Beginilah Ragam Cara Orang Maluku Menangkap Ikan
Maluku, sebuah kata yang tidak asing di telinga kita, orang Indonesia. Bila mendengar kata “Maluku”, berbagai hal indah & positif langsung tersirat di pikiran ini. Entah itu pemandangan akan pantainya yang cantik, lengkingan suara emas warganya yang mampu menggetarkan hati, daerah di timur nusantara yang kaya akan rempah-rempah dan yang pasti begitu membekas adalah orang-orangnya yang sangat Manise.
Ngomong-ngomong soal Maluku, tahukah kamu kalau sacara administratif Maluku terbagi atas 2 provinsi yaitu Provinsi Maluku dan Provinisi Maluku Utara? Kedua provinsi tersebut memiliki luas daratan 77.990 km² yang tersebar di atas lautan yang luasnya hampir 10x luas daratannya, yaitu 776.500 km². Besar banget kan wilayah lautannya?
Tinggal di wilayah lautan yang begitu luas membuat masyarakat Maluku begitu akrab dengan nelayan sebagai mata pencaharian dan ikan sebagai salah satu panganan inti mereka selain sagu. Berbagai macam olahan hidangan lezat dengan bahan baku ikan kerap tersaji di atas meja. Sebut saja Gohu, Ikan Kuah Kuning, Ikan Kuah Pala, Ikan Asar dan beberapa menu lainnya. Semuanya berbahan dasar ikan laut yang segar.
Nah, orang Maluku ini punya ragam cara unik untuk menangkap ikan. Cara menangkap ikan ala orang Maluku ini terbilang cukup tradisional dan aman untuk dilakukan. Maksudnya aman itu gimana? Maksudnya adalah tidak merusak ekosistem dan tidak menggunakan alat berbahaya. Mungkin cara menangkap ikan yang umumnya kita tahu adalah dengan menggunakan pancingan, spearfishing dan juga jala, tapi orang Maluku punya cara spesial yang mungkin hanya ada di tanah ini.
Berikut ini beberapa cara orang Maluku dalam menangkap ikan:
Jala
Mari kita mulai dari cara yang paling umum. Seperti layaknya nelayan lainnya, warga Maluku pun masih menggunakan jala untuk menangkap ikan. Prosesnya pun sama. Pertama, nelayan akan menebar jala dari atas perahu. Setelah mendapat kode dari ikan yang bergoyang di dalam jaring, jaring tersebut pun akan ditarik dan diangkat. Cara ini dianggap cukup efektif karena sekali tarik, cukup banyak ikan yang bisa didapat. Selain itu cara ini cukup ramah. Jala yang digunakan pun bisa dipilih tingkat kerapatan lubangnya sehingga tidak membahayakan ikan kecil yang masih bertumbuh. Jaring yang digunakan untuk teknik jala ini biasanya adalah jala lempar (cast net) dan terbuat dari bahan tali atau benang (baik benang alami atau buatan).
Bagan Ikan
Di beberapa daerah laut lainnya (tidak hanya Maluku), metode penangkapan ikan dengan menggunakan bagan juga cukup populer. Ada 2 jenis bagan ikan yang biasa digunakan yaitu Bagan Tancap dan Bagan Apung. Bagan tancap ialah bagan yang yang dipasang dengan menancapkan rangka bagan ke dalam perairan sehingga posisi bagan tidak berpindah-pindah. Sedangkan bagan apung atau dikenal juga dengan bagan perahu adalah bagan yang dipasang di atas 2 perahu yang diikat menjadi satu dan dilabuhkan. Bagan apung lebih fleksibel karena dapat berpindah-pindah.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bagan umumnya dilakukan di malam hari. Pertama-tama jaring diturunkan dari atas bagan hingga kedalaman tertentu. Setelah jaring sudah siap, lampu penerangan akan dinyalakan dan diarahkan ke bagian jaring guna menarik perhatian ikan agar berkumpul di satu titik (biasanya selama 2-3 jam). Kalau masih tradisional, penerangan yang digunakan umumnya adalah petromaks, namun jaman sekarang umumnya sudah menggunakan lampu sorot dengan listrik. Saat ikan-ikan sudah berkumpul, perlahan-lahan jaring akan diangkat dan ikan yang terjaring pun akan dipindahkan ke wadah tertentu sebelum jaring diturunkan kembali.
Mata Kail
Mata kail di sini maksudnya adalah memancing. Cara menangkap ikan yang sudah ada sejak jaman dulu ini biasanya digunakan hanya untuk menangkap ikan dalam jumlah satuan atau puluhan dan bukan ratusan seperti penggunaan jala. Kail yang digunakan untuk memancing pun bisa dalam berbagai ukuran. Semakin besar ikan yang ingin ditangkap, maka semakin besar pula mata kail yang diperlukan.
Bubu
Kalau tiga metode sebelumnya menggunakan bantuan benang atau tali untuk menangkap ikan, kali ini yang digunakan adalah bambu. Ya, Bubu merupakan sebuah perangkap ikan berbahan anyaman bambu (dan rotan) yang umumnya diikat dan dibentuk menyerupai tabung silinder (ada juga bentuk lainnya seperi bentuk persegi atau bulat telur).
