlibat dalam percakapan yang cukup seru dimana saya tidak bisa mengerti sedikitpun apa yang mereka bicarakan. Yang saya tahu percakapan itu berlangsung seru.
Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Pak Machmud menghentikan laju kendaraannya dan berkata, “Ya, kita sudah sampai di UKI.”
Ya di UKI, di tempat yang memang ingin kami tuju. Peran Social Engineering memang benar-benar bermain di sini dan Ayu cukup jeli dalam memanfaatkannya. Nuansa kedaerahan yang timbul dari percakapan dalam bahasa Jawa tadi membuat Pak Machmud tidak tega apabila menurunkan kami di kantornya.
Sebelum turun, saya dan Ayu memberikan stiker Hitchhiker Indonesia kepadanya sebagai tanda terima kasih kami. Terima kasih Pak Machmud untuk kebaikan hatinya. Sampai bertemu lagi di kesempatan berikutnya.
Tumpangan #2 (UKI – Ciawi)
Turun dari mobil Pak Machmud, kami langsung membuka spanduk “numpang dong” dan kembali memainkan jempol. Tulisan UKI kini sudah berganti dengan Ciawi sebagai tujuan kami berikutnya. Kali ini tidak pakai lama, hanya 5 menit setelah mengembangkan spanduk, sebuah mobil Honda Mobilia berhenti tepat di depan kami.
“Mau kemana? Ciawi?” tanya si pengendara.
Saya dan Ayu kompak menjawabnya dengan anggukan kepala yang artinya IYA.
“Ya sudah. Ayo masuk” pinta si bapak.
Kami pun dengan cepat masuk ke mobil tersebut. Saya duduk di depan dan Ayu kembali duduk di belakang. Percakapan kami mulai dengan dengan saling berkenalan. Pengendara kedua yang baik hati ini bernama Pak Ridwan, seorang driver taksi online yang baru saja menyudahi pekerjaannya hari itu dan berniat untuk pulang ke rumahnya di Ciawi. Mungkin inilah yang namanya jodoh kali ya. Kami yang butuh tumpangan ke Ciawi, eh langsung dipertemukan dengan pengendara yang mau ke Ciawi. Jadi tidak perlu pindah-pindah kendaraan lagi deh.
Rasa penasaran yang besar akan fenomena hitchhiking ini membuat saya bertanya kepada Pak Ridwan kenapa dia mau memberi tumpangan kepada kami. Dengan enteng dia menjawab, “Iya, tadi saya lagi mau pulang dan sudah sedikit mengantuk. Makanya saya angkut kalian biar ada teman ngobrol selama di perjalanan.”
“Memangnya bapak gak takut kalau saya macam-macam di dalam kendaraan bapak ini?” Tanyaku lagi dengan rasa penasaran yang semakin besar.
“Saya sih niatnya hanya membantu orang saja. Saya juga sudah beberapa kali mengangkut orang-orang seperti kalian ini, bahkan ada juga yang jualan di dalam mobil saya ini lho. Lagipula kan saya yang mengemudikan kendaraan ini, jadi kalau kamu macam-macam ya saya tinggal menabrakkan kendaraan ini atau menerjunkannya ke jurang. Biar aja mati bareng-bareng.” Jawabnya dengan nada yang santai.
Perjalanan UKI ke Ciawi melewati ruas tol yang cukup panjang. Obrolan yang tak kalah panjang pun terjadi selama mobil itu melaju. Pak Ridwan bertanya pada saya apa pekerjaan saya dan saya pun memberitahu kalau saya adalah salah seorang Pegawai Negeri Sipil di salah satu badan milik pemerintah. Dari pertanyaan inilah Pak Ridwan mulai banyak bercerita.
“Nanti kalau anak saya sudah lulus, saya mau suruh dia jadi PNS juga. Sekarang dia masih kuliah di IPB.”
“Lho, memangnya kenapa harus PNS pak?”
“Ya biar ada kepastian penghasilan dan kehidupan dia lebih baik dari saya. Kalau nanti dia mau berbisinis juga ya itu lebih bagus.”
*suasana mulai sedikit sedih dan menjadi makin serius*
“Kamu mumpung masih muda, jangan malas untuk bekerja ya, apalagi sampai mengemis. Saya meskipun susah, pantang untung mengemis. Dulu ini saya pengusaha sukses, namun perlahan-lahan usaha saya mulai merugi dan akhirnya gulung tikar. Utang dimana-mana dan tidak punya pekerjaan. Saya benar-benar jadi gembel. Saya beruntung punya istri yang setia mendampingi saya dan mendoakan saya. Saya terus berusaha dan berdoa sampai akhirnya pelan-pelan utang saya bisa saya bayarkan dari hasil taksi online ini. Kalau kamu punya masalah, jangan ragu untuk mendoakan itu pada Tuhanmu, dia pasti mampukan kamu dan mencukupkan kebutuhanmu.”
Baca juga: 7 Hal yang bisa kamu dapatkan dari Hitchhiking
Mendengar cerita dari Pak Ridwan ini saya merasa sangat beruntung. Saya masih bisa bekerja dan tidak memiliki kesulitan yang seberat dirinya. Dari Pak Ridwan saya belajar untuk terus mengucap syukur.
Sebenarnya saya masih ingin ngobrol lama dengan Pak Ridwan, namun kebersamaan kami harus selesai karena kami sudah tiba di Ciawi. Kami diturunkan di persimpangan antara jalur Gadog dan jalur Sukabumi.
Terima kasih Pak Ridwan untuk ilmu tentang kehidupannya. Sampai bertemu di lain waktu.
Tumpangan #3 (Ciawi -Gadog)
Baru saja turun dari mobil Pak Ridwan, handphone saya berdering. Sebuah notifikasi berupa sebuah gambar muncul. Notifikasi itu ternyata berisi clue pertama. Ke tempat yang ada dalam clue itulah kami harus pergi untuk mendapatkan petunjuk selanjutnya. Bisakah kamu menebak tempat apa yang dimaksud???
Bersambung ke SINI