Ada 3 bagian utama Bubu yaitu moncong, badan dan ekor. Bagian moncong digunakan sebagai jalan masuk bagi ikan. Sekali ikan masuk melalui moncong ini maka ikan tidak akan bisa keluar. Setelah ikan masuk, maka ikan akan terperangkap di bagian badan Bubu. Biasanya, untuk menarik ikan masuk, maka akan diletakkan umpan di dalam badan Bubu ini. Umpan bisa berupa ampas kelapa, ikan kecil atau udang (tergantung jenis ikan yang ingin ditangkap). Bagian yang terakhir, bagian ekor, merupakan pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan.
Sebenarnya ada 6 jenis Bubu yaitu Bubu Dasar, Bubu Apung, Bubu Hanyut, Bubu Jermal, Bubu Ambai dan Bubu Apolo. Namun karena selama perjalanan di Ambon saya lebih banyak melihat Bubu Dasar, maka saya hanya akan menjelaskan cara kerja Bubu Dasar ya.
Jadi pertama-tama, umpan akan dimasukkan ke dalam badan Bubu. Sesudah itu, Bubu akan ditenggelamkan ke dasar laut (umumnya ditempatkan di antara karang). Agar bubu tidak terangkat saat ditinggalkan, Bubu akan diberi pemberat di bagian atasnya. Setelah yakin Bubu tidak akan bergerak, tinggalkan Bubu selama beberapa jam. Biarkan ikan-ikan masuk dan terperangkap di dalamnya. Apabila dirasa sudah cukup waktu, kembalilah dan angkat bubu ke permukaan. Untuk mengeluarkannya, buka penutup yang ada di bagian ekor Bubu. Kira-kira begitulah caranya.
Ukuran dan bentuk Bubu bisa bervariasi, tergantung jenis ikan yang ingin di tangkap. Kalau Bubu ukuran kecil, biasanya panjangnya hanya 1 meter. Sedangkan Bubu ukuran besar, panjangnya bisa mencapai 3,5 meter. Katanya, Bubu ini cara tradisional menangkap ikan dari Indonesia lho. Keren kan?
Sasi Laut (Sasi Meti)
Sasi laut merupakan cara menangkap ikan yang “Maluku Banget”. Sasi sendiri memiliki arti larangan yang bersifat sementara untuk mengambil hasil bumi (baik itu di darat atau di laut). Jadi sebenarnya Sasi ini tidak terbatas hanya untuk ikan saja, tetapi juga bisa untuk tanaman atau hewan lainnya.
Sasi sendiri ada 2 bentuk yaitu Sasi secara adat dan Sasi secara agama. Lazimnya yang di-sasi di darat adalah kelapa, buah-buahan, dan bebarapa hasil kebun lainnya. Sedangkan Sasi di laut berupa Sasi ikan dan Lola. Sejak jaman dahulu, ada orang-orang khusus yang memang mengontrol area sasi ini. Orang-orang itu biasa disebut “Kewang”.
Mungkin masih bingung ya? Saya jelaskan pakai contoh ya biar lebih mudah. Misalkan daerah A memiliki seorang tokoh adat. Tokoh adat ini mengumumkan kalau akan ada sasi ikan di Sungai A mulai dari bulan Februari sampai April. Itu artinya, selama periode tersebut maka tidak boleh ada warga yang mengambil ikan di sungai A tersebut. Akan ada Kewang yang mengontrol jalannya sasi tersebut.
Apabila ada yang melanggar, umumnya sangsi alam yang akan berlaku. Maksudnya bagaimana? Percaya atau tidak, ketika Sasi itu dilanggar maka orang yang melanggar akan menderita sakit (entah itu sakit perut, muntah-muntah, sulit berjalan, dll) dan sakit itu hanya bisa sembuh ketika sang pelanggar membuat pengakuan dan meminta maaf kepada ketua adat tadi.
Dalam kegiatan sasi adat atau sasi agama, selalu diadakan ritual dalam membuka dan menutup sasi tersebut. Mungkin ritual itu yang “menjaga” daerah yang di-sasi tadi. Tujuan sasi sendiri adalah untuk meningkatkan produksi, kelestarian lingkungan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sosoki
Sosoki merupakan alat penangkap ikan tradisional yang berbahan dasar daun pohon aren (Arenga saocharifera labil) dan tali hahesi (tali yang terbuat dari serat pohon sagu). Untuk membuang Sosoki ke laut, biasanya Tifa akan dibunyikan.
Cara menangkap ikan dengan menggunakan Sosoki cukup mudah. Pertama, 2 Sosoki akan diletakkan pada 2 Arumbai (Perahu tradisional Maluku yang ramping dan tak bercadik dengan panjang 10 meter). Selanjutnya, satu perahu lainnya akan digunakan khusus untuk melihat kondisi laut apakah ada ikan di sekitar tempat membuang Sosoki atau tidak. Jika ada, maka maka orang yang ada di perahu pengawas tersebut akan berteriak “Kasing” sebagai kode. Kemudian kedua ujung Sosoki akan disambung dan diturunkan ke laut.
Kedua ujung tali akan membentuk huruf “U” dan mengarah ke pantai. Dengan teriakan “Oti”, samping kiri dan kanan Sosoki akan ditarik hingga merapat sehingga tidak memudahkan ikan untuk keluar. sakingbesar dan beratnya Sosoki ini, untuk menariknya diperlukan tenaga 20-30 orang yang berada di pinggir pantai.
Sero
Sero merupakan alat untuk menangkap ikan yang terbuat dari Kayu Tongke atau Bakau (Rhizophora racemosa), belahan bambu, dan Gaba-gaba.
Ada 3 bagian utama dari Sero yaitu bagian pintu bambu, bagian badan (kamar) dan bilik. Bambu-bambu akan dipasang berbentuk “V” menyerupai pagar. Di tengah bagian “V” tersebut akan dipasang sebuah pagar yang lurus dan membagi wilayah menjadi 2 bagian yaitu bagian kiri dan kanan. Pada masing-masing bagian itulah dipasang pintu bambu untuk masuknya ikan. Ikan yang masuk lalu akan diarahkan ke bagian badan sehingga tidak bisa keluar lagi.
Tepat di atas badan Sero terdapat sebuah bilik yang biasa dipakai nelayan untuk tempat bersitirahat. Sero umumnya dibuat tidak jauh dari pantai (wilayah perairan dangkal), kurang lebih di daerah yang kedalamannya hanya 3-5 meter saja. Jadi saat air pasang maka ikan akan terperangkap masuk, dan saat air surut akan digunakan untuk memanen ikan.
Huhate
Huhate merupakan alat pancing tradisional Maluku yang terbuat dari bambu, tali nilon, dan mata pancing. Intinya Huhate ini sama seperti alat pancing modern pada saat ini hanya saja joran Huhate terbuat dari bambu. Ukuran panjang Joran kurang lebih 6 meter dengan bentuk bambu yang meruncing. Panjang tali utama Huhate adalah 5 meter dengan panjang tali cabang 30 cm. di tali cabang inilah mata pancing akan dipasang.
Dalam pengoperasiannya, Huhate bergantung pada umpan hidup (sarden, teri). Cara kerjanya kurang lebih seperti ini, kapal Huhate akan berlayar ke wilayah perairan yang banyak populasi ikan tuna, cakalang atau tongkol. Setelah dapat, umpan hidup akan dilempar ke kawanan ikan tersebut sehingga ikan akan bergerombol dan mendekati kapal. Saat sudah dekat, barulah pancing dilepaskan dan ikan-ikan mulai ditangkap.
Kapal Huhate memiliki desain khusus pada bagian haluannya. Bagian tersebut dibuat lebih panjang sebagai tempat untuk duduk para pemancing yang jumlahnya bisa mencapai 6-7 orang dalam satu haluan. Teknik Huhate ini biasa dioperasikan pada pukul 06:00 – 18:00 aktu setempat. Sekali ikan bergerombol, satu pemancing bisa mendapat 60 ikan hanya dalam waktu satu menit. Kebayang kan mancingnya secepat apa?
Daun Paku-Pakuan
Daun Paku-pakuan merupakan alat bantu yang dipakai untuk menangkap ikan Sako atau Cenro (Tylosurus melanotus). Ikan sako adalah ikan laut yang memiliki moncong panjang bak jarum atau pedang. Jadi apakah ikan sako memakan dedaunan? Tentu saja tidak.
Daun Paku-pakuan ini cukup kuat dan mudah sekali tertiup angin. Pada daun inilah tali pancing akan diikat. Mekanismenya kurang lebih seperti ini: Sebuah tali pancing yang terbagi 3 bagian yaitu bagian kepala, badan dan ekor akan digunakan sebagai instrumen untuk menarik ikan. Bagian kepala tali akan diikat pada kapal, bagian badan akan ditempel pada daun paku-pakuan dan bagian buntut akan dibuat melingkar ujungnya dan diberi umpan.
Saat tali dilepas, daun paku-pakuan lantas akan tertiup angin dan terbang di atas kapal. Tali ini tidak akan lepas karena bagian kepalanya sudah diikat pada kapal. Bagian ekor tali yang menjuntai dengan umpan akan berlompat-lompatan di atas air bak seekor ikan hidup. itulah yang akan menarik ikan sako untuk menyantapnya.
Saat berusaha memangsa umpan, mulut ikan sako akan terjerat tali pancing dan ikan sako akan terbawa oleh tali pancing tersebut. Selanjutnya nelayan hanya perlu menarik tali pancing dan membawa ikan sako ke atas kapal.
*****
Yup, itu tadi beberapa cara tradisional untuk menangkap ikan ala masyarakat Maluku. Unik bukan? Semoga cara-cara tradisional yang saya ceritakan tadi dapat terus dipertahankan dan tidak tergerus oleh cara menangkap ikan dengan teknologi modern yang sering kali merusak alam. Cara ini harus terus dipelihara karena merupakan bagian dari budaya lokal.
There’s a fine line between fishing and just standing on the shore like an idiot.
–Steven Right